Aktivis human shields, siapa mereka
GIORGIO Lotti masih terlihat segar meski rambut, kumis, dan cambangnya sudah memutih semua. Ia seperti hendak bunuh diri ketika menyatakan ingin ke Baghdad, bergabung dengan aktivis human shields (tameng hidup) untuk melindungi wanita dan anak-anak Irak. Sepintas, tak ada lagi gunanya hidup bagi kakek berusia 61 tahun itu.
Tapi kemudian segera terjawab setelah memperhatikan orang tua asal Italia itu dengan cermat. Duduk di kursi tamu Hotel Al-Saraya di kota Amman, Jordania, menunggu giliran pemberangkatan ke Irak dengan bus pada hari Minggu (2/3), ia membaca buku tipis karya filsuf Hegel dalam bahasa Italia. Sesekali ia menghirup teh pahit Arab dari sloki kecil yang diletakkan di atas meja kayu warna cokelat.
Kamis (27/2) petang itu, cuaca di luar masih dingin. Suhu udara sekitar tiga derajat. Sisa-sisa salju telah dibersihkan dari jalan, tapi hembusan angin memancarkan hawa dingin ke seluruh penjuru. Lotti memakai jaket bulu warna cokelat susu untuk membungkus tubuhnya yang renta.
Dia berpaling ketika ditanya apa kabar. Buku Hegel di letakkannya di atas kursi. Raut mukanya memancarkan keseriuan ketika topik pembicaraan mengarah ke persoalan politik. Darah mudanya seolah mengalir, membangkitkan jiwa dan semangatnya, semangat seorang pejuang tua.
Ia menggeleng ketika ditanya tentang Selvio Berlusconi, Perdana Menteri Italia yang mendukung rencana agresi Amerika Serikat (AS) ke Irak. Dengan gerakan tangan, ia menunjukkan, pemimpin Italia itu suka mengambil sesuatu dan menyembunyikan di belakang pundaknya.
“Saya seorang komunis,” tuturnya dengan nada suara yang mantap. Pernyataan pendek itu segera menjelaskan kakek tua ini anti kapitalis, anti AS. Lantas, dia mencintai Rusia? “Tidak,” ia menggeleng. Kedua tanggannya menarik resleting jaketnya. Dia tidak sedang hendak menunjukkan pistol, senjata yang mungkin digunakannya untuk melawan tentara AS dalam perang kota di Baghdad.
Begitu jaket dibuka, terlihat baju kaos warna hitam, dihiasi gambar kepalan tangan mendobrak sebuah tembok. Bagian bawahnya tertulis “lets break the blockade.” Setelah puas memamerkan kaos protesnya, ia menjelaskan, “Saya menyukai Fidel Castro,” ia menyebut pemimpin kharismatik Kuba yang terus melawan AS, kendati kakeknya komunis, Uni Soviet, telah lama di kubur.
Sambil tersenyum, memperlihatkan deretan gigi yang putih bersih (mungkin gigi palsu!), ia memperkenalkan diri sebagai sekretaris Franco Bertinotti, pimpinan partai Partito Della Rifondazione Comunista, sebuah partai komunis di Italia.
Ketika ia tahu sedang berbicara dengan wartawan Indonesia, lagi-lagi ia tersenyum. Ia menyebut nama Soekarno dengan nada penuh simpati. Ia menyebut nama Soeharto dengan semburan aroma kebencian. Lelaki tua itu tahu, Soeharto menghancurkan komunis di Indonesia, sesuatu yang tidak pernah dilakukan Soekarno, pada tahun 1965. “Anda mengenai Aidit, DN Aidit?” ia bertanya. Orang Indonesia tentu tahu siapa DN Aidit.
***
TIDAK jauh dari Lotti, duduk Karl Gorczynski. Dari tadi, ia tidak berselera ikut nimbrung. Ketika Lotti menyebut Casto, Gorczynski, seorang Amerika asal Illinois, menyahut, “Castro pemimpin hebat. Rakyat dibantu pendidikan dan kesehatan.”
Gorzynski, seorang mantan guru bahasa Inggris yang bisa berbahasa Spanyol dan Italia, tidak mau dipanggil dengan nama keluarganya. Ia juga risih dipanggil tuan, seolah ingin menunjukkan sentimen persamaan kelas khas kaum komunis. “Panggil saja saya Karl,” begitu ia bilang.
Karl, seperti Lotti, tidak muda lagi. Dalam usianya yang 50, garis-garis wajahnya nampak jelas. Rambut yang bergelombang dibiarkan berserakan. Ia mencukur kumisnya, tapi memelihara jenggot.
Dia bukan tipe orang partai. Karl ingin seperti burung, yang bisa terbang lepas. “Saya ingin jadi orang sederhana yang bisa melakukan apa yang bisa saya lakukan,” katanya.
Mengaku lahir dalam tradisi Kristen tapi menyukai Budha, Karl menikahi A’yi, seorang wanita dari negeri Tirai Bambu China. Ia pernah hidup 15 bulan di negeri komunis ini. Di sana ia menjadi guru bahasa Inggris di Yunan University.
Hingga suatu waktu bertemu A’yi, seorang guru yang mengabdi untuk suku terasing, termasuk suku Tibet. Saat menikah, A’yi bukan gadis lagi. Ia memiliki seorang anak perempuan yang kini berusia 14 tahun.
Keluarga menempuh hidup baru di Illionis. Di negara bagian Amerika ini, A’yi bekerja di dapur, memasakkan makanan kesukaan Karl: nasi, ikan, dan daging. Sementara anaknya, Qian, sekolah di SMA kelas dua. Karl sendiri mengasapi dapur dari hasil pekerjaannya sebagai tukang bangunan.
Gerakan human shields mengubah jalan hidup Karl. Ia merasa terpanggil membantu rakyat Irak, yang akan digempur negaranya, Amerika. “Pada suatu hari, saya pamit pada A’yi. Saya bilang, saya mau pergi ke Irak,” cerita Karl.
A’yi, yang dilukiskan Karl sebagai “hanya mengerti bahasa China dan dapur”, tak berkomentar banyak mendengar rencana suaminya. “Dia bilang, pergi saja. Saya tidak ikut. Begitu saja, sangat simple.”
Kepada Qian, anak tirinya, Karl tidak pamit. Gadis itu tidak pernah mau bicara pada Karl. Sebagai ayah tiri, ia tahu diri. Karl dan Qian berkomunikasi lewat A’yi. Qian mengungkapkan perasaan dan keinginannya lewat A’yi, begitu pula sebaliknya. Begitulah keluarga kecil ini melalui kehidupan, hari demi hari.
“Saya tidak tahu mengapa ia tak mau berbicara dengan saya. Ia menyampaikan keinginanannya lewat mamanya. Saya tidak tahu mengapa. Mungkin ia tidak happy dengan Amerika, dengan saya, atau mengapa. Saya tidak tahu.”
Karl mengepak kopor hari Minggu (23/2). Tabungannya 815 dolar AS dikuras untuk membeli tiket pp Illionis-Amman, Jordania. Sebetulnya ia hanya ingin membeli tiket sekali jalan untuk pergi selama-lamanya. Namun, peraturan keimigrasian mengharuskannya membeli tiket kembali.
Tiba di Amman, daerah perbatasan Irak, Karl bergabung dengan aktivis human shields dari berbagai belahan dunia. Ada yang dari Irlandia, Kanada, Argentina, Italia, Spanyol, Jepang, Perancis, dan Inggris. Semuanya 12 orang, separuh diantaranya wanita.
Dengan bus, rombongan aktivis kemanusiaan itu berangkat ke Irak hari Minggu (2/3). Mereka akan bergabung dengan 200-an rekan mereka yang sudah lebih dulu menyebar di Baghdad.
***
SHANE Mulligan adalah tipe lain dari aktivis human shields. Pria asal Kanada ini tampak seperti penyanyi dalam gaya yang sederhana namun tetap modis. Rambutnya yang berwana kuning kecoklatan tak disisir rapi. Kumis dan cambangnya dibiarkan tumbuh liar.
Shane, begitu ia dipanggil, meninggalkan kampusnya, Cambridge University, di London, untuk mengkoordinir aktivis kemanusiaan di Amman. Ia calon doktor hubungan internasional sehingga paham betul mengapa AS hendak menggusur Saddam.
“Sorry, saya sangat sibuk,” tutur Shane, 33, di sela-sela aktivitasnya menerima telepon dari berbagai penjuru dunia. Bak pasukan AS, relawan tameng hidup itu terus men-deploy “pasukan” di Baghdad. Hampir setiap pekan, Shane memberangkatkan satu bus ke ibu kota Irak.
Di Al Saraya, sebuah hotel melati di tepi Terminal Raghadan, Shane dan kawan-kawannya membuka kantor berukuran 3x5 meter. Kantor itu, dilengkapi beberapa komputer, hanya dipisahkan sebuah dinding dengan pos resepsionis hotel yang selalu ramah kepada setiap tamu gerakan human shields.
Diego Nakasone, 28, berangkat ke Irak dengan cita-cita yang sederhana. Pernah bekerja di sebuah tokoh di Buines Aires, Argentina, pria asal Jepang ini menjelaskan mengapa ia mau menjadi anggota tameng hidup untuk melindungi rakyat Irak: “Saya tidak pernah bekerja untuk diri sendiri. Ini kesempatan untuk bekerja bukan karena uang, wanita, dan keluarga.”
Nakasone, yang kurang lancar berbahasa Inggris, lahir di Buines Aires. Kedua orang tuanya, bersama seorang saudara laki-lakinya, tinggal di ibu kota negara asal Diego Maradona tersebut.
Sebelum ke “medan perang”, ia pamit pada keluarganya. Di luar dugaan, mereka memberikan dukungan dan semangat. “Ayah saya sangat bangga, begitu pula ibu saya,” ujar Nakasone.
Tanpa menyebutkan agamanya, ia mengaku bukan Islam. Kendati begitu, ia mau mati untuk rakyat Irak, yang sebagian besar Muslim. “Saya tidak punya hubungan dengan agama. Aksi ini membela kemanusiaan. Perang akan membunuh manusia tidak berdosa.”
Juan Ferrari terbilang nekat. Anak muda kelahiran Boines Aires ini meninggalkan Barcelona, Spanyol, dan bergabung dengan tameng hidup tanpa menelepon ayah dan ibunya. Sambil tertawa, ia bilang dalam bahasa Argentina yang diterjemahkan Nakasone: “Ya, nanti pasti akan saya kontak mereka.”
Ferrari melancong ke Barcelona, setelah meninggalkan keluarga dan pekerjaannya sebagai fotografer di Boines Aires. ”Amerika ingin membunuh rakyat Irak. Ini ancaman bagi kemanusiaan,” ujar penggemar Juan Riquelme, pemain Boca Junior yang hengkang ke Barcelona.
Bersama Nakasone, Juan berteman dan Biel, seorang pelukis asal Mallorca, Spanyol. Biel, yang enggan menyebutkan nama keluarganya, malas bicara. Ia lebih banyak mengumbar senyum. (Dahlan)
* Laporan ini dimuat di harian Surya, Surabaya, dan sejumlah koran daerah Kompas Gramedia yang dikelola Persda. Saya berangkat ke Timur Tengah menjelang Perang Irak atas biaya Persda
No comments:
Post a Comment