Tuesday, July 1, 2008

Perang Irak: Bom waktu made in America



14 April 2003  

Bom waktu made in America

 

HASIM Khalil mengeluh. Persediaan uangnya makin menipis. Stok makanan semakin sedikit untuk dia, istri, dan tiga anaknya yang masih kecil. Air bersih sudah habis. Ia mengandalkan air sumur bor yang dipompa oleh mesin generator.

"Hidup semakin sulit," tutur pria berusia 35 tahun, dengan jenggot dan rambut ikal yang tercukur rapi. Tubuhnya dibungkus pakaian koko warna putih yang mulai menguning terkena kotoran debu gurun.

Khalil bukan orang miskin. Di garasi mobilnya terparkir sebuah mobil Toyota Hilux baru warna putih dan sebuah mobil mini van Hyundai warna biru tua. Di Irak, negeri yang menderita setelah Perang Teluk tahun 1991, Khalil termasuk kelompok menengah atas.

Rumahnya yang sederhana, dengan dinding putih yang tampak mulai rapuh, terletak sekitar 400 meter saja dari Hotel Al Mansour, Baghdad. Di utara, ada April Supermarket yang sudah gosong dimakan api. Salah satu pasar serba ada terbesar di Baghdad itu dibakar setelah isinya dikuras Ali Baba, sebutan para penjarah yang leluasa beraksi setelah tentara AS masuk kota Baghdad.

"Saya seorang pengusaha," kata penggemar burung merpati ini, tanpa mau menyebutkan jenis usahanya. Di dinding ruang tamu rumahnya bertengger sebuah jam dinding yang dihiasi gambar Saddam Hussein yang sedang tersenyum. Ia juga memiliki jam tangan bergambar pemimpin Irak tersebut.

Kalau Khalil saja sudah merasakan kesulitan hidup, bagaimana dengan 60 persen rakyat Irak yang menggantungkan hidup dari bahan makanan gratis dari rejim Saddam. Kelompok masyarakat ini tidak memiliki uang tunai yang cukup untuk menjalani kehidupan normal berkecukupan. Setelah Saddam pergi bersembunyi entah dimana, suplai bahan makanan pun terhenti total.

Hari-hari ini, rakyat Irak semakin membutuhkan kehadiran sebuah pemerintahan. Sebab tentara AS hanya mengontrol perlawanan milisi dan tentara Irak. Setidaknya sampai hari kelima pendudukan Baghdad, mereka sama sekali tidak peduli dengan kebutuhan jutaan warga sipil.

Sebagian besar rakyat Baghdad harus hidup dalam gulita di malam hari. Sebab tidak ada lagi penerangan listrik. Saluran air bersih juga telah dirusak perang. Sehingga, untuk sekadar mendapatkan air minum, rakyat harus menimba air di sumur umum, mengangkutnya dengan jerigen, berjalan kaki, layaknya kehidupan pada masa pra peradaban.

Saluran telepon terputus total. Rakyat Baghdad benar-benar terisolasi, bukan saja dari dunia di luar Irak, melainkan juga dari saudara-saudara mereka yang tinggal berjauhan. Mereka tidak tahu bagaimana kabar mereka. Kehidupan semakin sulit karena rakyat lebih banyak memilih tinggal di dalam rumah. Keamanan masih merupakan barang mahal di kota 1001 malam ini.

Surat kabar, alat komunikasi penting di era modern, tak bisa lagi dinikmati warga Baghdad. Harian Babil, koran milik Uday Saddam Hussein, sudah lama meninggalkan pembaca.

Televisi pun tak bisa dinikmati. Di zaman normal, rakyat Irak hanya bisa menonton satu-satunya siaran televisi pemerintah. Sekarang ini, pesawat televisi menjadi barang yang tak berguna sama sekali, bahkan di hotel-hotel berbintang seperti Sheraton Hotel ataupun Palestine Hotel, markasnya ribuan wartawan asing dan tentara AS.

Punya uang pun tidak berarti persoalan telah selesai. Khawatir terhadap penjarahan, sebagian besar pemilik toko belum berani menggelar jualannya. Hanya beberapa warung saja yang berani buka.

"Persediaan gas sudah menipis. Daging pun sulit diperoleh," kata Muhammad Falah, pria yang lancar berbahasa Inggris yang membuka warung di kawasan Karrada. Ia menjual kabab (sate) yang lumayan lezat.

Saat menyantap kabab, para tamu harus puas berlomba makan dengan lalat-lalat besar yang tampak kelaparan. Kotor, kalau tak mau dibilang menjinjikkan. Tapi mau apa. Restoran di Palestine Hotel hanya buka pada jam-jam tertentu. Itu pun harus antri, berebutan dengan ratusan wartawan dan tentara AS yang antri makan sambil menenteng senjata otomatis.

Di Sheraton Hotel, restorannya bahkan tidak pernah buka sama sekali. Pegawai hotel banyak yang minggat, takut perang.

 

***

 

RIBUAN wartawan asing, mulai dari Australia, Asia, Amerika, Eropa hingga Rusia, bekerja di Baghdad meliput perang. Mereka membawa ribuan bahkan ratusan ribu dolar AS.

Di Baghdad, kota yang dilanda perang, uang bukanlah segalanya. Tengoklah kehidupan di Sheraton Hotel. Lift di hotel bintang lima ini lebih banyak tak berfungsi. Para tamu harus naik tangga darurat.

Generator listrik biasanya dipadamkan pada pukul 12.00 sampai pukul 14.00 untuk mendinginkan mesin generator. Pada saat itu, semua tamu terpaksa naik turun tangga darurat.

Anwar Hasan, 42, seorang kameramen dari Malaysia, turun naik tangga setidaknya empat kali sehari. Bersama wartawan Malaysia dan tim relawan dari MERCY, mereka menempati suit room di lantai 17.

"Inilah perang," tutur Omar, yang beruntung selamat setelah mobilnya diberondong senjata AK 47 oleh milisi Irak. Fotografer dan kameramen sering berlarian ke lantai 17 untuk mengabadikan gambar manakala AS mulai melancarkan serangan atau pada saat terdengar rentetan tembakan dari medan pertempuran di sekitar hotel.

Persedian air bersih untuk mandi lumayan bagus. Tapi jangan tanya air minum. Hotel tidak menyediakan air minum. Para wartawan yang datang dari Amman membawa bergalon-galon air minum ke Baghdad.

Yang repot lagi, kamar tidur. Sejak hari kedua (Kamis, 10/4) tentara AS menduduki kota Baghdad, dua hotel bintang yang memiliki hampir 600 kamar ini telah penuh. Setiap kamar diisi tiga empat orang, sebagian tidur di atas karpet.

Puluhan wartawan lainnya tidur di sofa atau karpet di lobby hotel. Mereka mandi di toilet umum yang bau apek. Closet terkadang penuh dengan kotoran yang sudah berhari-hari tidak pernah dibersihkan.

Palestine Hotel dan Sheraton Hotel menjadi idola karena hanya dua hotel inilah yang relatif aman. Kedua hotel telah dikuasai sepenuhnya oleh tentara AS. Setiap orang yang masuk dicek identitasnya. Orang-orang Irak tak diperkenankan masuk, kecuali membawa identitas yang jelas.

Namun tentu saja tidak sepenuhnya aman. Karena, sudah pasti akan menjadi sasaran empuk milisi atau tentara Irak.

Sebagian besar hotel lainnya masih tutup. Kalau toh beroperasi, warga asing mengkhawatirkan keselamatan. Milisi bersenjata masih berkeliaran di dalam kota. Milisi menembaki semua kendaraan yang dicurigai, kemudian lari bersembunyi di rumah-rumah penduduk. Ketika tentara AS datang, mereka menyembunyikan senjata, keluar membaur dengan warga sipil lainnya menyanjung-nyanjung tentara AS.

Kecuali karena bersenjata, sulit membedakan milisi dari rakyat biasa. Milisi memakai pakaian sipil dan berpenampilan sipil, mulai dari rambut, pakaian, dan sepatu. Mereka juga membaur dengan rakyat biasa.

 

***

 

KEHIDUPAN kalangan berduit yang susah, termasuk yang dirasakan para wartawan asing, merupakan salah satu gambaran betapa menderitanya rakyat Irak sekarang ini. Dalam kondisi vakum pemerintahan, semua kebutuhan vital seperti listrik, telepon, air bersih, dan bahan makan tidak bisa terpenuhi secara normal.

Sangat gampang menemukan anak-anak Irak yang mengemis "water, water" atau sekadar meminta sebiji roti. Pada beberapa toko yang buka terlihat antrian panjang ibu-ibu yang hendak membeli roti. Sebagian harus pulang dengan tangan hampa karena setelah antri berjam-jam, persediaan roti sudah habis.

"Amerika tidak peduli pada rakyat Irak. Mereka hanya mau menggulingkan Saddam lalu mengontrol minyak Irak," ujar seorang pemuda Irak, tinggi besar dengan hidung mancung dan bola mata cokelat. Bahasa Inggris-nya lancar, ia pernah hidup beberapa tahun di California, AS. Dia bekerja sebagai guide wartawan Perancis.

Amerika terkesan lamban membentuk pemerintahan baru pasca Saddam. Akibatnya, roda pemerintahan praktis macet total sejak perang dimulai 20 Mei lalu. Rakyat hidup dalam bayang-bayang kematian dan kelaparan.

Selama perang, pasokan barang kebutuhan sehari-hari dari Amman, Jordania, praktis berhenti total. Sopir-sopir truk takut dibom Amerika, tapi juga takut dijarah Ali Baba atau para milisi yang memang sangat membenci Jordania, negeri kerajaan kecil yang dilukiskan pro Amerika.

Sangat sulit menemukan sebotol Pepsi di Baghdad. Bukan saja karena minuman segar itu produk Amerika. Tapi juga karena pasokannya yang berhenti total.

"No Pepsi, sir," ujar pemuda yang mengaku bernama Khatib yang menjajakan minuman di dekat pintu masuk Palestine Hotel. Ia hanya menjual orange dan minuman energi yang sebagian besar sudah kadaluarsa. Satu gelas orange dijual setengah dolar AS.

Hidup dalam kesulitan membuat perasaan anti Amerika semakin memuncak. Setelah Baghdad jatuh, sebagian rakyat sudah mulai melupakan Saddam. Tapi mereka juga tidak menerima begitu saja kehadiran Amerika di tanah air mereka.

"Saddam berbahaya, tapi Amerika lebih berbahaya lagi," bisik Muhammad Fallah. Pandangan seperti itu sangat umum dijumpai di kalangan rakyat Irak. Tak terkecuali mereka yang setiap hari berkumpul di depan Palestine Hotel, tempat pasukan Amerika bermarkas.

Hari Minggu lalu, seorang pria yang mengenakan seragam tentara Irak datang ke depan Palestine Hotel, mencium kaki tentara AS yang sedang berjaga. Pemandangan itu disaksikan puluhan orang Irak yang berkerumun di kawasan itu. Spontan mereka menariknya beramai-ramai, memukulinya. Ketika para wartawan asing datang, orang-orang Irak itu berteriak "dia gila, dia bukan tentara Irak."

Rakyat Irak sedang menunggu bagaimana wajah pemerintahan baru pasca Saddam. Kelak bila AS salah memilih pemerintahan boneka, penderitaan rakyat selama hari-hari pertama pendudukan akan menjadi bom waktu bagi Amerika. Sebuah bom waktu made in America. (Dahlan, Laporan dari Bagdad, Irak)


* Laporan ini dimuat di harian Surya, Surabaya, dan sejumlah koran daerah Kompas Gramedia yang dikelola Persda. Saya berangkat ke Timur Tengah menjelang Perang Irak atas biaya Persda

 


--
Tribun Timur, Makassar
www.tribun-timur.com

Ask the Tribun Timur Editor
dahlandahi.blogspot.com

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...