Tuesday, July 1, 2008

Perang Irak: Saddam di mata rakyat biasa


24 Februari 2003

Saddam di mata rakyat biasa

MUHAMMAD Faqi duduk di belakang kemudi mobil Daewo warna kuning. Setir kiri, begitulah memang disain mobil buatan Korea itu untuk pasar Timur Tengah. Faqi menambah aksesori dashboard mobilnya dengan “menginstal” alat yang dapat menyangga gelas plastik. Untuk kopi dan teh. Sembari menyetir, ia meminum teh, yang dibelinya dari penjual keliling di pinggir jalan Balad City.
Di luar, cuaca dingin, delapan derajat celcius. Bila hujan, suhu udara drop sampai enam derajat. Warga Jordania, yang mengenakan jaket tebal dan mantel, terlihat lalulalang di trotoar Balad City. Toko-toko memajang jaket, swister, dan kafiyeh warna merah bergaris putih (khas Jordania) dan warna hitam bergaris putih (khas Palestina). Wisatawan Barat senang ke Balad City, membaur dengan warga Jordania, sembari memakai kafiyeh.

Mobil taksi yang dikemudikan Faqi sedang mengarah ke kawasan Masjid Al Hussein, ketika ia ditanya tentang Saddam Hussein. Dia, yang tadinya bercanda tentang gadis-gadis Rusia yang menjadi pelayan di klub malam Amman, berubah tegang. “Saddam?” ia bertanya. Kemudian berkata, “Jahat, Saddam jahat,” ia mengumpat. Muhammad Faqi, begitu pria 35 tahun itu memperkenalkan diri, tidak seperti warga Palestina lainnya. Ia membenci pemimpin Irak setengah mati.

“Dia terlalu suka berperang. Bukan cuma dengan Amerika, tapi juga dengan negara Arab,” komentarnya. Faqi benar. Hanya setahun setelah menjadi presiden, pada 1980, Saddam menyerang Iran, tetangganya di timur. Perang berlangsung delapan tahun, tanpa pemenang, dan diakhiri dengan gencatan senjata. Dua tahun istirahat sejenak, dan pada 1990, ia menyerang Kuwait, tetangganya di Teluk Persia. Sepertinya Saddam tak pernah letih berperang.
Faqi belum menikah dalam usianya yang sudah menginjak 30 tahun. Satu dua helai rambutnya terlihat memutih. Badannya kurus, dibungkus jaket tebal warna hitam. Sama sekali Faqi tidak percaya kalau Saddam memperjuangkan umat Islam. “Saddam berjuang untuk dirinya sendiri,” tutur pria Palestina yang sudah 17 tahun menetap di Amman, Jordania. Beberapa tahun ia menjadi buruh di sebuah pabrik gelas di Kuwait, sebelum akhirnya “terdampar” menjadi sopir taksi di Amman.

Seperti rakyat Palestina lainnya, ia mencintai Yasser Arafat, tokoh gaek yang disebutnya sebagai “our president”. Pada Perang Teluk tahun 1991, Arafat mendukung Saddam, sikap yang harus ia bayar mahal karena negara-negara Arab sekutu Amerika, seperti Kuwait dan Arab Saudi, sempat mengucilkannya beberapa lama.

“Kalau Saddam benar mencintai rakyat Palestina, berjuang untuk Islam, dia harus datang ke sini,” ucapnya berapi-api. “Dia harus datang ke sini dan pergi ke Jalur Gaza mengangkat senjata bersama para pejuang intifidah.”

Bagi Faqi, pria dengan rambut bergelombang dan cambang yang dibiarkan tumbuh liar, tidak satu pun pemimpin Arab yang benar-benar tulus memperjuangkan nasib Palestina. Sambil mengisap L&M, rokok putih “Quality American Brand”, ia menyatakan perasaan benci pada para pemimpin Arab, yang digambarkannya sebagai “senang bekerjasama dengan Amerika sambil pura-pura memperjuangkan Palestina.”

Ngomong-ngomong, apakah Faqi takut kalau Amerika pada akhirnya menyerang Irak dan Perang Teluk meletus? “Tidak,” katanya mantap. “Saddam tidak mungkin menyerang Jordania. Ini negara muslim.” Dan, ia percaya, Saddam akan meluncurkan rudal Scud andalannya ke Israel dan Kuwait.

Ahmad Mansur, 40, juga seorang sopir taksi, mendebat Faqi. Ahmad percaya, Saddam dan Irak adalah sahabat sejati bangsa Palestina. “Rakyat Irak sekarang sedang susah,” ujar ayah empat anak itu tentang dampak sanksi ekonomi PBB sejak 1991. “Tapi Saddam tidak melupakan bangsa kami. Dia tetap memberikan uang kepada intifadah Palestina.”

Isu Palestina memang mendominasi pembicaraan bangsa Arab selain rencana serangan Amerika ke Irak. Kedua isu tak pernah dipisahkan. Mereka percaya, tidak ada kedamaian abadi di Timur Tengah negara Palestina lahir dengan Jerusalem Timur sebagai ibukotanya. Rakyat Palestina beranggapan, serangan AS ke Irak hanya akan mempermulus usaha Israel untuk menguasai seluruh tanah Palestina dan menguasai Masjid Al Aqsa, tempat suci ketiga umat Islam, di Jerusalem.
Karena itu, mayoritas rakyat Palestina mendukung Saddam. Bukan karena benar mereka menyukainya, tapi semata karena mereka membenci Amerika, sekutu terkuat musuh utama bangsa Arab, Israel.

Selain Irak, Suriah dianggap konsisten bersama rakyat Palestina. Lebanon? “Ya, Lebanon cukup baik. Jauh lebih baik dari Mesir dan Arab Saudi,” ucapnya. Mesir, bersama Jordania, adalah dua negara Arab yang membuka hubungan diplomatik dengan Israel. Koran Jordania berbahasa Inggris, Jordan Times, bahkan menyediakan kolom khusus bagi berita koran-koran Israel. Sementara di Mesir, stasiun televisi setempat setiap hari menampilkan berita berbahasa Hebrew, bahasa Yahudi.

Dari Timur Tengah, pintu ke Israel adalah Jordania dan Mesir. Melalui dua negara ini, tamu Israel mengurus visa khusus. Yakni, berupa selembar kertas yang, beda dari visa ke negara manapun di dunia, terpisah dari buku paspor. Ini dilakukan, sebab negara-negara Muslim, termasuk Indonesia, akan menolak kedatangan pemegang paspor yang di dalamnya terdapat stempel visa Israel.

Ahmad Nasir, 37, ayah dua anak asal Mesir yang bekerja sebagai karyawan mini market di kawasan Seventh Circle, Amman, memuji Saddam karena “berjuang mempertahankan kehormatan negerinya. “Tapi ia melayangkan kritik pada pemimpin Irak itu, karena “lupa memperjuangkan kesejahteraan rakyatnya.”

***

SIKAP lebih rasional ditunjukkan penduduk asli Jordania. Saed Momani, 24, asal Irbid, sebuah kota dekat perbatasan dengan Suriah, menilai Saddam sudah saatnya diganti. “Ia menggiring rakyat ke lembah penderitaan,” kata programmer komputer yang menyelesaikan studi S1 di Yarmouk University.

Tinggal di apartemen di kawasan Shemiesani seharga 15 Jordanian Dinar (JD) perbulan bersama kakak dan dua temannya, Saed mengatakan, bangsa Irak sebelumnya dikenal melahirkan pemikir-pemikir ulung. Ia merujuk sejarah Islam di zaman kejayaan Dinasti Abbasiyah yang melahirkan ilmuwan ulung semacam Ibnu Sina.

Muhammad Khatibih, 24, yang bekerja di PLN-nya Jordania sebagai computer engginering, sependapat dengan Momani. “Irak diisolasi dunia karena Saddam. Lebih 20 tahun terakhir ini, rakyat Irak menderita,” kata pemuda yang tinggal seapertemen dengan Momani. Ia berpacaran dengan dokter berusia 32 tahun, delapan tahun lebih tua darinya.

Momani dan Khatibih, sebagai penduduk asli Jordania, tidak terlalu terikat pada isu Palestina. Kata Momani, “Orang-orang Palestina telah menguasai sampai 70 persen sektor bisnis di Jordania.”

Begitulah memang, timbul saling curiga antara warga Palestinya yang mengungsi ke Jordania sejak Perang Arab-Israel tahun 1948 dan tahun 1967. Warga Palestina, yang kini diperkirakan merupakan mayoritas (sekitar 60 persen dari 5 juta penduduk Jordania) tidak pernah bisa menduduki jabatan tinggi di pemerintahan maupun militer. Dua instansi strategis milik eksklusif warga asli. Terkadang pula digilir dengan tokoh berdarah Kaukasia, pendatang dari Rusia yang diusir Tsar Rusia yang merupakan minoritas di Jordania. Sebagian pejabat berdarah Suriah, seperti PM saat ini, Ali Abu Raghed.

Sulit mendapat tempat di pemerintahan, warga Palestina, seperti etnis Tionghoa di Indonesia, mendominasi sektor bisnis, mulai dari pertokoan besar di Balad City sampai dengan kaki lima. “Kalau Anda ke toko besar, tanyalah mereka, pasti akan mengaku berasal dari Palestina,” kata Lutfi, Ketua Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) yang kuliah di Yarmouk University.

Selain itu, warga Palestina mendominasi bisnis taksi. Demikian pula sopir. Taksi tersebut, yang semuanya berwarna “Golkar” (kuning) sebagian milik perusahaan, sebagian milik pribadi. Khalik Mahmud, 30, misalnya, membawa taksi miliknya sendiri, sebuah mobil Korea merek Hyundai, yang dibelinya 13.000 JD dua tahun lalu.

“Lumayan, saya bisa mendapatkan 415 dinar sehari,” kata Khalik, alumni pertanian dari Jordan University. Ia, yang masih tahan membujang, menganggur dan akhirnya memilih sopir sebagai profesi. Ia mengaku kenal Indonesia dari cerita ayahnya yang pernah ke Jakarta mencari TKI (pria) untuk dipekerjakan sebagai tukang las atau teknisi di Arab Saudi.
Penghasilannya dirasakan jauh dari kebutuhan sehari-hari. Karena itulah, katanya sambil tertawa, ia belum menikah sampai sekarang. “Ini kota yang mahal,” kata Khalik. “Pernah saya membawa penumpang dari Riyadh dan Swedia. Kata mereka sama, kota ini kota mahal,” tambahnya. Tahun depan, ia rencana akan mengadu nasib di Arab Saudi, negeri sekutunya Amerika.

“Mengapa pemimpin Arab tidak bersatu. Kenapa Saddam tidak dibantu,” ia bertanya. Khalik sadar betul, bila Amerika memenangkan peperangan di Irak, nasib bangsa Palestina akan terus terlupakan. Dan, lulusan universitas seperti dia akan tetap menjadi warga kelas dua di Jordania. Karena itu, kepada Saddam dan Yaser Arafat, mereka menggantungkan nasib dan masa depan.

***


LAHIR di Auja, sebuah desa yang miskin di Distrik Tikrit, pada 28 April nanti, ketika Amerika mungkin sedang menyerang negerinya, Saddam akan merayakan ulang tahunnya yang ke-66. Orang tuanya petani yang miskin.

Karirnya politiknya melejit lewat Partai Baath, yang --seperti Golkar era Soeharto-- mengontrol militer. Menjadi presiden pada 1979, ia mengelola negara penghasil minyak nomor dua terbesar di dunia itu dengan tangan besi. Dan, menjadikan seluruh negerinya, kata seorang jurnalis Barat, sebagai “sebuah penjara yang besar.” Ia begitu pintar dan menggiring lawan-lawan politiknya menghadapi pilihan sulit: dipenjara, menghilang secara misterius, atau hengkang ke luar negeri.

Gaya hidupnya dilukiskan secara menarik oleh Mark Bowden, seorang penulis Amerika. Sebagai tiran, dia harus mencuri waktu untuk tidur agar aman. Saban malam, dia harus pindah “dari kasur rahasia ke kasur rahasia (yang lain)”. Ia hanya tidur empat atau lima jam sehari.

Pagi hari, jam tiga, dia bangun tidur. Bangkit dari kasur, ia segera menuju kolam renang. Seluruh istananya, yang berjumlah puluhan, memiliki kolam renang. Air adalah simbol kekayaan dan kekuasaan di Timur Tengah. Arab Saudi memang penghasil minyak terbesar di dunia. Tapi ia tidak punya Sungai Tigris dan Eufrat. Saddam punya.

Badannya tinggi dan besar. Tangan kanannya yang kekar dihiasi tato. Bila ia membuka jaketnya, kata Bowden, segera terlihat perutnya yang gendut. Dia menyukai makanan segar. Dua kali sepekan, ia makan lobster, ikan, dan daging. Sesekali ke restoran. Sebelum ia ke sana, tenaga sekuriti yang dipercayainya “menginvasi” dapur restoran untuk memeriksa panci, semuanya.

Setiap rapat kabinet, dia mendengar laporan para pembantu setianya. Terkadang ia menyela untuk mendapatkan detil atau memberi komentar, dengan suara yang kalem dan berwibawa. Rapat menjadi tegang bila Saddam menemukan kejanggalan dan menginterogasi para pembantunya. Sering ia sidak untuk mendapatkan laporan otentik dari lapangan.

Saddam suka aneka bacaan, dari fisika ke cerita romantis. Dia menyenangi sejarah Arab dan militer. Dia senang nonton film. Tontonan kesukannya serial “Godfather” dan “The Old Man and the Sea.” Dia suka film perang dan senang melihat (air) laut. Air, seperti pistol, adalah sumber kekuasaan di tanah Arab.

Saddam menikah 42 tahun lalu di Mesir dengan Sajida, sepupunya. Pasangan orang kuat Irak itu memiliki lima orang anak, dua laki-laki. Qusay, si bungsu, mengikuti ayahnya: pintar dan brilian. Sedangkan Uday, yang lahir tahun 1966, dikenal flamboyan dan brutal.

***

RAKYAT Irak sendiri memiliki potret sendiri tentang pemimpin mereka. Suku Kurdi di utara merasa, Saddam orang yang kejam. Beberapa kali, Saddam mengirim pasukan dari Baghdad untuk menggempur wilayah utara kaya minyak yang dikuasai suku Kurdi.

Warga di selatan, yang mayoritas Islam shiah, melihat Saddam sebagai benteng terakhir sebelum Bush mengobrak-abrik penguasa shiah di Iran. Rejim shiah di Iran memberikan proteksi politik dan militer kepada saudara shiah mereka di Irak selatan.

Rakyat di Irak tengah, termasuk Baghdad dan daerah kelahiran Saddam, Tikrit, memandang Sadam sebagai pahlawan.

Kesulitan ekonomi akibat kegemaran Saddam berperang dianggap bukan karena Saddam, tapi karena ulah Amerika. “Saddam pemimpin kami,” kata Fathar Ahmad, 41. Ayah empat anak ini tak kehilangan rasa cinta pada pemimpin Irak itu, kendati ia harus meninggalkan tanah airnya untuk mencari sesuap nasi di negeri orang. Dua tahun ini, Fathar mengelola Al Habaib, restoran Irak di Amman. Dua pekan sekali ia pulang ke Baghdad.

Bagi Fathar, serangan Amerika ke Irak, hanya akan membuka peluang munculnya pemimpin baru dari utara maupun selatan. Kalau itu pilihannya, Fathar dan para pendukung rejim Baath di Irak tengah tanpa ragu akan memilih Saddam.

“Mayoritas rakyat Baghdad dan sekitarnya tidak menghendaki pemimpin shiah maupun pemimpin Kurdi berkuasa di Baghdad,” jelas Wahid Tawalbeh, 39, pengamat politik dan wartawan senior Al-Mahwar, tabloid politik yang terbit di Amman.

Begitulah Saddam. Sosoknya penuh warna. Ia sepertinya terlahir untuk diibenci dan dicintai. (Dahlan, Laporan dari Amman, Jordania)


* Laporan ini dimuat di harian Surya, Surabaya, dan sejumlah koran daerah Kompas Gramedia yang dikelola Persda. Saya berangkat ke Timur Tengah menjelang Perang Irak atas biaya Persda. Sejak 2004, sepulang dari Irak, saya ditugaskan Persda di surat Tribun Timur, Makassar, www.tribun-timur.com


No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...