Ask the Tribun Timur Editor
Dunia surat kabar dilanda masalah. Tidak di Indonesia, tidak di Jepang (salah satu kota dengan surat kabar dengan oplag terbesar di dunia), tidak di Amerika Serikat (kiblatnya banyak hal, termasuk surat kabar dan jurnalisme), tidak pula di Eropa (yang tidak mau kalah dari Amerika Serikat, karena itu mereka pun membuat asosiasi pemimpin dan pengelola surat kabar sendiri, walau akhirnya juga bersatu dalam organisasi IFRA-WAN).
Masalah di semua belahan dunia itu sama: oplag menurun, pendapatan iklan menurun, tapi readership meningkat. Mengapa?
Internet adalah biang keladinya. Di sini kita bicara dua hal: alatnya (laptop, PC, handphone) dan koneksinya. Harga dua hal itu melorot bersamaan.
Lalu karena murah, internet bukan lagi fenomena kalangan kecil berkantong tebal. Semua punya. Orang kecil punya, nelayan punya, tukang becak punya. Untuk gaya, untuk efisiensi, untuk efektivitas.
Demam internet itu menerobos banyak hal, termasuk apa yang selama ini menjadi rahasia sumber kekayaan surat kabar: bila kita bisa mendapatkan berita secara gratis, untuk apa pula membayar?
Itulah mengapa readership surat kabar meningkat tapi oplagnya menurun. Masyarakat mau membaca berita tapi ogah membayar.
Oplag menurun diikui peralihan budget iklan ke crowd yang tumbuh pesat: pengguna internet. Maka, iklan online pun tumbuh pesat.
Budget iklan tumbuh, tapi kecil sekali. Pertumbuhan yang kecil itu tidak lari ke surat kabar, tapi ke online. Sudah begitu, online mengiris kue iklan yang tadinya menjadi jatah surat kabar.
Bagaimana endingnya? Apakah surat kabar mampu menemukan formula baru untuk bertahan di tengah gempuran online?
No comments:
Post a Comment