Beberapa pelanggan menunggu di satu ruang kecil, pelayannya cuma satu. Ketus lagi. Dia wanita muda, baru belajar barangkali.
Saya menunggu beberapa lama untuk mendengarkan percakapan bertele-tele tanpa mendapatkan pelayanan sama sekali.
Ketika giliran saya tiba, saya dilayani dengan perasaan yang sama sekali tidak melayani. Seolah dia digaji untuk menunjukkan rasa marah pada saya.
Dalam hal melayani, tulisan Hermawan Kartajaya di flight magazine Garuda jauh panggang dari api. Artikel itu lebih pas disebut pesan sponsor, bukan hasil analisis yang obyektif.
GFF adalah fasilitas bagi mereka yang sering terbang dengan Garuda. Mereka adalah pelanggan istimewa Garuda, yang rupanya mendapat pelayanan biasa saja, bahkan menyedihkan.
Hermawan bercerita tentang pembangunan brand (yang dia sebut karakter) secara online maupun offline.
Sebelum menuju counter GFF, saya menerima email dari Garuda mengenai GFF, sudah berapa kali saya terbang, berapa poin saya.
Pelayanan online yang bagus, tapi tidak pada saat offline. Pada online, Anda bisa menata kata-kata. Ada kesempatan begitu luas untuk memasang gincu tebal-tebal.
Di darat, saat Anda bertatap muka, karakter aslilah yang muncul. Sayang karakter asli bukanlah mental melayani.
Hari ini saya melewati tiga momen yang mengecewakan bersama Garuda.
Di Polonia, Medan, saya datang sebelum pukul 07.00 pagi, buru-buru bangun kendati masih ngantuk, untuk penerbangan pukul 08.55.
Saya mendapati counter check in Garuda yang kosong melompong tanpa satu petugas pun ketika maskapai lain sedang sibuk-sibuknya melayani calon penumpang.
Saya mestinya terbang pukul 10.40 tapi beberapa hari sebelumnya seorang wanita yang mengaku dari Garuda memberi tahu melalui telepon secara sepihak bahwa saya harus pindah ke penerbangan 08.55.
Saya protes karena harus menunggu lama untuk penerbangan transit di Jakarta. Wanita itu berkata, tanpa tersirat rasa bersalah: silakan ajukan komplain tertulis.
Saya tahu itu hanya jebakan klasik: bersusah-susah menulis, mengirimkannya, untuk tidak mendapatkan tanggapan apapun.
Dalam penerbangan, saya duduk di seat nomor 18, di tengah pesawat. Saat makan tiba, suka atau tidak, menunya cuma ikan-mie kwetiau. Tidak panas lagi seperti biasanya. Makanlah, suka atau tidak suka.
Harga tiket Garuda paling mahal untuk mendapatkan perlakuan seperti ini dari pramugari: saya merasa nampang ditarik dengan kasar ketika selesai makan. Seolah saya seorang pengemis yang memohon dua-tiga butir nasi.
Garuda adalah yang terbaik --juga termahal-- di Indonesia, betapapun. Saya tahu saya tidak punya pilihan. Sebentar lagi saya akan terbang menuju Makassar. Dengan Garuda.
Sent from my BlackBerry®
powered by Sinyal Kuat INDOSAT
No comments:
Post a Comment