Sunday, January 23, 2011

Koin untuk Presiden

Banyak pihak yang sinis mengenai pernyataan Presiden SBY mengenai gajinya yang tidak naik-naik. Rasa sini, juga marah, diwujudkan dalam aneka “gerakan”. Di BBM beredar gambar “Koin untuk Presiden” yang menyindir. Di twitter dan Facebook juga begitu. Lalu ramai pula di forum diskusi online.
Saya merasa tidak ada yang salah ketika Presiden SBY berbicara (bukan mengeluh) mengenai gajinya yang tidak naik-naik sejak enam-tujuh tahun lalu.
Konteksnya adalah SBY berbicara pada Rapat Pimpinan TNI dan Polri di Gedung Balai Samudra Indonesia, Jakarta, Jumat (21/1/2011), tentang komitmen pemerintah untuk terus meningkatkan gaji dan remunerasi anggota TNI dan Polri setiap tahun.
Seperti dilansir Kompas.com,  peningkatan kesejahteraan itu dilakukan dengan tujuan mendorong anggota TNI dan Polri lebih berprestasi dan berkinerja. Kesejahteraan anggota TNI dan Polri selalu menjadi salah satu perhatian pemerintah.
Kompas.com mengutip SBY:  “Bahkan ini tahun ke-6 atau ke-7 gaji Pesiden belum naik.”
Kesan dari berita ini, yang saya tangkap, kira-kira begini: gaji TNI dan Polri terus naik. Itu usaha presiden, lo. Padahal, gaji presiden sendiri tidak naik-naik 6-7 tahun ini.
Sama sekali tidak terdengar seperti keluhan. SBY malah memberi semangat. SBY menyakinkan prajurit mengenai komitmennya untuk kesejahteraan TNI/Polri, bahkan ketika gaji presiden tidak naik sekalipun.
Kompas.com juga menulis, tapi bukan kutipan langsung: Presiden menyampaikan, peningkatan gaji dan remunerasi bukanlah retorika, janji-janji palsu, apalagi kebohongan. Bukankah presiden benar?
Jadi, sebenarnya, SBY –presiden kita– tidak sedang mengeluh. Kalau kemudian sekarang banyak yang ribut, masalahnya, menurut saya, bukan pada pernyataan SBY melainkan pada SBY-nya sendiri.
SBY sedang menghadapi krisis legitimasi yang serius. Dia menghadapi krisis kepercayaan. Banyak sekali pidatonya, tapi para pengeritik itu yakin, itu hanyalah pidato.
Kita lihat bagaimana skandal Bank Century diselesaikan. Banyak sekali tanda tanya di sana lalu seolah selesai begitu saja secara secara politik. Ya, secara politik, karena kebenaran ditentukan oleh kekuatan. Siapa yang kuat dia yang menang. Ketika itu, SBY masih sangat kuat.
Kasus Gayus muncul. Banyak sekali pertanyaan di sana. Gayus berbicara mengenai agen CIA, Satgas Pemberantasan Mafia Hukum yang mengarahkannya untuk membabat tokoh atau kelompok politik tertentu, Cirus Sinaga, Antasari.
Satu demi satu, sungguh, itu semua adalah persoalan besar. Persoalan mafia. Mafia yang jaringannya di kalangan oknum-oknum pejabat tinggi pemerintahan. Dan untuk soal yang begitu besar, SBY seolah-olah sangat tanggap dengan mengeluarkan instruksi berisi 12 langkah. SBY memutuskan: Pemimpin dari langkah besar itu adalah orang kecil, Boediono.
Jadi, masalahnya bukan mengenai gaji presiden. Masalahnya adalah tentang legitimasi SBY. Dia sedang menghadapi satu fase penting, fase ketika bukan saja efektivitas kepemimpinannya yang dipertanyakan, melainkan juga basis moral kekuasaannya.


kompasiana.com/dahlandahi


Dahlan Dahi

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...