Tuesday, July 1, 2008

Baghdad, sepuluh hari setelah pendudukan

Tulisan ini pernah dipaparkan dalam pelatihan penulisan feature yang diselenggarakan oleh surat kabar kampus "identitas", Universitas Hasanuddin, Makassar

Baghdad, sepuluh hari setelah pendudukan

TERMINAL Alawi mulai berdenyut. Mobil-mobil tua buatan Eropa berebutan mencari jalan. Ratusan kendaraan berdesak-desakan. Tidak ada polisi. Pak Ogah juga tidak nampak.

Beberapa bangunan tampak hancur terkena bom. Bangunan lainnya tampak hitam, habis terbakar. Di jalanan, di tengah kemacetan, selongsong peluru berserakan.

Siang itu cerah, 17 April. Suasana kota Baghdad benar-benar sudah pulih. Kantor-kantor perusahaan mulai buka. Pedagang kaki lima mulai berani menggelar dagangan, tanpa takut dijarah. Beberapa restoran terlihat menjajakan teka (sate) atau ayam panggang Irak yang lezat. Kursi-kursi penuh dengan orang bule, sebagian besar wartawan dan pekerja kemanusiaan.

Al Rasoulco Travel and Tourism untuk pertama kalinya buka kantor sejak perang 20 Maret lalu. Kantor perusahaan itu sederhana, dengan beberapa kursi kayu yang nampak sudah tua. Kantornya gelap, tanpa listrik.

Perusahaan itu menyediakan mobil jeep GMC jurusan Baghdad-Amman (Jordania) dan Baghdad-Damaskus (Suriah). Tarifnya bukan lagi harga perang. Ongkos perjalanan ke Amman sejauh hampir 1.000 kilometer turun menjadi 500 dolar AS. Pada masa perang, tarifnya tiga kali lipat, 1.500 dolar.

Di Karrada, pasar untuk kalangan menengah bawah, pedagang kaki lima menjajakan tomat, mentimun, dan kentang. Ada pula penjual sawarma, makan khas berupa roti (khubz) yang digulung berisi potongan-potongan daging ayam dan tomat.

Antrian panjang terlihat di beberapa kios. Ibu-ibu antri membeli bahan makanan seperti tepung terigu, bahan makanan utama yang mulai langka.

Pusat perdagangan Baghdad di Sorja berangsur pulih. Toko-toko membuka pintu, tanpa pasokan listrik negara. Pasokan listrik satu-satunya dari generator dan tanpa telepon.

Rakyat Irak berduyung-duyung ke kawasan Palestine Hotel, pusat aktivitas wartawan asing dan tentara sekutu. Rakyat Irak yang kreatif membuka pelayanan telepon satelit, menggelar mata dagangannya di tepi jalan. Tarifnya 10 dolar untuk semenit pembicaraan.

Tarif sebesar itu sebenarnya amat mahal. Namun, rakyat Irak yang ingin menelopon sanak familinya di luar Baghdad tetap saja antri menahan terik matahari. Beberapa penyewa terlihat membawa mobil Peugeut buat Eropa yang masih lumayan baru.

Telepon satelit di Irak kebanyakan memakai jasa Thuraya, perusahaan telekomunikasi Midle East Company. Konon perusahaan ini salah satu ranting kerajaan bisnis Osama bin Laden, tokoh teroris versi Amerika.

***

KETIKA Paris dan London hanyalah sebuah kampung, dan ketika Amerika belum lahir, Baghdad telah menjadi kota besar. Kota ini dibangun Abu Jafar Al-Mansour, raja dari Dinasti Abbasiyah, tahun 762.

Kini, kota yang menyimpan lebih dari 10 ribu situs arkeologis itu telah hancur. Hampir seluruh kantor pemerintah dan militer roboh dihantam bom-bom Amerika.

Masjid pun tak luput dari sasaran serangan. Masjid Al Imam Al Adham di Adhamiyah salah satu contohnya. Tower masjid yang dibangun pada abad ke-8 itu bolong terkena meriam. Bom juga mengenai pintu gerbang raksasa rumah ibadah itu.

Masjid Al Adham dibangun Abu Hanifa, salah satu imam empat mazhab. Masjid tersebut direnovasi Abu Said dari Dinasti Ottoman pada 1066.

Beberapa saksi mata mengatakan, masjid tersebut dijadikan markas Fidayi Saddam, milisi siap mati bentukkan Saddam Hussein. Pada radius sekitar 300 meter dari masjid tersebut masih tersisa bekas-bekas pertempuran dahsyat.

Beberapa mobil terbakar. Sebuah bangunan di depan masjid ludes di lalap api. Dinding-dinding bangunan dihiasi bulatan-bulatan kecil bekas peluru. Kubah sebuah masjid 200 meter dari Masjid Al Adham, yang biasa juga disebut Masjid Abu Hanifa, bolong terkena meriam.

Kuburan di belakang masjid tak luput dari gempuran. Sebuah bom diarahkan ke kuburan tua itu, meninggalkan lubang sedalam tiga meter. Tulang-tulang mayat berserakan.

Tidak jauh dari masjid ini, di bawah jalan yang lebar, terdapat sebuah bunker yang luas. Seperti rumah bawah tanah. Sebuah tangga 12-an lantai menghubungkan bunker itu dengan dunia luar. Di dalam, terdapat beberapa kamar berukuran 2x3 meter. Ada keran air dan kamar mandi.

Kini bunker itu telah sepi. Pada masa damai, kehidupan berpindah ke luar tempat persembunyian, di jalan-jalan, di flat-flat yang disediakan pemerintah.

Baghdad berangsur normal. Roda kehidupan mulai berdenyut, sepuluh hari setelah pendudukan. Rakyat Irak kini tanpa Saddam. Rakyat Irak kini dipimpin si kulit putih bersenjata, pendatang tanpa visa nun jauh dari benua Amerika sana. (Dahlan)


* Laporan ini dimuat di harian Surya, Surabaya, dan sejumlah koran daerah Kompas Gramedia yang dikelola Persda. Saya berangkat ke Timur Tengah menjelang Perang Irak atas biaya Persda

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...