Di kantor Persda, Jakarta, menjelang berangkat ke Timur Tengah, Januari 2003.
Teman-teman Persda foto bareng sebelum berangkat: Yulis, Ari, Windu, Dayat, Abang Fikar, dan ehemmm... istrinya Daeng Ewa.
Saya meliput di Amman (Jordania), daerah yang berbatasan langsung dengan Irak karena kesulitan paspor, Cairo (Mesir), dan akhirnya ke Bagdad, Irak, setelah negara itu bisa dimasuki tanpa identitas apapun segera setelah patung Saddam Hussein ditumbangkan di Firdaus Square, Bagdad.
Laporan jurnalistik saya diterbitkan oleh koran-koran daerah yang kelola Persda, anak perusahaan Kompas Gramedia.
Sewaktu di Timur Tengah, teman-teman TV 7 (kini Trans 7) dan Radio Sonora sering meminta untuk menyampaikan laporan langsung (live).Saya menemukan nuansa nostalgia yang luar biasa bila membaca lagi laporan-laporan dari Amman, Cairo, dan Bagdad.
Mula-mula saya arsipkan laporan-laporan itu, berikut sejumlah foto yang masih bisa diselamatkan, di komputer. Ada rencana menulis buku, tapi belum kesampaian.Maka saya putuskan menshare tulisan-tulisan jurnalistik tersebut ke blog. Moga-moga ada manfaatnya.
Catatan Harian:
Jakarta, 25 Januari 2003
KUWAIT Airways take off dari Bandara International Soekarno-Hatta, Jakarta, menjelang tengah malam pukul 23.35. Jam itu dipilih supaya bisa tiba di Kuwait pagi hari. Perjalanan Jakarta-Kuwait, setelah transit di Bandara Changi, Singapura, selama satu jam memakan waktu 11 jam.
Dari rumah, saya rencana berangkat sehabis shalat Magrib. Paling telat, kalau toh jalanan ke bandara macet seperti biasanya, saya akan tiba di bandara pukul 21.00. Masih ada waktu sekitar dua jam untuk boarding, membayar air port taksi, dan membayar fiscal.
Sekitar pukul 14.00, handphone saya berdering. Mas Becki, teman saya, menelepon saya dari Surabaya. Ia mengabarkan, saya harus segera menyetor foto baru. Bukan pas foto, tapi foto action “wartawan perang” untuk dimuat di halaman depan pada koran edisi besok.
Sebelumnya, Mas Ano, pimpinan saya, sudah memintanya. Saya menduga, Mas Becki hanya meneruskan perintah Mas Ano. Dalam hati, saya sebenarnya tidak senang dengan publikasi seperti ini. Saya belum tahu medan liputan di Timur Tengah seperti apa. Saya buta. Saya takut gagal, sementara koran saya telah menjanjikan sesuatu yang terlalu banyak kepada pembaca.
Saya sadar, perusahaan telah mengeluarkan biaya yang terlalu banyak untuk membiayai liputan ini. Saya akan diekspos untuk memancing pembaca agar membaca liputan saya dari Timur Tengah. Untuk tujuan bisnis, tentu saja. Okelah, saya bilang. Sekali-sekali nggak apa-apa menjadi mata dagangan.
Saya akhirnya harus pamit lebih cepat kepada istri dan anak-anak saya. Anak pertama saya, Oki, masih di sekolah, ketika akhirnya saya berangkat ke kantor.
Di kantor, teman-teman sudah menunggu. Ada fotografer, Sapto. Windu, Yulis, dan Ary siap-siap mengantar saya ke bandara.
“Mana anak-anaknya. Mereka kan harus ke bandara,” kata mereka. Sesuai scenario, saya harus membawa anak dan istri ke bandara, berpisah dalam suasana sedih, kalau perlu bercucuran air mata. Cerita, plus foto, dari adegan itu akan menjadi bahan tulisan tentang saya.
“Tidak,” kata saya. “Saya tidak ingin mereka terlalu sedih.” Saya katakan begitu, karena saya sudah tahu, judul apa gerangan yang akan dipakai untuk “menjual saya”. Sebelumnya, Mas Ano sudah menemukan judul yang pas: kontrak mati (untuk meliput perang Irak). Kata-kata seperti itu tentu saja akan membuat istri dan anak-anak saya sedih melepaskan saya ke “medan perang”.
Sebelumnya, berkali-kali saya yakinkan mereka bahwa saya akan aman di Timur Tengah. Namanya perang, tapi saya akan meliput di hotel. Begitulah saya selalu menghibur mereka. Saya tidak ingin mereka cemas selama saya pergi.
***
SETIBA di bandara, diantar Windu, Ary, dan Yulis, saya segera mencium aroma calo. Seorang petugas cleaning service menghampiri saya. Kendati saya sudah pernah terbang ke Seoul, Singapura, maupun ke Sabah, Malaysia, serta ke Seoul, Korea Selatan, anak muda itu agaknya tahu saya jarang ke bandara internasional itu.
Dia menawarkan jasa pembayaran fiscal. Katanya, kalau saya berangkat sebagai turis, saya akan dikenakan fiscal Rp 1 juta. Tapi bila sebagai TKI, bebas visa.
“Kalau lewat saya, cukup bayar Rp 800 ribu,” katanya.
“Bagaimana caranya?”
”Beres, saya akan atur. Saya punya kenalan di dalam,” katanya, berusaha membujuk.
Saya menolak. Bukan karena saya orang suci, tidak. Saya tahu, lewat dia biayanya lebih murah, cuma dia pasti tidak punya kwitansi. Artinya, saya akan sulit mempertanggungjawabkannya ke kantor.
Waktu menunjukkan pukul 21.00 ketika saya mulai masuk ke dalam untuk boarding. Yulis cs belum langsung pulang. Mereka memperhatikan saya dari balik kaca transparan saat melakukan boarding.
“Bapak mau ke Amman. Mau tinggal dimana,” petugas Kuwait Airways, seorang wanita muda, bertanya. Nada bicaranya penuh selidik.
“Di hotel, tentu saja.”
Saya belum tahu di hotel mana. Teman koresponden Kompas di Cairo, Musthafa Abdul Rahman, merekomendasikan Hotel Amra. Katanya dekat KBRI di Amman. Saya mencatat alamat hotel tersebut.
“Bapak baru pertama kali ke Timur Tengah. Untuk apa?” Wanita itu bertanya seperti polisi.
Yulis rupanya memperhatikan saya “diinterogasi”. Dia mengirim SMS: “
“Tidak. Dia hanya butuh sedikit perhatian,” saya membalas SMS Yulis.
Wanita itu membawa paspor dan tiket saya kepada petugas Kuwait Airways, seorang anak muda, putih, memakai surban. Agaknya dia orang
Di samping tempat saya boarding, seorang ibu dan anak kecilnya nampak gelisah. Dari wajahnya, dia orang
Dia sudah memegang tiket OK ke
Kegalauan ibu muda itu belum hilang, ketika petugas menyampaikan, dia harus menyiapkan sekian juta untuk membayar denda over stay. “Ibu punya uang cash sekarang?” saya mendengar petugas itu bertanya. Pura-pura saya tidak memperhatikannya. Saya hanya coba mendengar percakapan mereka.
Dalam bayangan saya, ibu ini bukanlah korban perang di Irak. Dia hanya korban dari pemerintahnya di Indonesia yang tidak pernah peduli akan nasib orang-orang kecil seperti dia. Mungkin dia ke Kuwait, menjadi pembantu rumah tangga, sebelum mendapatkan pria Kuwait.
Yulis mengirim SMS lagi. “Kasih aja kedipan mata kalau dia masih bertanya macam-macam.” Petugas itu datang, sambil membawa blanko yang harus saya isi. Katanya, blanko seperti itu diisi oleh setiap orang Indonesia yang baru ke luar negeri. Saya tidak tahu apakah dia benar. Yang penting, saya harus terbang ke Jordania. Saya isi blanko tersebut seperti yang dia minta.
Dia masih belum yakin dengan alasan saya pergi ke Jordania. Dia tidak percaya saya seorang turis. Mungkin dia melihat penampilan saya lebih tepat sebagai calon TKI, bukan pelancong yang banyak duit.
“Okelah,” kata saya kemudian. “Saya seorang wartawan.” Saya lalu menunjukkan kartu pers yang dikeluarkan Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Barulah dia menyerah. Tapi kemudian, ia bertanya, “Bapak meliput apa di Timur Tengah?
“Perang”.
“Perang?” matanya terbelalak. “Perang Irak?” Saya bilang ia, dan, dengan nada simpatik, ia bertanya, apakah saya tidak takut.
Jawaban saya mantap. “Tentu tidak. Saya tidak takut. Kematian ada di mana-mana, bukan cuma di medan perang. Banyak orang mati di tempat tidur.”
Benar juga sih, pikir dia. Dia mengambil kartu pers saya, memperhatikannya sejenak. Akhirnya ia berkata, “Hati-hati, Pak.”
***
MELANGKAH menuju bagian dalam bandara mengingatkan saya pada petugas cleaning service tadi. Dia menawarkan jasa jalan tikus untuk membayar fiscal lebih murah. Petugas yang mensortir setiap penumpang untuk membayar fiscal adalah seorang anak muda. Ia tampak tampan, rapi, dan necis. Saya selalu mengira, pegawai bergaji kecil yang berpenampilan seperti itu pastilah seorang yang korup. Mustahil ia membiayai gaya hidupnya yang wah dari gaji yang pas-pasan.
Dia memperhatikan paspor saya. Masih baru, kata dia. Agaknya dia merasa sayalah sasaran baru. Paspor saya memang masih baru, diurus seorang calo di Kantor Imigrasi Jakarta Timur. Sebelumnya, saya punya paspor keluaran Kantor Imigrasi Makassar. Paspor itu sudah kedaluarsa. Saya tidak pernah memperpanjangnya lagi, sebab, dengan uang sendiri, saya tidak pernah bermimpi akan terbang lagi ke luar negeri.
Kecuali TKI, semua pemegang paspor baru harus membayar fiscal. Dia meminta saya menuju counter di sampingnya. Baru melangkah beberapa meter, seorang lelaki, tinggi agak kurus, menghampiri saya. Bak seorang petugas, dia minta paspor saya. Tanpa basa basi, dia menawarkan biaya fiscal yang lebih murah.
“Kalau Bapak ke sana, Bapak harus membayar satu juta.”
“Lantas?”
“Ya, terserah Bapak.”
”Oke. Saya ingin membayar satu juta. Asal ada kwitansi.”
Lelaki itu kemudian pergi. Ia tampak kecewa karena gagal mendapatkan apa yang dia inginkan dari saya. Saya merasa, dia bukan orang sembarangan. Dia pasti bagian mata rantai calo di bandara.
Sebagai calo, tentu ia mengenal lika liku bandara, juga mengenal secara pribadi para petugas yang terkait. Mungkin juga dia menyetor upeti untuk mempermulus urusannya.
Orang-orang seperti dia amat banyak di Indonesia. Tidak terkecuali di kantor kedutaan besar asing di Jakarta. Saya ingat pengalaman mengurus visa di Kedubes Mesir. Saya hanya membawa uang Rp 400.000 ketika datang ke kantor itu. Saya kira, biaya pengurusan visa hanya Rp 300-an ribu. Di Kedubes Jordan, biaya visa paling mahal, multiple entry untuk enam bulan, hanya Rp 315 ribu. Ke Mesir, saya hanya mengurus visa sekali masuk, bukan multiple entry. Jadi, pikir saya, biayanya mesti lebih murah.
Rupanya saya keliru. Saya diminta membayar Rp 480.000. Terus menyetor paspor dan tiket pp asli, plus pas foto berwarna satu lembar. Saya terpaksa harus lari ke ATM.
Setelah membayar biaya visa, saya menyetor seluruh persyaratan, termasuk paspor dan tiket Jakarta-Amman pp (Rencananya, dari Amman, saya ke Mesir lewat jalan darat atau pesawat. Jadi, saya cukup menyerahkan tiket Jakarta-Amman, bukan Jakarta-Cairo).
No comments:
Post a Comment