Tuesday, July 8, 2008

Lupakan perang, happiness is love

Atas: Ahmad (kiri) sedang bermain biliar. Anak muda Jordania bermain game.
 19 Februari 2003

Lupakan perang, happiness is love

SHOOT, shoot, teriak Lord Fada. Di kejauhan, ia melihat tentara musuh bersembunyi di balik tembok bangunan tua. Kota, dengan bangunan-bangunan lapuk tanpa penghuni, jalan-jalan yang dihiasi mobil rongsokan, sepi. Semua penduduknya telah mengungsi. Hanya ada tentara yang saling menembak. Perang kota.
Sambil mengisap rokok “American Brand” L&M, Lord Fada berteriak lagi, tembak, tembak.  Suara senjata semi otomatis machine gun terdengar menyalak.
Lord Fada atau Abu Shalah, 30, tidak sedang melakukan perang kota melawan tentara Amerika di Baghdad. Ia, bersama delapan temannya, sedang memainkan game Born to Kill, Lahir untuk Membunuh. Permainan online itu sedang digemari anak-anak muda di kota tetangga Irak, Amman, Jordania.
Menempati ruangan 3x12 meter di lantai empat sebuah bangunan di Seventh Circle, Snipers Games, tempat Lord Fada bermain perang-perangan, tak pernah sepi pengunjung. “Permainan ini mengasyikan,” kata Abu Shalah. Tarifnya pun cukup murah, hanya 1 Jordanian Dinar (JD) atau sekitar Rp 13.000 per jam. Jauh lebih murah, kata anak muda itu, dibanding ke night club yang entry ticket-nya mencekik, 50 JD (Rp 650.000!).
Ada empat atau lima jenis game yang ditawarkan Sniper. Salah satunya Counter Strike. “Tapi pengunjung lebih senang perang kota Born to Kill,” ucap Ahmad Sayed, pengelola, yang ikut bermain. Apakah laris karena Presiden Saddam Hussein ingin menerapkan taktik perang kota melawan Amerika? Sayed tersenyum. Ia tidak menjawab. Tangannya memencet mouse, dan terdengar suara letusan bazooka.
Terletak di samping night club, tempat wanita-wanita muda melepaskan malam dengan bir dan pakaian mini, Snipers Games buka mulai pukul satu siang. Klub itu, yang juga menyediakan meja dan kursi untuk bermain kartu. Klub ini, yang sering dipadati anak-anak ABG dan para profesional, memanjakan pengunjungnya. “Kami buka sampai pengunjung pulang semua,” tutur Sayed, ganteng dengan tubuh yang atletis. Jam sudah menunjukkan pukul 01.30 dinihari, Snipers Games masih sesak oleh pengunjung. Di luar, dari kaca tembus pandang, terlihat hujan turun.
“Anda dari Filipina,” tanyanya. Semua wajah Asia memang selalu dikira dari Filipina, karena pekerja dari negerinya Arroyo ini cukup banyak di Amman dibanding orang Indonesia yang cuma sekitar 3.000 orang diantara 5,3 juta penduduk Jordania.
Dari televisi, channel Music Now menampilkan Alycia Kely yang melantunkan “Girl Friends”. Suaranya yang empuk seolah berlomba dengan bunyi dar der dor dari pengeras suara komputer game. Kely tampil dengan baju merah yang dadanya terbuka, sesuatu yang tidak tabu ditonton di negeri Arab kosmopolitan seperti Jordan. Setiap saat, jaringan televisi “MTV”-nya orang Arab, MBC dari Lebanon, menayangkan video klip dimana penyanyi Arab, lengkap dengan penari latar, tampil seperti video klip musik Barat: berani, liar, sensual.
Tapi, tidak ada bir. Anak-anak muda itu, sambil terus memencet mouse untuk menyalakkan machine gun, sniper, atau bazooka, meminum teh atau kopi Arab. Ada Pepsi dan Cocacola, merek yang identik dengan budaya Barat.
Bukan berarti, minuman alkohol tidak dijajakan. Brosur-brosus pariwista Jordania, negeri yang miskin sumber daya alam dan menggantungkan pendapatan negara dari tourisme, tidak malu-malu mempromosikan kedai-kedai dimana para wisatawan dengan leluasa menenggak bir.
Snipers Games seperti milik kaum Adam. Tak terlihat ada seorangpun wanita, ya pengunjung, ya pengelola. Padahal, di sebelah Snipers Games, yang cuma dipisahkan sekat kayu ukiran yang transparan, terdapat Riley Billiard.
“Di sini bukan tempat wanita. Gadis-gadis ada di mall, lantai disko, dan night club,” jelas Wawa. Ia bermain game, ditemani secangkir teh, sebungkus biskuit, dan rokok Malboro. Di mejanya tergeletak handphone Nokia 5510, jenis yang ngetrend di kalangan anak-anak muda Amman, laki ataupun perempuan.
***
JAM dua dinihari, Rabu (19/2).  Ahmad dan Mansur bergegas pulang. Keduanya bekerja di sebuah hotel.  Mereka harus cepat-cepat pulang karena pada jam 10 pagi, mereka harus masuk kantor seperti biasa. Hari Selasa jelas bukan akhir pekan. Di Arab, malam Minggu adalah malam Jumat. Mereka libur para hari Jumat, jalan-jalan sepi. Orang Yahudi di Israel sana libur pada hari Sabtu. Indonesia, yang mengikuti tradisi Kristen, libur pada hari  Minggu.
Ahmad menghampiri kasir, seorang lelaki berbadan gemuk yang tampak malas bicara. Dua lembaran pecahan satu JD dikeluarkan dari kantong. Si kasir memberikan uang kembalian, berupa koin pecahan piastres-an. Ahmad hanya perlu membayar harga minuman dua cangkir kopi dan secangkir teh, satu setengah JD.
“Kami memenangkan 30 game,” kata Ahmad, 24, tentang permainan biliar yang dimainkannya hampir empat jam. Ahmad dan Mansur ke Riley Billiard, meninggalkan hotel tempatnya bekerja, jam 10 malam setelah berdinas.
Karyawan hotel seperti Ahmad tak bisa menikmati night club. Sebulan, gajinya hanya berkisar 200 dolar AS, kurang dari dua juta rupiah. Padahal, biaya hidup di Amman dikenal mahal, salah satu yang termahal di Arab. Kurang lebih, empat lima kali lipat biaya hidup di Jakarta. Barang-barang merek impor sangat mahal. Seporsi Kentucky Fried Chicken (tiga potong ayam, kentang, dan sekaleng Pepsi) , misalnya, dilego 5 JD (Rp 65.000).
Ahmad lima bersaudara, tiga perempuan. Ayahnya –seorang yang dilukiskannya ganteng dan berwibawa-- meninggal tiga tahun lalu. Orang tua Ahmad terusir dari tanah Palestina setelah Perang Arab-Israel tahun 1948. Bersama ibu dan empat saudaranya, Ahmad tinggal di sebuah apartemen di luar kota. Saudara-saudaranya menganggur, bagian dari 1,5 juta penduduk Amman yang hidup di bawah garis kemiskinan.
“Saya yang membayar listrik, air, membeli bahan makanan,” ucap Ahmad. Seperti sebagian besar pengungsi Palestina lainnya, sekitar 65 persen dari penduduk Jordania, Ahmad tidak mengenyam pendidikan tinggi. Ia bekerja sejak usia 17 tahun untuk menghidupi keluarganya. Ia menjadi asisten manajer setelah lima tahun bekerja.
Seminggu sekali ia ke rumahnya. Ke sana, ia harus membayar taksi 5 JD. Hari-harinya lebih banyak dihabiskan dengan tidur di hotel, sembari sesekali bermain biliar.
***

RODA kehidupan di Jordania, negeri bekas jajahan Inggris yang berbatasan langsung dengan Irak, biasa-biasa. Tak ada kepanikan mengantisipasi rencana serangan militer AS ke Irak. Anak-anak muda memenuhi mall, yang ukurannya jauh lebih kecil dibanding mal-mal megah di Jakarta, juga kedai-kedai kehidupan malam.
“Saddam tidak pernah, dan tidak akan pernah menyerang kami,” komentar Ahmad. Pada Perang Teluk tahun 1991, Saddam meluncurkan rudal Scud-nya ke negara-negara musuhnya seperti Kuwait, Arab Saudi, dan Israel. Tidak ke Jordania.
Jordania, yang sejak 1999 dipimpin Raja Abdullah yang lulusan pendidikan militer AS, adalah salah satu sekutu Bush di Timur Tengah. Cuma, dalam sejarahnya, sejak Raja Hussein almarhum yang memimpin negeri mungil ini selama 46 tahun, Jordania senantiasa memainkan peranan dinamis dalam kancah politik Timur Tengah. Raja Hussein bersahabat dengan para pemimpin Eropa, Uni Soviet (kemudian Rusia), dan Amerika.
Sumber daya alam yang terbatas adalah faktor utama mengapa Jordania tidak memusuhi Barat, yang menyediakan bantuan ekonomi, dan Saddam, yang menyuplai kebutuhan minyak Jordania.
Secara geopolitik, Jordania bertetangga langsung dengan negara-negara yang terus bergolak. Negeri ini dikelilingi Irak, Palestina (West Bank), dan Israel. Konflik Israel-Palestina melahirkan pengungsi ke Jordania sejak tahun 1948, hingga sebagian besar penduduknya berdarah Palestina. Sementara, Perang Teluk melahirkan pengungsi Irak yang masuk lewat daerah perbatasan di Ruweysed.
Bolehlah dibilang, Jordania tanah air kedua Palestina. Istri Raja Abdullah II, Ratu Rania, pun berdarah Palestina. Ketika Perang Teluk meletus, bangsa Palestina, termasuk Yasser Arafat, mendukung Saddam.
“Saddam orang pintar. Tatapan matanya tajam, berwibawa,” komentar Ahmad. Orang-orang Irak, kata dia, pintar-pintar. Sambil tertawa, ia berkata, “Buktinya mereka mampu membuat senjata pemusnah massal.”
Irak,  Mesir, Jordania, dan Palestina memang dikenal sebagai sumbernya orang-orang terdidik bangsa Arab. Mereka bekerja di berbagai negara, seperti Eropa bahkan Amerika. Mesir, misalnya, sampai membentuk kementerian tenaga kerja asing, saking banyaknya tenaga terdidik yang bekerja yang di luar negeri.
“Amerika tidak senang karena orang-orang Irak pintar. Mereka juga kaya minyak. Amerika mengincar petroleum (minyak) bangsa Arab,” sambung Ahmad.
Toh, ia tak mau terlalu memikirkan perang. Ahmad lebih senang bermain biliar, dua kali sepekan, di Riley. “Lupakan perang,” serunya, sambil mengambil stik biliar. Mungkin ia paham betul, apa maksud kata-kata yang tertera dalam kalender yang tergantung di dinding Riley: Hapiness is love.
(Wartawan PERSDA, Dahlan, melaporkan dari Amman, Jordania).

2 comments:

  1. Wah kayaknya seru deh jadi wartawan bisa ke daerah2 seperti itu.
    Pengen donk.

    Mungkin nanti kalau aku udah jadi dokter aja kali ya. Dokter Internasional. Diletakkin di daerah2 konflik kayak gitu.

    Pasti Seru !

    Lam kenal ya mas...

    ReplyDelete
  2. Seru juga Mas Fadli. Banyak daya tarik jadi wartawan. Meliput ke lapangan, apalagi ke daerah yang menjadi pusat perhatian, adalah salah satunya.

    Sekarang, dengan ngeblog, tak perlu lagi kartu wartawan. Semua orang bisa menjadi wartawan he he he.

    Salam kenal ya Mas Fadli

    ReplyDelete

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...