Kompetensi Wartawan *
Dahlan
Pemimpin Redaksi Tribun Timur, Makassar
WARTAWAN bekerja mencari, menulis, dan melaporkan berita. Tujuan akhir dari berita adalah masyarakat. Kepada masyarakat pulalah, dan bukan kepada pemerintah, wartawan mengabdi.
Surat kabar atau media massa lainnya tempat wartawan menyajikan hasil karya jurnalistiknya merupakan panggung terbuka. Penontonnya banyak.
Karena itu, banyak pihak yang tergiur memanfaatkan panggung tersebut. Pemasang iklan, misalnya, berkepentingan dengan panggung tersebut untuk mempromosikan produknya. Sedangkan politisi dan pemerintah membutuhkan panggung untuk tujuan politik dan sosialnya.
Masalahnya, karena keterbatasan ruang maupun waktu di media massa, tidak semua yang ingin tampil di atas panggung bisa tampil sesuai dengan keinginan.
Ada faktor lain yang membatasi siapa yang boleh naik di panggung, siapa yang boleh menggunakan ruang dan waktu media massa. Sebutlah masalah etika, norma, dan hukum. Pornografi, misalnya, tidak boleh tampil di panggung. Menghina orang atau memberitakan kabar bohong tidak memiliki ruang dan waktu di media massa.
Siapakah yang memutuskan siapa yang boleh tampil di panggung siapa yang tidak boleh? Dialah wartawan. Mereka menilai mana berita yang bagus untuk masyarakat, mana yang tidak.
Tidak selalu gampang untuk memutuskan mana berita yang perlu diliput mana yang tidak. Lebih tidak gampang lagi memutuskan mana berita yang bagus untuk publik mana yang sebaliknya.
Keterampilan apa yang dibutuhkan wartawan agar misi utamanya memberikan informasi, mendidik, menghibur, dan memberikan kontrol sosial dapat berjalan dengan baik?
Kemampuan emosional seperti apa yang dibutuhkan agar berita dicari, ditulis, dan disajikan dengan mengedepankan nilai-nilai independensi, idealisme, dan etika?
Secara sederhana, kemampuan mencari, menulis, dan melaporkan berita merupakan keterampilan teknis seorang wartawan. Itulah hard competence wartawan.
Sedangkan keterampilan mencari, menulis, dan menyajikan berita dengan menjunjung tinggi nilai independensi, idealisme, dan etika --baik pada proses kerja jurnalistik maupun hasilnya-- merupakan keterampilan moral, keterampilan emosional, atau soft compentence.
***
Pada prakteknya, wartawan sejati seharusnya memiliki dua kompentensi itu sekaligus. Keterampilan mencari, menulis, dan menyajikan berita saja tidak cukup. Sebab, tulisannya yang baik akan semakin baik menipu masyarakat manakala tidak dilandasi semangat dan nilai independensi, idealisme, dan etika.
Sebaliknya, soft competence saja tidak cukup. Prinsip independensi dan idealisme, misalnya, tidak akan bekerja dengan sempurna pada wartawan yang tidak bisa menulis berita.
Banyak yang mengabaikan soft compentence. Di pelatihan-pelatihan jurnalistik untuk pemula, misalnya, porsi untuk etika jurnalistik hanya dibahas dua jam dari katakanlah lima hari pelatihan jurnalistik. Yang banyak diasah adalah hard compentence, sementara soft competence cenderung diabaikan.
Padahal, sebenarnya, soft competence merupakan pelajaran paling sulit bagi wartawan.
Tidak membutuhkan waktu lama bagi wartawan untuk mengidentifikasi mana berita yang menarik mana yang bukan. Selanjutnya, tidak perlu waktu yang lama untuk mencari, menulis, dan menyajikan berita yang bagus. Biasanya wartawan muda hanya membutuhkan waktu dua-tiga tahun untuk melewati proses ini.
Tidak demikian halnya dengan soft competence. Melatih diri untuk senantiasa independen, dengan katakanlah tidak menerima amplop, merupakan latihan yang terus menerus, setiap hari, sepanjang Anda tetap menjadi wartawan.
Godaan kepada independensi terus menerus berevolusi, dari mulai amplop berisi puluhan ribu menjadi ratusan bahkan jutaan rupiah. Modusnya pun makin canggih, dari sekadar amplop hingga penyamaran dalam bentuk fasilitas gratis.
Makin senior wartawan, makin “senior” pula godaan terhadap independensi dan idealismenya.
Sekali atau dua kali wartawan bisa lolos dari godaan tersebut, tapi mungkin tidak di saat yang lainnya. Jelas sekali bahwa mempertahankan prinsip independensi merupakan perjuangan yang tanpa henti, terus menerus, sepanjang masih menyandang profesi wartawan.
Keterampilan untuk selalu lolos dari godaan itu dalam segala situasi merupakan soft competence. Tidak ada kaitannya sama sekali dengan, katakanlah, kemampuan menulis berita yang merupakan salah satu unsur keterampilan teknis (hard competence).
Seringkali, keterampilan teknis wartawan tidak berkembang seiring dengan dengan soft competence. Makin lama, wartawan makin jago menulis, tapi dalam banyak kasus, makin tidak cerdas dari sisi soft competence.
***
Masyarakat memberikan penghargaan yang tinggi pada karya jurnalistik bermutu. Karya seperti itu merupakan produk hard compentence. Pulitzer adalah penghargaan masyarakat pers Amerika Serikat untuk karya jurnalistik bermutu. Indonesia mengadopsinya dengan Adinegoro.
Tahun 1994, Kevin Carter meraih penghargaan Pulitzer untuk fotonya yang luar biasa di Sudan: Seorang bocah berkulit hitam, yang nampak kurus kering, tersungkur kelaparan. Seekor burung pemakan bangkai terlihat menunggu beberapa meter dari bocah malang itu.
Begitu foto itu dipublikasikan, dunia terguncang. Kelaparan di Sudan begitu nyata. Tidak ada yang tahu bagaimana nasib bocah kecil itu, termasuk si fotografer, Kevin Carter, apakah dia akhirnya mati lalu dimakan burung pemakan bangkai. Carter meninggalkan bocah malang itu segera setelah memenuhi ambisinya sebagai fotografer.
Tiga bulan kemudian, Kevin Carter bunuh diri setelah mengalami depresi.
Itu gambaran bahwa jurnalisme tidak hanya berbicara tentang hasil karya, tapi proses berkarya. Dalam proses berkarya, ada begitu banyak nilai.
Hard competence Carter luar biasa sebagai seorang fotografer. Tapi soft competence dia, penghargaan dia terhadap manusia dan kemanusiaan, begitu rendahnya. Dia jago memotret tapi amat nista dari sisi etika kemanusiaan. Tapi bagaimanapun, sejarah mencatat Carter sebagai penerima Pulitzer tahun 1994.
Begitulah, memang, penghargaan untuk keterampilan teknis jurnalistik ada di mana-mana.
Pertanyaannya, adakah penghargaan kepada wartawan yang sepanjang hidupnya terus menerus konsisten menjaga nilai-nilai independensi, idealisme, dan etika profesi kewartawanan? Sangat jarang atau mungkin tidak ada.
Padahal, penghargaan untuk kategori itu bukan saja seharusnya ada, tapi juga nilai penghargaannya haruslah sangat tinggi. Tidak sedikit wartawan yang memilih hidup sederhana dengan menolak segala godaan kenikmatan materi dan nonmateri demi untuk satu prinsip luhur kewartawanan yang ia yakini.
Celakanya, beda sekali karya jurnalistik yang baik, yang merupakan produk hard competence, dengan keterampilan moral menjaga independensi: bila karya tulis bisa dilihat dan dinikmati masyarakat maka wartawan yang berjuang mempertahankan nilai-nilai independensi, idealisme, dan etika tidak dilihat oleh publik, bahkan kadang tidak juga diketahui oleh teman-teman dekatnya sesama wartawan.
Tidak banyak wartawan yang senang bercerita tentang perjuangannya menolak amplop, misalnya. Dan sudah pasti, cerita seperti itu tidak layak menjadi berita, yang memungkinkan kisah heroik itu diketahui publik.
Padahal, cerita-cerita itu sungguh indah, penuh drama, dan kadang-kadang menyentuh kalbu. Seorang wartawan, misalnya, menolak amplop dan ketika tiba di rumah ia menyaksikan anaknya yang menangis karena dicubit tetangga yang tidak senang kursinya dikencingi saat si bocah menonton TV. Wartawan yang menolak uang itu tidak memiliki pesawat TV di rumahnya sehingga anak-anaknya terpaksa ke rumah tetangga untuk menonton TV. Bagi keluarga wartawan yang idealis ini, menonton TV sungguh-sungguh merupakan barang mewah.
Adakah penghargaan untuk mereka? Tidak ada.
Seperti halnya upaya meningkatkan hard competence, adalah tugas wartawan untuk terus menerus meningkatkan soft competence.
Tetapi mestinya wartawan, dengan tugasnya yang mulia, tidak bisa dibiarkan untuk sendirian memikul beban berat itu. Pengelola media, pemerhati pers, masyarakat, kaum intelektual, organisasi profesi, dan pada akhirnya, pemerintah, haruslah bersama-sama mendorong, member iklim yang kondusif, serta memberi insentif bagi muncul dan berkembangnya wartawan sejati: tinggi hard competence-nya, tinggi pula soft competence-nya.
Itu semua perlu dilakukan demi untuk mencegah munculnya apa yang disebut “pengkhianatan jurnalis, sisi gelap jurnalisme kita”.
·
No comments:
Post a Comment