Thursday, July 3, 2008

Laporan Jurnalistik, dari Amman ke Cairo

Laporan jurnalistik ini saya buat setiba di Cairo, Mesir, dalam penerbangan dari Amman, Jordania, Februari 2003.

Saya ke Cairo untuk mengurus visa ke Irak. Tujuan utama saya ke Timur Tengah memang untuk melakukan liputan jurnalistik mengenai Perang Irak.
Saya membuat catatan ini untuk para redaktur di kantor di Jakarta (Persda) dan Surabaya (Surya):
Catatan: Mulai Senin (10/2), kantor-kantor pemerintah di negara-negara Arab tutup menjelang hari raya Idul Adha. Hari libur sampai Kamis. Tapi karena Jumat dan Sabtu hari libur (seperti Sabtu dan Minggu di Indonesia), maka praktis roda pemerintah baru akan bergerak lagi hari Minggu (16/2). Tulisan ini dimaksudkan untuk mengantisipasi musim paceklik berita.

Salam,

dahlan
Laporan jurnalistik ini tanpa judul. Saya cuma menulisnya "Laporan Perjalanan". Tulisannya panjang. Karena itu, saya berharap teman-teman editor Surya dan Persda dapat memenggal-menggalnya sesuai kebutuhan redaksi. Selengkapnya:
LAPORAN PERJALANAN
“WAH, saya ditanyai banyak orang. Kantor berita asing, termasuk dari Netherland menanyakan tentang Anda.” Begitulah reaksi pertama Dachlan Abdul Hamid, Duta Besar (Dubes) Republik Indonesia untuk Irak ketika saya meneleponnya, Minggu (9/2), dari Cairo, Mesir.
Yang dia maksud tentu saja berita penangkapan Dahlan, wartawan Harian Surya, oleh militer Irak atas tuduhan mata-mata. “Syukurlah, Anda selamat,” kata Kabid Penerangan KBRI Kuwait, Hasan Basri, ketika saya kontak sehari sebelumnya.
Bagaimanapun, berita tentang penangkapan itu membawa hikmah tersendiri. Setiap pejabat KBRI yang saya hubungi, mulai dari Kuwait, Mesir, bahkan Suriah, langsung akrab. “Oh, yang tertangkap itu, ya!” Begitu mereka biasanya merespon, begitu saya memperkenalkan diri sebagai “wartawan Harian Surya”. Itu semua memudahkan saya mendapatkan informasi dari mereka, sesuatu yang amat membantu pekerjaan saya sebagai wartawan.
Sebenarnya, saya meliput (rencana) perang Irak berdasarkan penugasan Persda, Kelompok Koran Daerah Kompas Gramedia Group. Di sini bernaung sembilan surat kabar harian. Yakni, Surya (Surabaya), Serambi Indonesia (Aceh), Sriwijaya Post (Palembang), Banjarmasin Post (Banjarmasin), Bangka Pos (Bangka), Metro Bandung (Bandung), Bernas (Jogjakarta), Pos Kupang (Kupang), dan Timika Pos (Timika).
Nama Persda tenggelam, karena berbagai pemberitaan, termasuk situs internet yang dengan cepat diakses masyarakat Indonesia di Timur Tengah, menulisnya sebagai “wartawan Harian Surya”.
Sewaktu saya tiba di Cairo, Musthafa Abd Rahman, yang telah menjadi wartawan Harian Kompas di ibukota Mesir ini sejak 1991, memberi kabar pada saya: namamu terkenal di sini. Sewaktu pertemuan mahasiswa Indonesia dengan Dubes Bactiar Aly dan Nana Sutresna, seorang mahasiswa Indonesia menanyakan berita penangkapan Anda.
Pak Mus, begitu saya memanggilnya, adalah calon doctor pemikiran politik Islam dari Universitas Beirut, Lebanon. Sebagai wartawan, ia cukup paham seluk beluk politik Timur Tengah, topik yang ditulisnya hampir setiap hari satu dasarwarsa terakhir. Ia telah menerbitkan beberapa buku tentang Timur Tengah.
Semula, saya mengira Pak Mus mencoba menghibur saya yang letih. Saya baru mendarat di Cairo, lewat Royal Jordanian Air, menjelang tengah malam setelah jadwal penerbangan dua kali delay. Di bandara Cairo, saya sempat tertahan sekitar 30 menit gara-gara diinterogasi oleh petugas imigrasi. Mereka mengira saya TKI yang masuk dengan visa turis.
Semua itu terjawab di Wisma Nusantara. Saya berada di pusat aktivitas mahasiswa Indonesia di Cairo itu setelah Imam Gozali, mahasiswa Universitas Al Azhar, mengundang saya untuk memberi ceramah jurnalistik di depan 10-an kru bulletin Informatika. Buletin ini dipimpin Imam dan dikelola pada mahasiswa Indonesia, hampir semuanya dari Universitas Al Azhar.
Wisma Nusantara berdiri megah diantara apartemen di kota Cairo. Saya baru hendak naik ke lantai atas, ketika Iswan Kurniawan, Sekretaris Umum Persatuan Pelajar Mahasiswa Indonesia Mesir (PPMI) muncul di depan pintu. “Nah, ini dia yang bertanya tentang Anda kepada Pak Dubes,” kata Pak Mus. Iswan tersenyum, sembari mempersilakan kami naik ke tangga ke lantai atas.
Bukan respon tentang berita penangkapan yang membuat saya terkesima. Melainkan foto BJ Habibie, lengkap dengan tulisan “Presiden Republik Indonesia”, masih tergantung di salah satu dinding. Saya ingat, foto Presiden KH Abdurrahman Wahid masih menghiasi dinding kantor DPP PKB di Kuningan, Jakarta. Sedangkan di Makassar, para mahasiswa menurunkan foto Presiden Megawati dan Wapres Hamzah Haz dari kantor-kantor pemerintah.
Di sejumlah negara Arab, seperti Mesir dan Jordania, jalan-jalan selain dihiasi iklan, juga foto diri pemimpin mereka. Di Amman, Jordania, hampir seluruh jalan utama ada billboard yang memajang gambar Raja Abdullah II. Demikian pula gambar Presiden Hosni Mubarak di jalan-jalan Cairo. Gambar-gambar mereka juga dipajang di hampir seluruh kantor, pemerintah maupun swasta.
Pagi hari, sebelum ke Wisma Nusantara, saya ke kantor KBRI. Saya bermaksud mewawancai Nana Sutresna, utusan khusus Megawati untuk menemui Menlu Mesir dan Sekjen Liga Arab di Cairo. Sembari menunggu diplomat senior itu, Pak Amir, staf Bidang Penerangan KBRI, tak lupa bertanya mengenai “kabar dari Irak.” Saya hanya tersenyum.
***
DI Cairo, saya merasa aman. Ini berbeda sekali ketika saya masih di Amman, Jordania. Mencuatnya berita penangkapan saya oleh tentara Irak, yang dilansir berbagai media, termasuk media luar negeri, membuat saya tidak nyaman. Saya merasa, Amman bukan lagi kota yang aman. Saya selalu teringat cerita Jafar Busyiri, wartawan Gatra, yang berbasis di Cairo. Dia ke Arab Saudi, lalu hilang secara misterius. Bisik-bisik bilang, ia ditangkap aparat keamanan lalu mati tanpa kabar berita lagi.
Dari teman-teman mahasiswa di Amman, saya mendengar cerita bagaimana intel Jordania begitu kuat sehingga mampu mengetahui apa saja yang dikejarkan penghuni kota kecil itu. Bila ada pembunuhan, misalnya, secepat kilat pelakunya ditangkap. Mahasiswa takut berdemonstrasi. Masjid-masjid hanya menyiarkan siraman rohani, bukan khotbah politik.
Sebelumnya, saya sudah berurusan dengan tentara Jordania di Ruweished, kota terakhir sebelum perbatasan Jordania-Irak. Petugas militer itu mencatat semua identitas saya. Saya rasa, kalau intel Jordania menginginkan, mereka akan dengan mudah menangkap saya.
Jujur saja, saya ketakutan. Kabel telepon di apartemen saya cabut. Saya tidak ingin ada orang lain yang menelepon ke kamar. Petugas hotel, seorang Palestina, saya wanti-wanti, “Kalau ada yang cari, bilang saja, saya sudah check out.”
Beberapa jam sebelumnya, petugas hotel itu menelepon ke kamar. Ia bilang, “Sir, ada pejabat dari Kedutaan Besar Malaysia ingin bicara dengan Anda…” Menurut dia, si pejabat ingin menanyakan, apakah benar saya sedang meminta visa ke Malaysia.
Gila! Pikir, saya. Mana mungkin saya jauh-jauh ke Timur Tengah hanya untuk mengurus visa ke Malaysia. Saya sedang dalam bahaya, pikir saya.
Saya mondar-mandir di kamar. Setiap detak langkah di luar kamar seolah-olah seperti polisi yang hendak menangkap saya. Pelan-pelan, saya kemasi barang-barang yang penting: laptop, kamera, tape rekaman. Beberapa lembar baju saya masukan dalam tas.
“Saya ingin ke apartemen teman, sebentar,” kata saya seraya menyerahkan kunci apartemen kepada petugas resepsionis. Saya menyetop taksi, lalu kabur ke arah barat. Kemudian, taksi saya perintahkan berbelok, menuju sebuah hotel tak jauh dari apartemen.
Saya memesan sebuah kamar. Petugas resepsionis menahan paspor, lalu meminta saya beristirahat di kamar. “Tidak bisa, Tuan. Paspor Anda harus disimpan di sini,” katanya, ketika saya meminta paspor. Segala alasan saya karang untuk meminta paspor itu. Saya khawatir, dia nanti akan melapor ke intel, dan mengabarkan saya bersembunyi di hotelnya.
Saya menuju lift, ke lantai dua. Kamar hotel itu cukup sempit, tapi kasurnya empuk. Lumayan untuk bisa beristirahat, pikir saya. Begitu merebahkan tubuh sebentar, saya lalu teringat paspor. Saya menelepon resepsionis. Ia tetap tidak mau menyerahkan paspor.
Segera saya turun ke lantai dasar. “Berapa saya harus memberikan uang garansi,” tanya saya dengan nada tinggi. “Saya harus mengurus tiket pesawat, saya butuh paspor.” Okelah, kata dia. Dia menyebut angka, lalu saya menyerahkan lembaran-lembaran Jordanian Dinar (JD).
***
DARI kamar hotel, saya menelepon beberapa travel agent dan kantor maskapai penerbangan. Tujuan pertama saya, Israel. Daerah ini terus bergolak. Hampir setiap hari, ada saja orang Palestina yang mati ditembaki tentara zionis Ariel Sharon.
Dari Jordanian Air, saya dapat kabar kurang menggembirakan. Katanya, penerbangan ke Tel Aviv butuh visa. Saya harus mengurus sendiri di kantor kedutaan Israel di Amman. Butuh waktu beberapa hari.
Saya coba ke Jerusalem, dengan bus. “Siapa yang akan ke Jerusalem dalam situasi begini,” ucap seorang wanita petugas Bisharat, perusahan tour and travel ketika saya hubungi via telepon. Alamatnya saya peroleh dari buku guide Jordan. Seukuran buku saku, guide full colour ini terdapat di hampir semua hotel di Amman. Buku kecil ini, yang dikemas dalam bahasa Arab dan Inggris, sangat membantu orang asing seperti saya.
Israel atau Palestina tertutup. Saya harus mencari jalan agar secepatnya keluar dari Amman. Rasanya seperti neraka saja. Saya benar-benar baru merasa takut. Saya harus segera meninggalkan Amman, apapun caranya. Hanya itu yang terus berputar-putar dalam kepala saya.
Dengan bantuan sopir taksi, Mahmud, saya mencari travel agent. Waktu itu sekitar pukul delapan malam. Banyak kantor travel sudah tutup. Untung, Zaatara Swifyeh masih buka. Tanpa kesulitan, saya mendapat tiket ke Cairo. Take off dari Alia Queen Airport, Amman, pukul 19.35, landing di Cairo pukul 21.05 waktu setempat.
Masalah muncul. Akram, satu-satunya karyawan Zaatara yang masih bertugas malam itu, meminta paspor saya, dan menemukan nama saya cuma satu kata, Dahlan. Akram, sepertinya dia orang Palestina dengan cambang yang dicukur rapi, menanyakan nama keluarga saya. Saya bilang, tidak ada. Nama saya cuma Dahlan. Itulah nama yang diberikan orang tua saya.
Dia tidak puas. Diangkatnya gagang telepon, memanggil seseorang. Ketakutan saya muncul lagi. Saya khawatir, dia menelepon polisi dan mengatakan, “Ini lho Dahlan yang ditangkap tentara Irak itu (dan kemudian bebas)”. Ia berbicara dalam bahasa Arab. Mukanya saya lihat agak tegang. Ketika meletakan gagang telepon, ia kembali bertanya, siapa nama belakang saya. Dia lihat lagi paspor saya, berkali-kali. Tapi memang nama saya cuma satu kata.
Media massa di Indonesia, yang kemudian dikutip penerbitan asing, memberitakan nama saya Muhammad Dahlan. Saya senang, karena dengan itu saya bisa berkilah bahwa saya Dahlan, bukan Muhammad Dahlan. Di paspor nama saya tertulis “Dahlan”, bukan “Muhammad Dahlan”.
Baiklah, kata saya kepada Akram. Orang Indonesia umumnya hanya memakai satu nama. Dua presiden Indonesia hanya punya satu nama, Soeharto dan Soekarno. Akram tampaknya tidak cukup mengenal nama itu. Sebagai orang Palestina, tentu dia lebih mengenal Yasser Arafat.
“Oke, tapi bagaimana saya harus menulis nama Anda di blanko tiket?”
“Tulis saja, Dahlan, dan tidak akan ada masalah.”
“Tapi itu tidak lazim, Tuan.” Rona mukanya memancarkan wajah yang serius. Lalu siapa yang main-main, batin saya. Memang nama saya cuma satu kata, kok! Apakah saya harus mengarang?
Sayang saya lupa tiket Kuwait Airways. Saya datang dari Jakarta ke Amman, dengan transit di Kuwait dan Singapura, dengan tiket tersebut. Hanya satu nama, Dahlan.
Sopir taksi yang mengantar saya sampai ke front desk travel itu ikut menimpali. Si sopir taksi bilang, memang ada ribuan nama Dahlan di dunia. Tapi kan nomor paspornya berbeda-beda. Ah, mungkin dia benar. Tapi Akram tetap tidak yakin. Diangkatnya gagang telepon sekali lagi. Tapi tidak ada yang menyahut deringan telepon di ujung sana.
”Baiklah, Mister Dahlan. Besok pagi, Anda harus menelepon ke sini.”
“Mengapa? Bukankah tiket saya sudah berstatus OK?”
“Ya, tapi saya khawatir Anda akan menemui masalah di bandara. Saya tidak ingin perjalalan Anda terganggu.”
Saya punya paspor, punya visa ke Mesir, punya tiket dengan status OK, lalu masalahnya apa, saya bertanya dalam hati.
Masalah disudahi. Saya minta dia mencantum nama dan nomor telepon kantornya. Kelak, bila ada masalah, saya bisa segera mengontak dia. Kemudian saya lihat, dia menulis nama saya dengan DAHLAN/DAHLAN MR.
***
DI luar, hujan turun disertai salju. Dingin sekali. Mahmud mengantar saya ke hotel. Dia akan menjemput saya besok pukul 13.00 menuju bandara. Saya ingin lebih awal ke bandara, tidak ingin mengurung diri di hotel.
Menjelang tengah malam, saya menelepon apartemen. Saya ingin mengambil sisa pakaian sekalian check out. “Tolong persiapkan bill-nya. Saya akan datang dua jam lagi,” kata saya setelah memperoleh kepastian, “tak ada siapa-siapa di lobi apartemen.”
Pikiran intel saya muncul. Sebelumnya, saya sering membaca cerita-cerita detektif. Saya sengaja bilang dua jam lagi akan datang. Harapannya, kalau petugas berkhianat, dan dia akan melaporkan saya ke intel, mereka akan kecolongan. Saya langsung balik ke apartemen begitu selesai meletakkan gagang telepon.
“Kok cepat. Katanya dua jam lagi,” petugas resepsionis bertanya.
“Oh, tidak. Kebetulan urusan di apartemen kawan sudah selesai.”
Setengah berlari, saya segera ke kamar. Saya kemasi seluruh barang, dimasukan ke dalam tas. Membayar sewa apartemen, lalu kabur secepatnya.
“Saya akan ke Israel,” kata saya kepada petugas apartemen.
Saya naik taksi, putar-putar, sebelum menuju hotel. Ini cara mengelabui musuh, pikir saya.
Pukul 12.00 keesokan harinya, saya menuju bandara. Tidak lupa saya menitip uang 1,5 JD (sekitar Rp 20.000). “Tolong berikan uang ini kepada Pak Mahmud, sopir taksi. Saya sudah janjian, dia akan menjemput saya satu jam lagi,” kata saya kepada petugas resepsionis. “Katakan, saya mohon maaf, terpaksa berangkat lebih dahulu karena harus ke apartemen teman dulu. Mungkin saya batal ke Cairo.”
Dengan taksi, saya menuju kantor Royal Jordanian Air. Nama sopir taksinya Abu Bakar, seorang Palestina. Dia kenal banyak tentang Indonesia, Megawati, bom Bali, bahkan Ustad Abu Bakar Ba’asyir dan mantan Panglima Laskar Jihad Jafar Umar Thalib.
“Hidup ini tidak hanya untuk makan. Saya juga menonton berita,” kata dia. Tahun 1967, ketika tentara Arab kalah melawan Israel, keluarga Abu Bakar meninggalkan tanah airnya menuju Kuwait. Sampai tahun 1991 di sana sebelum kabur lagi ke Jordania.
“Orang Palestina di Kuwait mendukung Paman Saddam ketika Irak menduduki Kuwait. Setelah Paman Saddam kalah, kami semua, sekitar setengah juta orang Palestina, angkat kaki dari Kuwait ke sini,” kata Abu Bakar sembari tertawa terbahak-bahak. Dia bercerita tentang Kuwait, karena saya bilang, akan terbang ke Kuwait. Padahal saya menuju Cairo.
Di kantor Royal Jordanian, saya mendapat kepastian, status tiket saya OK. Juga tidak ada masalah dengan nama saya yang cuma satu kata. “Tanpa nama keluarga tidak masalah, Pak, meskipun aneh. Di Arab, nama orang minimal terdiri atas dua kata, bahkan banyak yang tiga,” kata petugas, seorang laki-laki bercambang lebat. Dia memakai switer karena kedinginan di ruangan yang tanpa pemanas udara.
***
SAYA mulai tenang ketika tiba di Alia Queen Airport. Paling tidak, saya sudah selamat meninggalkan kota Amman. Masih ada satu tahap lagi yang berat, yakni pada proses boarding dan pemeriksaan paspor di imigrasi. Tapi okelah, setidaknya sudah sampai di bandara. Cairo rasanya semakin dekat.
Abu Bakar berulah. Dia minta saya membayar 15 JD (sekitar Rp 195.000). Padahal, sesuai argo, saya hanya perlu membayar 8 JD. “Saya kan pulang tanpa penumpang,” kilahnya. Begitulah memang rata-rata sopir taksi Amman. Mereka selalu mengarang alasan untuk memeras penumpangnya.
Beberapa penumpang sudah menunggu. Kira-kira enam jam lagi baru saya terbang. “Jangan mondar-mandir di bandara. Ambil koran, baca, supaya mukamu tertutup koran,” begitu perintah Om Valens Doy, pemimpin saya. Maksud dia, dengan membaca koran, muka saya tersembunyi. Pak Anwar Hudijono, juga bos saya, tak lupa menelepon, dan berkata, “Bagus, memang lebih pas Anda meninggalkan Amman secepatnya. Selamat berjuang!” Seperti biasa, Pak Anwar memang selalu bersemangat.
Saya membeli Jordan Times dan The Star, koran berbahasa Inggris. Salah satu artikel yang saya baca habis karangan Edward Said, penulis terkemuka asal Palestina. Tulisan ini lebih dulu dimuat The Guardian, koran terbitan Inggris.
Dia mengeritik Amerika, juga pemimpin Arab yang membeo pada Bush. Rakyat Arab, kata dia, menolak Amerika. Tapi para pemimpinnya tidak. Bangsa Arab kehilangan pemimpin, begitulah kata dia.
Tulisan lainnya yang menarik dimuat Jordan Times. Seorang penulis Jordania memaparkan, ada tiga level masyarakat Arab. Dalam setiap konflik, tiga kelompok masyarakat itu memberikan respon yang berbeda.
Pertama, para pemimpin Arab. Mereka selalu berkata “yes” pada Amerika (kecuali tentu saja Saddam Hussein, makanya ia dihormati masyarakat Arab). Kedua, rakyat, massa. Mereka ini menolak Amerika, tapi tidak berdaya. Aspirasi mereka mental membentur tembok-tembok raksasa sistem pemerintahan kerajaan dan totaliter ala negara-negara Arab. Kelompok ketiga, jumlah massanya kecil, tapi sering memainkan peranan dalam dinamika politik Arab. Mereka adalah kelompok garis keras. Mereka ini juga hampir tak berdaya. Aspirasi mereka dikemukakan dalam bentuk tindakan kekerasan. Inilah yang dirumuskan Amerika sebagai teroris.
Akhirnya, penulis menyimpulkan, Amerika bisa menaklukan para pemimpin Arab. Tapi tidak bisa menjinakan kelompok ketiga. Malah, dikhawatirkan, akan semakin tumbuh subur.
Saya sudah letih membaca. Masih empat jam lagi waktu take off. Saya datangi petugas penjaga pintu masuk sebelum boarding. “Tunggu, dua jam lagi,” katanya.
Saya kembali ke ruang tunggu. Membaca lagi, menutup muka dengan koran. Polisi lalulalang. Mereka terlihat sibuk. Saya yang ketakutan.
Bandara ini diberinama Alia Queen Aiport. Alia istri ketiga mantan Raja Jordania, Raja Hussein. Seperti tiga istri lainnya, Alia cantik. Dia orang Palestina yang mati dalam kecelakaan helikopter. Namanya diabadikan sebagai nama bandara tersebut.
Jam lima, pintu dibuka. Semua mulus, kecuali di desk boarding. Petugas mempermasalahkan lagi nama saya yang cuma satu kata. Benar-benar meletihkan. Saya harus menjelaskan lagi, menjelaskan lagi.
Seluruh penumpang tujuan Cairo masuk ke Gate 2. Satu jam lagi, pesawat akan take off. Tiba-tiba, muncul pengumuman: pesawat delay. Rencana take off pukul 21.00. Seluruh penumpang kembali ke ruang tunggu, sambil mengomel. Ada yang berteriak-teriak, memprotes. Tapi tidak ada jawaban.
Satu jam sebelum terbang, penumpang masuk lagi ke Gate 2. Antriannya cukup panjang. Penumpang lebih 100 orang. Para wanita melewati pos pemeriksaan khusus. Saya harus membuka ikat pinggang, karena setiap kali lewat, metal detector selalu berbunyi. Tanpa ikat pinggang, celana saya kedodoran.
Di ruang tengah ruang transit saya duduk. Di depan saya, dua orang lelaki berbadan besar. Kumisnya dicukur rapi. Di samping mereka tergeletak tas warna merah tua, bertuliskan, “Minister of Foreign Affair, Baghdad.”
Kemudian saya sadar, saya dalam bahaya. Segera saya menjauh. Saya tidak ingin duduk berdekatan dengan mereka. Perasaan was-was kembali menghantui. Jangan-jangan, pesawat ini delay hanya untuk menunggu petugas yang akan menangkap saya.
Sudah menjelang pukul sembilan malam belum ada tanda-tanda naik pesawat. Wajah para penumpang nampak letih. Tiba-tiba, seseorang mengumumkan, “Mohon maaf, take off diundur sampai pukul 22.30.”
Penumpang berteriak-teriak. Saya memanfaatkan suasana yang gaduh itu untuk “ngumpet” di bagian paling belakang. Perasaan saya semakin tidak tenang. Saya berdoa dalam hati.
***
PUKUL 22.30, pesawat Air Bus take of. Alhamdulillah, kata saya. Akhirnya saya akan sampai di Cairo, negeri impian. Impian bukan karena kota ini punya tempat-tempat wisata bersejarah seperti Sungai Nil, tidak. Cairo, bagi saya, adalah negeri pelarian. Di kota berpenduduk 17 juta jiwa ini, saya ingin membangun lagi jiwa saya yang hancur.
Penerbangan Amman-Cairo ditempuh satu jam lima menit. Sepanjang perjalanan, saya mencoba tidur. Tapi tidak bisa.
Bandara Cairo tidak terlalu bagus. Penumpang turun dari pesawat di landasan, lalu diantar bus tua ke terminal. Udara sangat dingin. Cairo sedang musim dingin.
Saya mengira, setiba di Cairo, semua akan beres. Dugaan saya benar-benar meleset. Masalah muncul ketika saya, setelah antri cukup lama, sampai di pos imigrasi. Saya menyerahkan paspor seperti penumpang lainnya untuk diperiksa imigrasi Mesir. Begitu menyetor paspor, petugas imigrasi, dengan wajah garang, melemparkan paspor saya. “Ke sana….,” hardiknya, sambil menunjuk deretan kursi di belakang.
“Ya, Allah!” batin saya. Dada saya bergetar. Saya masuk ke ruangan “smoking room”. Merokok sebentar untuk mengusir kekalutan. Di luar ruangan tembus pandang itu, saya melihat lagi dua orang Irak. Tangan mereka memegang tas merah tua bertuliskan “Minister of Forreign Affair, Baghdad.”
Ooo, mereka pasti bekerjasama dengan pemerintah Mesir. Mereka akan menahan saya. Prasangka-prasangka itu menghantui pikiran saya.
Saya mengirim SMS kepada Pak Mus yang sedang menunggu saya di luar. “Ah, itu biasa,” katanya. Barulah saya merasa agak tenang.
Tidak lama kemudian, seorang petugas imigrasi datang membagi-bagikan paspor. Ada sekitar 20-an paspor di tangannya. Tidak ada paspor saya. Dia pergi lagi, dan datang. Sampai empat kali, paspor saya tetap tidak ada.
Semua penumpang sudah pergi. Tinggal saya sendiri. Dua orang petugas imigrasi datang menghampiri saya. Mereka bertanya, apa pekerjaan saya di Indonesia. Saya gelagapan hendak menjawab apa. Menjawab wartawan, jelas tidak mungkin. Sebab visa saya visa turis.
“Juru ketik,” sahut saya sekenanya. Saya grogi. Jiwa saya benar-benar letih dikejar-kejar perasaan paranoid.
Untungnya, dia bilang, “Oh, Anda bekerja dengan komputer!” Segera saya jawab, ya.
Dia lihat paspor saya. Masalah nama kembali muncul. Dia bertanya, siapa nama keluarga saya. Kenapa saya hanya punya satu nama, dan seterusnya, dan seterusnya.
“Mana tiket Anda dari Jordan,” ia bertanya lagi. Dia mengira, saya punya sayap, terbang seperti burung dari Amman, dan tiba-tiba kesasar di Bandara Cairo. Saya tunjukkan tiket saya.
“Apakah Anda punya uang yang cukup untuk hidup di Cairo,” ia bertanya lagi. Ia mengira saya TKI, pembantu rumah tangga. Saya dipaksa harus menunjukkan seluruh uang yang saya miliki. Setelah saya tunjukkan lembaran-lembaran seratusan dolar AS, barulah dia puas.
Tapi pertanyaan belum selesai. Ia bertanya lagi, apakah saya punya tiket pulang ke Jakarta. Dengan agak kesal, saya bilang, uang saya lebih dari cukup untuk membeli beberapa tiket ke Jakarta.
Saya lalu diminta menghubungi bagian imigrasi khusus. Untungnya, semua berlangsung mulus. Pejabat itu tampak malas bicara. Ia mengambil stempel, duk, duk, dan mempersilahkan saya pergi.
Masih ada satu pintu sebelum keluar bandara. Petugas pintu keluar, seorang polisi, lagi-lagi meminta paspor saya. Tas saya diperiksa, tak terkecuali tas pinggang. Ia menemukan kamera digital.
Sebelum ia bertanya, saya bilang, saya turis. Wajar kalau membawa kamera. Untungnya dia tidak memeriksa laptop. Di tas komputer jinjing ini, ada kartu nama bertuliskan, “Dahlan, journalist”.



Laporan dari Kuala Lumpur (68).
Laporan dari Cina (7) 
Laporan dari Doha (13) 


No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...