Wednesday, July 2, 2008

"Penduduk Irak ramah pada orang Indonesia"


TINGGAL sepuluh hari di kota yang terancam perang dahsyat seperti Baghdad dan berjalan-jalan di kota dan pelosok desa, Anwar Suseno menemukan sesuatu yang mengasyikan. "Penduduk Irak ramah-ramah, apalagi tahu kalau kita dari Indonesia. Mereka tahunya, Indonesia mayoritas Muslim," begitulah kesan Suseno, Manajer Pengembangan Usaha Pertamina.

Pejabat Irak umumnya tahu lebih detil: Irak adalah sahabat penting Indonesia. Negeri yang dipimpin Saddam Hussein sejak 1979 itu merupakan negara pertama setelah Mesir yang memberikan pengakuan terhadap kemerdekaan Indonesia pada 1945. Untuk menghormati "utang sejarah" itulah, Dubes Dachlan Abdul Hamid belum juga meninggalkan Baghdad, kendati perang semakin dekat. Ia, sebagai wakil Indonesia, ingin menunjukkan perasaan senasib kepada bangsa yang susah.

Dari Amman, Jordania, Suseno dan lima temannya dari Pertamina menuju Baghdad 3 Maret lalu. Mereka menempuh perjalanan darat 10 jam, menumpang mobil GMC carteran 150 dolar AS dan melewati highway yang nyaman (Saking nyamannya, sopir membawa mobil dengan kecepatan 140 km perjam sambil membaca koran atau menyeduh teh, kata Suseno. Dalam keadaan perang, highway itu bisa berubah menjadi landasan pesawat).

Di pos perbatasan saat berangkat menuju Irak, Suseno dkk beruntung memegang visa khusus, sehingga tidak perlu mendapatkan suntik AIDS, kewajiban bagi setiap orang asing. Seperti lazimnya tamu, mereka harus men-declare semua barang yang dibawa: laptop, kamera, bahkan handphone (tapi Suseno menyimpan telepon genggamnya di KBRI Amman, karena barang canggih itu tidak ada gunanya di Baghdad).

Kenapa tidak naik pesawat terbang? Suseno tertawa. "Kami khawatir, takut kena peluru nyasar..." Ada memang penerbangan Amman-Baghdad. Cuma, tamu-tamu Baghdad umumnya memilih jalan darat, walau harus menempuh perjalanan panjang dengan pemandangan yang itu-itu saja: gurun pasir, highway lurus yang dilalui satu dua mobil tangki dan truk 14 roda, gurun pasir, dan gurun pasir.

Ke Baghdad dalam suasana ancaman perang, tim Suseno mengemban misi penting: mengeksplorasi minyak di gurun Blok Tiga, daerah dekat perbatasan dengan Arab Saudi yang ditempuh tiga empat jam bermobil dari Baghdad. Di sana, tim Suseno mensurvei potensi minyak yang dilaporkan memiliki kandungan 2 miliar barel perhari. Proyek pertama Pertamina di luar negeri itu diperkirakan bernilai jutaan dolar AS.

Di Irak, Indonesia tidak sendirian melakukan eksplorasi perut bumi Irak, negara penghasil minyak terbesar di dunia. Di sana ada perusahaan-perusahaan Rusia, Jerman, dan Perancis - tiga negara yang kini ngotot menolak perang. Dan, di sana, tidak satu pun ada perusahaan minyak AS.

Tiba di Amman 13 Maret lalu, Suseno yang meninggalkan Baghdad setelah berkonsultasi dengan Dubes Abdul Hamid menginap di hotel bintang lima, Regency. "Pengungsi elit" ini kemana-nama naik Mercy plat hijau (jangan salah, ini bukan plat tentara, tapi mobil carteran. Di Jordania, warna plat mobil sesuai fungsinya. Plat putih untuk mobil pribadi, taxi plat kuning, dan mobil carteran plat hijau. Tidak ada yang bisa berpura-pura kaya dengan mengendarai Mercy carteran!).

Sehari setelah Suseno cs dievakuasi, giliran tiga diplomat Indonesia hengkang ke Damaskus, Suriah. Kini tinggal tersisa 37 WNI, termasuk Dubes Abdul Hamid dan dua diplomat lainnya serta 25 mahasiswa.

"Kehidupan sehari-hari di Baghdad berjalan normal. Toko-toko buka sampai jam 11 malam. Suasananya seperti Blok M Jakarta. Wanita, yang kebanyakan tidak memakai jilbab, berani keluar malam. Baghdad sangat aman," tutur Suseno, alumni Geologi, Fakultas Teknik UGM Jogjakarta.

"Persiapan Irak menghadapi perang sangat sederhana. Menyiapkan karung berisi pasir. Pokoknya sederhana. Mungkin kayak Indonesia zaman dulu. Itu dilakukan oleh tentara, di tempat-tempat tertentu saja. Tidak mencolok di seluruh tempat," tambahnya.

Selama di Irak, Suseno sekali melakukan perjalanan ke Blok Tiga untuk melakukan survei. Perjalanan darat ditempuh tiga empat jam. Selama perjalanan, mereka dikawal tentara Irak. "Kami tak melihat konsentrasi pasukan di jalan-jalan. Mungkin karena kebetulan kami melewati jalan raya," ujarnya.

Ia terkesan dengan rakyat Irak. Mereka tidak kehilangan sentuhan keramahan kendati maut sedang mengintai. Orang Irak, kata dia, seperti orang Indonesia, ramah. "Ketemu di jalan, mungkin karena tampang kita asing, mereka say hallo,... mereka ramah-ramah."

Sebagai manusia biasa, Suseno sempat khawatir sewaktu hendak berangkat ke Baghdad. Maklumlah, lebih 200.000 pasukan AS, yang didukung lebih 100 pesawat tempur, sedang siaga menunggu perintah perang dari Bush.

Keluarganya di Jakarta juga sempat khawatir. Namun, sulitnya, hubungan telepon Baghdad-Jakarta amat sulit. Tidak ada jaringan handphone. Telepon biasa ribut kayak radio.

Setiap hari, dia harus mengikuti perkembangan rencana perang lewat siaran televisi dan koran. Ia pun mesti rajin berkomunikasi dengan Departemen Luar Negeri dan KBRI. Ketika disarankan keluar, tak ada pilihan lain kecuali meninggalkan Baghdad, kendati belum semua urusan berskala miliaran dolar itu tuntas.

Bagi Pertamina, proyek Irak itu amat prestisius. Inilah proyek eksplorasi minyak pertama BUMN itu setelah sekian tahun hanya menjadi jago kandang. Pertamina iri pada Petronas, perusahaan negara Malaysia yang dulu berguru kepada Indonesia namun kini telah mengembangkan sayap di 20 negara.

Hanya, soalnya, kalau AS nanti berhasil mengganti rejim di Baghdad, Pertamina bisa gigit jari. Negara adidaya itu bisa saja memutuskan kontrak eksplorasi minyak yang dibuat rejim Saddam, dan menggantikannya dengan perusahaan-perusahaan minyak kroni Amerika. Tapi, kata Suseno, "Mudah-mudahan saja tidak." (Wartawan PERSDA, Dahlan, melaporkan dari Amman, Jordania)

1 comment:

  1. Interesting topics could give you more visitors to your site. So Keep up the good work.

    ReplyDelete

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...