Wednesday, July 2, 2008

Satu jam bersama milisi Irak


Warga Irak di Balad City, dekat Roman Amphitheater, Amman, Jordania. Mereka menunggu bus yang mengantar kiriman mereka ke Irak, awal 2003, sebelum Perang Irak.

Rakyat Irak di Amman, Jordania. Mereka mengungsi setelah Perang Teluk tahun 1991. (Foto: Dahlan)

Satu jam bersama milisi Irak

Rakyat Irak akan bertempur demi kehormatan, katanya

APAKAH semua orang Indonesia bisa berbahasa Inggris? Begitulah pemuda itu, ganteng dalam usianya yang 28 tahun, bertanya. Rambutnya yang dipotong pendek serasi dengan mukanya yang agak bulat. Badannya yang bulat dibungkus tiga potong baju: selembar kaos, sebuah switer, dan jaket warna hitam.

Bahasa Inggris-nya lumayan bagus. Ia nampak cerdas, tapi berkali-kali mengelak ketika diajak berbicara masalah politik. “Saya seorang insiyur,” tuturnya tersenyum. Kendati begitu, ia cukup dalam memahami “medan pertempuran” di negaranya.

Kami duduk di ruang tamu Hotel As Saraya, meeting point-nya para aktivis human shields dari berbagai negara. Hari itu Selasa (4/4) petang, ketika jam di Indonesia menjelang tengah malam. Dua hari lagi dia akan kembali ke Mosul, kota yang dihuni mayoritas Arab sunni, kampung halamannya. Bersama ayahnya, seorang wiraswasta berbadan gendut dan mengerti bahasa Perancis dan Jerman, anak muda itu melawat ke Aden, Yaman. Transit sebentar di Amman, Jordania, sebelum mengambil bus menuju Mosul. Tidak ada penerbangan ke Baghdad.

Ayahnya, yang enggan menyebut nama, cukup mengenal Indonesia, negeri yang disebutnya berpenduduk Muslim terbesar di dunia. Ketika tinggal di Abdoun, Amman, ia mengaku bertemu beberapa orang Indonesia yang dilukiskannya “amat ramah dan baik hati.” Dari layar televisi, ia mengenal Abu Bakar Ba’asyir, tokoh Islam Indonesia berdarah Yaman yang kini meringkuk dibui.

“Nama saya Mazir,” ujar anak muda itu sambil tersenyum. Enggan menyebut nama lengkapnya, Mazir lulusan Mosul University. Sebelum ia ke luar negeri, bersama para pemuda lainnya di kotanya, pemuda dengan tinggi sekitar 170 cm itu mengikuti latihan militer.

“Pemerintah memanggil para pemuda,” tuturnya. Seluruh pemuda di Mosul, yang berjarak tiga jam dari Baghdad, dengan antusias mengikuti latihan militer yang diselenggarakan pemerintah. Langkah ini diambil untuk mengantisipasi serangan Amerika Serikat (AS).

Setelah Kirkuk, Mosul adalah kota terakhir sebelum memasuki wilayah otonomi Kurdi di Irak utara. Kota tetangga daerah kaya minyak itu bernama Dahuk, mayoritas penduduknya suku Kurdi yang menentang rejim Saddam Hussein.

Bila AS akhirnya mendapatkan ijin menggempur dari wilayah Turki, Mosul –yang dihuni minoritas Kurdi dan non Arab keturunan Turki-- akan menjadi kota pertama setelah Kirkuk yang bakal bertempur habis-habisan menghalau langkah maju pasukan AS menuju Baghdad. Mosul harus ditaklukan dulu kalau AS mau merebut jantung kekuaasaan rejim Baath di Baghdad. “Untungnya, Turki menolak kemauan Amerika,” kata Mazir.

Dua bulan menjalani latihan militer, hanya sekali Mizar menyentuh senjata api. Dia takut. “Guncangannya keras sekali. Saya tidak bisa menggunakan senjata,” ungkapnya. Sebagai insinyur, dia akan lebih banyak berperan sebagai tenaga pendukung pasukan di fron terdepan.

Para pemuda diberi pengetahuan perang. Mereka juga diajari taktik perang kota. Latihan-latihan seperti itu pertama kalinya diberikan kepada seluruh komponen masyarakat. Mahasiswa, pemuda, pelajar, insinyur, siapapun yang masih muda, berbondong-bondong mengikuti latihan perang.

“Para pemuda Irak antusias mengikuti latihan. Bukan hanya laki-laki, kaum wanita pun kini menjadi milisi. Mereka akan membela kehormatan bangsa kami,” ujar Mazir antusias.

Latihan serupa diberikan di tujuh provinsi pro Saddam. Mulai dari Amara di selatan, dekat Basra, hingga ke Kirkuk di utara. Diperkirakan, sebagian besar dari sekitar 12 juta rakyat pro Saddam telah siap tempur. Mereka kini terlatih secara militer dan dipersiapkan khusus untuk menghadapi perang kota.

“Rakyat Irak sudah siap. Mereka sekarang menunggu perang,” tutur Mirza. Selain keterampilan militer, rakyat Irak mendapatkan suplai senjata dari pemerintah. Bagaimanapun, perang melawan AS bukan cuma dianggap jihad melawan kafir, tapi juga jihad mempertahankan kehormatan bangsa Irak. “Irak barangkali akan menjadi Vietnam kedua,” tutur Mazir.

Kemudian ia melanjutkan: “Mungkin Amerika akan menang. Tapi tidak akan menang dengan gampang seperti di Afganistan.”

***

MAZIR sebenarnya punya banyak pilihan. Ayahnya punya duit. Dengan uangnya, ia bisa membawa enam anak (lima laki-laki dan seorang perempuan) serta istrinya keluar dari Irak. Setelah aman, barulah mereka kembali. Langkah seperti ini diambil keluarga Nur, mahasiswi kedokteran Universitas Baghdad yang mengungsi ke Amman. Namun, pilihan itu tidak akan diambil keluarga Mazir. Keluarga ini seperti tersihir nasionalis Irak.

“Memang, semua pilihan terasa berat. Kalau kami tinggal di Irak, keselamatan sama sekali tidak terjamin. Bila pesawat tempur Amerika menjatuhkan 3.000 ribu bom setiap hari, tentu saja akan mengerikan,” tutur Mazir.

“Tapi, meninggalkan Irak berarti harus meninggalkan famili dan seluruh harta benda. Karena itu, kami memilih tinggal di Irak dan berharap akan terjadi perang kota. Pada saat itulah, rakyat Irak akan mati-matian mempertahankan kehormatan bangsanya.”

Keluarga Nur juga tadinya akan tetap bertahan di Baghdad. Hanya, ibunya tidak kuat mendengarkan bunyi dentuman bom. Sang Ibu trauma dengan pengalaman Perang Teluk 12 tahun lalu. “Memang berat meninggalkan Baghdad. Siapapun pasti mencintai negaranya,” kata Nur, calon dokter yang menghabiskan waktunya di Amman dengan bermain internet.

Setelah Perang Teluk, penduduk Irak berkurang secara dramatis. Belasan ribu tewas saat perang. Sekitar 6 juta lainnya mengungsi ke luar negeri. Kini, menurut Mazir, rakyat yang bertahan di Irak sekitar 22 juta orang (data statistik 2002, 24 juta, red). Mayoritas atau sekitar 12 juta merupakan pendukung Saddam Hussein. Sisanya, tiga empat juta suku Kurdi yang melawan rejim Baath.

Selain tentara pro Saddam, rejim Baath setidaknya didukung dua milisi tangguh. Yakni tentara Al Quds dan Ansar Al Islam. Anggota dua milisi ini tidak termasuk rakyat sipil biasa yang dilatih secara militer oleh pemerintah seperti Mazir.

Mizar menyadari, pilihan bertahan di Irak memang penuh risiko. Kalau toh AS menang perang, pertempuran diperkirakan belum akan segera selesai. Perang babak baru akan melibatkan rakyat Irak sendiri.

Ada tiga kekuatan besar di Irak saat ini. Rakyat pro Saddam yang bermukim di Irak tengah. Rakyat shiah di selatan yang didukung Iran. Serta etnis Kurdi pro Amerika yang bermukim di utara. Di kantong Irak utara, ada juga suku Kurdi yang cenderung pro Saddam seperti para anggota Partai Demokratik Kurdistan.

“Saya belum tahu kaum shiah akan berdiri di pihak mana,” tutur Mazir. Kota Basra di selatan termasuk kota besar pertama yang dekat dengan perbatasan Kuwait, tempat ratusan tentara AS bermarkas. Pengamat Barat memperkirakan, kaum shiah akan mengambil sikap “membiarkan” bila pasukan darat AS mengincar Baghdad dari selatan.

Setelah Bagdad, gerak maju pasukan akan berhenti di Amara, kota di selatan yang mayoritas penduduknya pro Saddam. Dua kota pro Saddam lainnya, Naserya dan Koot, harus ditaklukan sebelum tentara Bush menginjakkan kaki di kota Baghdad.

Tanpa dukungan Turki, yang membuka akses serangan darat dari utara, pasukan AS akan mengalami kesulitan. Sebab, setelah menaklukan Baghdad, bukan mustahil api perlawanan masih akan berkobar di Tikrit, kota kelahiran Saddam di dekat Baghdad.

Di luar Tikrit dan Baghdad, masih ada dua kota lagi, yakni Mosul dan Kirkuk. Mazir dan para pemuda Mosul lainnya tentu saja akan melakukan perlawanan paling pamungkas sebelum seluruh kota Irak ditaklukan musuh.

Tidak terasa sudah jam 19.30. Cangkir teh telah kosong. Asbak penuh dengan puntung rokok L&M. Saya berpisah dengan Mazir, sembari berkata, “Selamat berjuang, Bung! (Wartawan PERSDA, Dahlan, melaporkan dari Amman, Jordania)

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...