Tuesday, July 1, 2008

Perang Irak: “Please, bantu saya”

“Please, bantu saya”

SETIAP hari, ratusan orang Irak, tua muda, laki perempuan, mendatangi Palestine Hotel, markas sementara tentara AS. Mereka hanya bisa mendekat sampai tepi jalan yang dibatasi gulungan kawat berduri. Pasukan AS bersenjata berjaga dengan tatapan mata yang nyaris tak pernah berkedip, sementara di belakang mereka siaga tank-tank tempur dalam kondisi siaga.

Orang-orang Irak itu mengadukan berbagai hal. Seorang wanita setengah baya yang memakai kerudung hitam, sambil menangis, meminta tentara AS menemukan suaminya yang hilang beberapa tahun lalu.

“Please, bantu saya,” pintanya. “Suami saya seorang insinyur, bekerja untuk proyek khusus pemerintah. Setelah proyek itu selesai, ia hilang. Tolong temukan suami saya.”

Ibu setengah baya itu seperti hendak menangis saat mengemis bantuan pada tentara AS. Matanya terlihat memerah dan kulitnya yang putih mulus memerah. Tentara AS yang menerima pengaduannya tak bisa berbuat banyak. Anak muda itu terlihat dapat memahami penderitaan ibu itu, tapi ia tak mampu berbuat banyak. Ia mengambil pulpen yang diselipkan di saku depannya, dan dengan sobekan kertas yang kotor, ia mencatat alamat. Ia berharap dapat menghubungi kembali wanita malang itu, kelak kalau ia bisa memberikan bantuan.

Husam Al Musawi, seorang insinyur dan manajer pabrik, mengaku tahu tempat persembunyian 55 wanted list yang berkaitan dengan proyek senjata pemusnah massal. Ia menyampaikan laporannya itu melalui tulisan tangan pada selembar kertas.

Seorang pria lainnya membawa informasi lebih seru. Katanya, tiga menteri kepercayaan Saddam bersembunyi di sebuah desa di Nasiriyah. “Tolong tangkap mereka. Mereka membunuh ribuan orang Irak,” teriak pria itu, sudah cukup tua dengan rambut yang beruban. Tangan kanannya menggenggam sebuah buku dan topi baret hitam. Tampaknya ia seorang pegawai negeri.

Dengan suara yang berisik, kerumunan di depan tentara AS tidak hanya menyampaikan dukungan atau laporan yang memojokkan rejim Saddam. Seorang pria yang mengaku dari Iraqi Satelite Channel, sambil memperlihatkan identitas dirinya, berseru dengan nada lantang: “Kami cinta AS dan Inggris, tapi mereka tak peduli rakyat Irak. Mana listrik, air, dan telepon.” Suaranya tenggelam begitu saja seperti sebiji kerikil yang dilemparkan ke tengah samudera.

Tentara AS memang hanya menduduki kota Baghdad, setelah melakukan pengeboman secara gencar selama lebih 20 hari. Sementara pengamanan kota diabaikan. Jaringan listrik, telepon, dan air bersih dibiarkan terbengkalai.

Khaidar, pria dengan kaca mata bening, memakai jas hitam, dengan rambut yang tersisir rapi, nampak lain penampilannya dari rakyat Irak lainnya. Ia tampak lebih necis.

Dalam bahasa Inggris yang lumayan bagus, ia meminta tentara AS melakukan sesuatu. “Tolong buka pintu penjara. Tiga hari ini tidak ada air, tidak ada makanan. Kalau tidak ditolong, mereka akan mati satu demi satu,” teriaknya.

***

SEPERTI pemandangan di Somalia, negeri miskin yang selalu dilanda perang. Tua muda antri membentuk barisan panjang. Wanita, gadis-gadis berhidung mancung, dan anak-anak wanita berpakaian kumal, membentuk barisan sendiri. Mereka berdiri di depan pintu besi Baghdad Backery, sebuah pabrik roti, menunggu giliran mendapatkan dua bungkus roti.

Hari itu matahari terik. Angin bertiup kencang, menebarkan debu gurun warna cokelat. Namun, orang-orang itu tidak peduli. Stok makanan sudah habis. Baghdad Backery adalah satu-satunya pabrik roti yang beroperasi kendati pada masa perang.

“Kami ingin menolong rakyat Irak. Semua orang yang bekerja di sini orang Irak,” tutur Kamal Ahmadi, pria kurus berusia 46 tahun dengan nada bangga. Tubuhnya yang mungil dibungkus rompi warna cokelat tua yang kusut.

Baghdad Backery memiliki tiga mesin Werner & Pfleiderer buatan Jerman. Hanya satu mesin saja yang beroperasi. Lainnya rusak.

Sebelum perang, Jerman adalah salah satu importir penting mitra Irak, selain Perancis, China, dan Rusia. Keempat negara itu sama menentang agresi AS, tapi tak melakukan apapun saat perang berkecamuk dan ribuan rakyat sipil Irak terbunuh.

Pabrik itu mempekerjakan 50 karyawan. Sehari mampu memproduksi 42.000 buah roti. Sebagian teknisinya alumni Baghdad Institue of Technology, sekolah tinggi yang menghasilkan puluhan ribu insinyur. Sehari mampu memproduksi 42.000 buah roti.

Kamal Ahmadi, satu-satunya pekerja yang fasih berbahasa Inggris, mengatakan, Irak membutuhkan pemimpin yang hidup dan menderita bersama rakyat Irak. Hal itu ditunjukkan untuk menunjukkan penolakan terhadap para tokoh Iraqi National Conggres, kelompok oposisi boneka dukungan AS yang nanti dipersiapkan untuk menduduki pos-pos penting pada pemerintahan transisi. Pemimpin kelompok ini yang terkenal adalah Ahmad Chalabi.

“Dia tinggal di apartemen mewah di London selama 20 tahun. Tahu apa dia tentang penderitaan rakyat Irak,” tuturnya, sembari menunjuk Abbas Obeid Azis, General Manajer Baghdad Backery yang turun ke bawah mengawasi anak buahnya membungkus roti.

“Dia pemimpin di sini,” katanya, di samping tumpukkan roti yang masih hangat. “Semua orang suka dia karena dia ada di sini.” (Dahlan, Laporan dari Bagdad, Irak)


* Laporan ini dimuat di harian Surya, Surabaya, dan sejumlah koran daerah Kompas Gramedia yang dikelola Persda. Saya berangkat ke Timur Tengah menjelang Perang Irak atas biaya Persda. Sejak 2004, sepulang dari Irak, saya ditugaskan Persda di surat Tribun Timur, Makassar


1 comment:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...