Wednesday, July 2, 2008
Piramid Mesir Asli, Bukan Piramid di Shenzhen, dan Visa ke Irak
DI sela-sela liputan ke Irak, saya ke Cairo, Mesir. Tujuannya mencari visa ke Irak. Waktu itu, dua bulan sebelum Irak jatuh ke tangan pihak yang tidak berhak, Amerika Serikat, pemerintah Irak irit mengeluarkan visa.
Dapat dimaklumi. Pemerintah Saddam Hussein harus mewaspadai seluruh upaya infiltrasi ke negaranya yang sedang terancam.
Dari Jakarta, saya sudah coba mengurus visa. Gagal. Saya memutuskan berangkat lebih awal ke Amman, Jordania. Harapannya, di Amman, tetangga Irak, bisa lebih mudah mendapatkan visa.
Saya coba ke Kedubes Irak di Bagdad. Waduh, ternyata sulitnya minta ampun.
Jalur langsung kandas, dicoba lewat KBRI di Amman. Pak Musrifun Lajawa. juru bicara KBRI, coba membantu. Kami berharap lebih gampang karena hubungan diplomatik Bagdad-Jakarta yang secara historis terbangun dengan baik. Belum lagi hubungan sesama negara yang mayoritas penduduknya Muslim, sama-sama Suni lagi.
Ternyata itu semua tak berguna. Irak tetap waspada, termasuk tamunya dari Indonesia. Maklumlah, suasananya sedang genting. Washington tiap hari mengeluarkan ancaman perang, sementara mesin-mesin perang Amerika Serikat sudah bergerak ke Teluk, dideploy di Kuwait, Arab Saudi, dan Turki. Hanya Iran dan Suriah, dua negara yang berbatasan langsung dengan Irak, yang sulit ditembus Presiden Bush.
Namanya wartawan tidak boleh kehabisan akal. Saya coba jalur bawah tanah Ada kabar, bisa lewat calo. Kebetulan saya bertemu dengan seorang wartawan lokal di Amman. Dia janji bisa membantu. Uang dolar AS sudah dia ambil tapi visa yang ditunggu hanya janji-janji saja.
Baiklah, saya terbang ke Cairo, Mesir. Di sini negeri Afrika Utara ini ada Mustafa Abdul Rahman, wartawan senior Kompas yang sudah lama bertugas di negerinya Anwar Sadat.
Di bandara, saya dijemput Pak Mustafa --ketika itu kandidat doktor di Universitas Beirut, Lebanon. Saya nginap di apartemennya.
"Saya juga sedang mengurus visa," katanya. Kebenaran. Kami pun sama-sama mendatangi Kedubes Irak di Cairo. Ternyata malah lebih sulit.
Pikiran saya, Bagdad agak curiga dengan Mesir dan Jordania. Soalnya, dua negara itu dikenal sohibnya Amerika Serikat di tanah Arab.
Lewat Turki? Teori ini bagus juga. Turki tidak terlalu welcome pada Amerika Serikat, tapi juga tidak bermusuhan. AS mengincar Turki sebagai salah satu pintu masuk ke Irak.
Berbatasan dengan Turki, ada Irak utara. Kawasan ini basisnya kaum Kurdi, musuhnya Saddam Hussein. Rezim Saddam pernah membantai ribuan suku Kurdi. Kalau di Indonesia, Irak bagian utara seperti Aceh sebelum damai. Mereka ingin memisahkan diri.
Bagdad menolak, hanya memberikan otonomi khusus. Artinya, ada jalan masuk dari Irak utara yang bagus buat tentara sekutu sebelum menjangkau jantung kekuasaan Saddam, Bagdad.
Mengurus visa ke Irak lewat Turki agaknya sulit juga, begitu pikir saya ketika itu. Turki bukanlah negara yang sepenuhnya bisa dipercaya Bagdad.
Arab Saudi? Jelas paling sulit. Saudi, juga Kuwait, terkenal sebagai mitra AS di Teluk. So, jalan masuk masuk akal tinggal lewat Suriah atau Iran.
Mustafa, yang sudah mengenal Timur Tengah lebih satu abad, memilih lewat Kuwait. Di sana ada pasukan AS dan --siapa tahu-- Saddam menyerang negara kecil itu lagi bila perang benar-benar meledak. Artinya, banyak kemungkinan berita di sana, selain kemungkinan bisa masuk Bagdad lewat Kuwait.
Saya balik ke Amman, Jordania, beberapa hari kemudian setelah menyempatkan diri mengunjungi Piramid Mesir.
Lima tahun kemudian, saya bertemu lagi piramid itu, tidak di Mesir, tapi di Shenzhen, Cina, lima tahun kemudian. Kok bisa?
Ya, memang. Shenzhen membangun seluruh miniatur bangunan terkenal di dunia, termasuk Candi Borobudur dan rumah adat Tana Toraja, Tongkonan. Kawasan wisata mirip Taman Mini Indonesia Indah itu diberi nama Window of the World.
Labels:
Perang Irak
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment