Thursday, July 3, 2008

Prof Liddle, LBH Makassar, dan Tuduhan Menjual Bangsa

25/Sep/1996
Info Harian


sumbeR:



Menyoal Liddle di Ujung Pandang


Prof. Dr. William R. Liddle, ahli politik Indonesia dari AS, berkunjung ke Ujung Pandang. Hasilnya, sejumlah orang, termasuk wartawan diinterogasi polisi. Tuduhannya pun serius: menjual bangsa Indonesia ke orang asing.

Hati-hati berbicara dengan orang asing. Nasihat itu tampaknya tidak saja tepat diberikan oleh orang tua ke anaknya, tetapi juga oleh aparat ke warga masyarakat. Hal itu terbukti ketika pembicaraan antara Prof. Dr. William R. Liddle, ahli politik Indonesia dari Ohio State University, Colombo, AS dengan LBH dan beberapa LSM di Ujung Pandang, berbuntut pemanggilan dan interogasi.

Pasalnya, pihak LBH dan LSM-LSM dianggap telah menjual dan menjelek-jelekkan bangsa kepada orang asing. Pangdam VII Wirabuana, Mayjen Agum Gumelar bereaksi dengan menyatakan diskusi yang diadakan oleh pengarang buku "Political Participation in Modern Indonesia" itu sudah menyimpang. "Saya prihatin, kok ada orang Indonesia yang menjual bangsanya. Seharusnya right or wrong is my country," kata Agum di depan para wartawan Rabu (18 Septenber).

Ini berawal dari kunjungan Bill Liddle, demikian panggilan akrab pria yang lancar berbahasa Indonesia itu, ke Ujung Pandang 30 Agustus lalu. Menurut Nasiruddin Pasigai, SH, Direktur LBH Ujung Pandang, kedatangan Liddle ke Ujung Pandang dalam kapasitasnya sebagai konsultan USAID (United States Aid for International Development), sebuah badan pemerintah AS, yang memberikan bantuan terutama ke negara-negara berkembang. USAID sebagai donatur LBH dan beberapa LSM di Ujung Pandang selalu mengirim orangnya untuk mengevaluasi proyek-proyek kemanusiaan yang didanai, mulai dari kebenaran penggunaan dananya sampai keberhasilan di lapangan. Itu hal yang rutin dilakukan menjelang awal tahun anggaran baru USAID.

Lalu, Nasiruddin juga menjelaskan bahwa pertemuan dengan Liddle, lulusan Universitas Yale, AS, yang semakin terkenal di Indonesia setelah membahas soal suksesi kepemimpinan nasional, itu sifatnya tertutup. Sehingga kalaupun ada pihak pers yang datang, telah ada kesepakatan off the record. "Karena memang yang dibicarakan adalah masalah intern LBH termasuk kasus-kasus yang sedang ditangani," kata Nasiruddin. Dan, tentu saja, kasus-kasus yang ditangani oleh LBH Ujung Pandang tidak jauh dari masalah hak asasi manusia.

Sebenarnya, keadaan tetap baik-baik saja, sampai digelarnya demonstrasi 18 orang mahasiswa yang mengaku mewakili Forum Penyelamat Gerakan Mahasiswa (FPGM) di depan Kantor DPRD Ujung Pandang pada Senin, 2 September. Demonstrasi yang memprotes kedatangan Liddle dan menuntut untuk dijatuhkannya sanksi kepada LBH itu dimeriahkan dengan bentangan beberapa spanduk yang antara lain bertuliskan: "Bubarkan LBH Ujung Pandang", "Demi Uang LBH Jual Bangsa", "Gerakan Mahasiswa Bukan Komoditi".

Tidak seperti biasanya, empat orang wakil mahasiswa, yaitu Ahmad Djais, Masrah, Abdul Muttalib dan Mustawir langsung diterima oleh Ketua DPRD Kotamadya Ujung Pandang, H.M. Yahya Patu. "Kunjungan Liddle telah meresahkan masyarakat. Terbukti dengan adanya demonstrasi," kata Yahya Patu kepada Tomi Lebang, pembantu TEMPO Interaktif di Ujung Pandang.

Dalam dialog tersebut, FPGM menilai LBH telah melakukan tindakan memalukan dan telah menyalahi etika kekeluargaan. "Dalam pertemuan tersebut, pihak LBH mengungkap beberapa kedok pemerintah terhadap orang warga negara AS tersebut. Hal yang diungkap adalah masalah intern bangsa Indonesia dengan tujuan hanya untuk mendapat fasilitas dana dari mereka," kata Ahmad Djais, juru bicara FPGM.

Tidak cukup itu saja, sikap FPMG dipertegas dengan pernyataan bak seorang interogator yang ingin mendapat pengakuan dari pengkhianat bangsa. "Kepada Ketua LBH Ujung Pandang, Nasiruddin Pasigai, kiranya menghadirkan kembali William R. Liddle untuk mengadakan kliring informasi secara terbuka," demikian tuntutan FPMG. Acara itu dilengkapi dengan diperdengarkannya kaset rekaman diskusi dengan Liddle di LBH, yang diambil secara sembunyi-sembunyi oleh Ahmad yang terdaftar sebagai mahasiswa Universitas Muslim Indonesia.

Seperti layaknya wakil rakyat yang bertanggungjawab, Yahya Patu langsung meneruskan pengaduan FPMG kepada Polda Sulselra (Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan dan Tenggara) dan Poltabes (Kepolisian Kota Besar) Ujung Pandang. Bahkan rekaman kaset diskusi intern tersebut diserahkan ke Bakorstanasda (Badan Koordinasi Strategis Ketahanan Daerah) Sulawesi.

Alhasil, sehari setelah demonstrasi 18 mahasiswa di DPRD Ujung Pandang, Direktorat Intelpam (Intelejen dan Pengamanan) Polda Sulselra melayangkan undangan ke Nasiruddin untuk datang ke kantor Polda pada pagi Kamis, 5 September. Undangan yang tidak dapat diwakilkan ke pihak lain itu langsung ditandatangani Kolonel (Pol) Nurdin Umar, Kepala Direktorat Intelpam. Tetapi karena undangan itu dianggap kurang jelas maksudnya, maka Nasiruddin tidak hadir. Sebagai gantinya Nasiruddin hanya membalas surat Kolonel Nurdin, seperti disarankan oleh mitranya di Jakarta, Bambang Widjojanto, Ketua Dewan Pengurus YLBHI, Jakarta.

Sore harinya, Kolonel Nurdin langsung bereaksi atas surat balasan Nasiruddin. Surat itu menyebutkan, Nasiruddin dibutuhkan untuk dimintai keterangannya tentang pertemuan antara Liddle dengan LSM-LSM pada 30 Agustus lalu. Kalau ketua LBH Ujung Pandang itu tidak dapat memberikan keterangan, maka masalah tersebut akan dilimpahkan ke Direktorat Serse Polda Sulsera. Artinya, konteks meminta penjelasan sudah berubah menjadi interogasi.

Gertak Kolonel Nurdin rupanya manjur juga. Pada Senin, 9 September, sekitar pk. 10.00 WITA, Nasiruddin datang memenuhi panggilan Polda Sulsera. Dan dia ditanyai oleh tiga orang polisi selama delapan jam. "Materi pertanyaan adalah seputar kedatangan Liddle. Dan saya menjawab apa adanya," Nasiruddin menjelaskan.

Tampaknya penjelasan Nasiruddin dianggap tidak memuaskan oleh pihak kepolisian. Pemanggilan dilanjutkan. Kali ini, yang mendapat giliran adalah lima orang wartawan yang ikut hadir dalam pertemuan 30 Agustus. Mereka adalah: Andriliwan Bangsawan (Majalah Berita Mingguan TIRAS), Lily Yulianti (Harian KOMPAS), Elvianus Kawengian (Harian Pedoman Rakyat), Syaiful (Harian Fajar) dan Dahlan (Harian Surya). Surat pemanggilan yang ditandatangani oleh Mayor Syahrul Mamma, Kasatserse Poltabes Ujung Pandang, menyebutkan bahwa dasar pemanggilan adalah karena para wartawan dianggap telah memberi keterangan kepada orang luar lembaga asing. "Para wartawan tersebut dipanggil bukan sebagai wartawan tetapi sebagai subyek hukum," kata Nurdin.

Seperti sudah diduga, acara meminta keterangan berubah menjadi interogasi. Menurut Andriliwan yang dipanggil polisi pada 13 September lalu, itu harus melalui 10 jam pemeriksaan. Andri bahkan dituduh mendapat uang dari Liddle. "Kamu dijanjikan uang oleh Liddle, ya! Mengaku saja!" kata Andri menirukan salah satu pertanyaan Serda Anwar, sang interogator.

Keseriusan aparat menggali dan mengumpulkan keterangan atas kunjungan Liddle bukan sekedar karena isi diskusi yang sempat bocor, tetapi juga karena Liddle dianggap telah menyimpang dari agenda kunjungan. Menurut Kolonel Nurdin, Liddle telah menyalahi ijin kunjungan yang dikoordinasi dengan Mabes ABRI, Jakarta. "Harusnya dia mengunjungi Lantamal (Pangkalan Utama Angkatan Laut), Kodam dan Pemda. Tahu-tahu, saat istirahat Liddle membatalkan kunjungan ke Lantamal dan menghadiri diskusi di LBH," kata Nurdin.

Tampaknya keseriusan aparat keamanan Ujung Pandang dalam menangani "kasus" Liddle semata-mata karena adanya skenario dari pusat, yaitu mengamankan daerah menjelang Pemilu 1997. Mayjen Agum Gumelar, Pangdam VII Wirabuana, mengingatkan bahwa suhu politik menjelang pemilu memang biasanya hangat. Agum juga menyebut bahwa ada kalangan tertentu yang mengamat-amati Indonesia. Menurut analisa Agum, kegagalan AS menguasai dunia melalui jalur CIA, membuat AS menggunakan cara lain, yaitu melalui LSM. "Kita juga menghargai hak asasi manusia, tetapi jangan karena itu kita biarkan penjahat menari-nari," tandasnya seraya meminta wartawan untuk selalu waspada terhadap pengaruh asing.

Buntut kunjungan Liddle ke Ujung Pandang mungkin akan membuat orang berpikir ulang tentang persoalan menjelek-jelekkan bangsa. Tetapi untungnya, Liddle telah membantu memperkuat hipotesa, yaitu orang asing plus LSM identik dengan kontra pemerintah dan penjual bangsa.

BBN, TL

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...