Suatu waktu, Prof William Liddle berkunjung ke Makassar. LBH mengambil inisiatif menggelar diskusi. Hadir sekitar 10 orang wartawan dan mahasiswa, termasuk saya.
Itu tahun 2006. Rezim Soeharto masih kuat. Diskusi politik soal yang tabu dan bisa dibui bila salah ngomong.LBH pun lembaga yang dianggap rezim berseberangan dengan pemerintah. Maka aktivitasnya senantiasa diawasi.
Diskusi rupanya berbuntut. Salah seorang peserta diskusi diam-diam merekam semua pembicaraan, termasuk diskusi yang "panas". Konon hasil rekaman itu diserahkan ke Kodam VII.
Singkat cerita, polisi memprosesnya. Saya termasuk target polisi. Nasiruddin Pasigai, Direktur LBH Makassar ketika, sebagai tuan rumah jelas punya sangkutan hukum.
Selain itu, Pak Nas juga diadili Dewan Etik YLBHI. Adnan Buyung Nasution hadir.
Saya salah satu saksi dalam persidangan kode etik. Tapi saya menolak memberi keterangan dalam persidangan.
Saya hanya mau berbicara bila di luar sidang dan tertutup. Saya ingin mengatakan yang sebenarnya tanpa khawatir kesaksian saya direkam intel.
Walhasil, kasus di polisi tidak lanjut dan Pak Nas dinyatakan tidak bersalah dalam sidang kode etik. Saya searching di google dan menemukan ini:
IN: JWP - Pembela 'Ngotot' Hadirkan
From: apakabar@access.digex.netDate: Fri Oct 25 1996 - 07:09:00 EDT
From: John MacDougall <apakabar@access.digex.net>
Subject: IN: JWP - Pembela 'Ngotot' Hadirkan Liddle
Forwarded message:
From owner-indonesia-p@igc.org Fri Oct 25 00:39:34 1996
Content-Transfer-Encoding: 7bit
Content-Type: text/plain; charset=US-ASCII
Date: Thu, 24 Oct 1996 21:43:34 -0400 (EDT)
From: indonesia-p@igc.apc.org
MIME-Version: 1.0
Message-Id: <199610250143.VAA01807@access4.digex.net>
Subject: IN: JWP - Pembela 'Ngotot' Hadirkan Liddle
To: apakabar@clark.net
X-Mailer: ELM [version 2.4 PL25]
Sender: owner-indonesia-p@igc.apc.org
Precedence: bulk
INDONESIA-P
X-within-URL: http://www.jawapos.co.id/indones/jawapos/news/today/eastindo/kt25x6-1.htm
Tak Diberi Izin, Wartawan Tolak Jadi Saksi
_________________________________________________________________
Ujungpandang, JP.-
Tim pembela Nasiruddin Pasigai SH, direktur LBH Ujungpandang yang
menjadi 'terdakwa' dalam peradilan kode etik YLBHI, kemarin membuat
manuver. Strategi ini membuat majelis, yang memeriksa kasus 'menjual
bangsa' itu, harus menunda sidang sampai tiga minggu.
Prof Dr William Liddle, konsultan USAID, oleh tim pembela diminta
dihadirkan untuk memberikan kesaksian. ''Kami beranggapan, kesaksian
Liddle sangat penting untuk persidangan ini. Tanpa Liddle, sidang tak
akan ada artinya,'' ujar Andi Rudiyanto Asapa SH, salah seorang
anggota tim pembela.
Majelis kode etik, yang diketuai Harjono Tjitrosoebono SH dengan dua
anggota Dr Adnan Buyung Nasution SH dan Bambang Widjajanto SH,
menyatakan tidak mungkin bisa menghadirkan Liddle dalam waktu yang
sangat dekat. Itu sebabnya, sidang ditunda tiga minggu agar proses
menghadirkan Liddle bisa berjalan dengan baik. Rudiyanto memang sangat
ngotot meminta kehadiran Liddle. Bagi Rudi, pakar politik
internasional ini merupakan saksi kunci dan dari dia bisa diketahui
apakah Nasiruddin telah melakukan tindakan sebagaimana yang dituduhkan
atau tidak.
''Kehadiran Liddle bagi saya merupakan persyaratan mutlak. Saya akan
protes kalau Nasiruddin tetap dilanjutkan pemeriksaannya tanpa
kesaksian Liddle. Kami dari tim pembela akan walk out,'' ancam mantan
direktur LBH Ujungpandang ini kepada Jawa Pos seusai persidangan.
Bambang Widjajanto, ketua dewan pengurus YLBHI yang menjadi salah
seorang anggota majelis kode etik, saat ditemui terpisah menyatakan
akan terus mengupayakan kesaksian Liddle. ''Kalau dia dibutuhkan dalam
kapasitasnya sebagai konsultan USAID, kami menyurat ke USAID. Bagi
kami, kehadiran Liddle juga memang teramat penting,'' paparnya.
Bagaimana kalau Liddle tidak bisa hadir? ''Minimal ada keterangan dari
dia, misalnya dalam bentuk tertulis. Kami bisa saja mengirimkan daftar
pertanyaan yang kemudian dijawab secara tertulis,'' katanya.
Tim pembela Nasiruddin menyatakan akan walk out jika Liddle tidak bisa
dihadirkan, bagaimana sikap majelis kode etik? ''Merupakan hal yang
biasa kalau pembela walk out. Kami akan tetap melanjutkan peradilan
ini tanpa kehadiran mereka,'' ujarnya. Menurut Bambang, peradilan ini
memang tidak sama dengan peradilan umum di Pengadilan Negeri. Majelis
tidak memiliki kekuatan untuk menghadirkan saksi. Kalau yang
bersangkutan menolak, majelis tidak bisa memaksakan kehendak. Lain
dengan peradilan umum, saksi yang menolak memberikan keterangan bisa
dikenai hukuman pidana.
Selain Liddle, YLBHI menyatakan akan tetap berupaya meminta kehadiran
Kepala Direktorat Reserse IPP Polda Sulselra Kolonel Pol Drs Nurdin
Umar dan Ketua DPRD Ujungpandang Kolonel H M. Yahya Patu. Keduanya
memang dijadwalkan baru tampil kemarin, tapi sampai sidang ditunda,
tetap tidak muncul.
YLBHI tampaknya harus bekerja keras untuk menuntaskan peradilan kode
etik yang baru pertama kali dilaksanakan dalam bentuk panel ini.
Terutama untuk memperoleh fakta-fakta dari dalam persidangan.
Pasalnya, tiga wartawan yang tadinya direncanakan tampil sebagai
saksi, ternyata menolak.
Andrilliwan dari Majalah Tiras, Dahlan dari Harian Surya, dan Lili
Yulianti dari Harian Kompas tak bersedia memberikan keterangan dalam
status sebagai saksi, karena pimpinan medianya tidak memberikan izin.
''Saya menolak menjadi saksi, meskipun misalnya sidang ini dinyatakan
tertutup. Mungkin ada cara lain untuk memperoleh keterangan dari saya,
tetapi tidak sebagai saksi di persidangan,'' ujar Dahlan.
Penolakan yang sama dikemukakan Andrilliwan, yang dikuatkan oleh Adnan
Buyung Nasution. ''Tadi saudara Andri dengan dibantu oleh saya, sudah
berbicara dengan redaksi majalah Tiras di Jakarta. Tapi, redaksi Tiras
tetap belum memberikan persetujuan,'' ujarnya. Untuk memperoleh fakta
yang lebih komprehensif, Buyung menyatakan majelis akan mencari
fakta-fakta di luar persidangan. Meskipun tidak bisa menjadi alat
bukti, tapi fakta di luar sidang itu bisa memberi gambaran yang lebih
jelas bagi majelis untuk melihat posisi kasus ini.
Bagi pembela Nasiruddin, penolakan wartawan merupakan kerugian bagi
pihaknya. ''Bagaimanapun, harus diakui posisi klien saya sedikit
goyang karena penolakan itu. Tapi kami tak mungkin memaksa, kami tetap
menghormati lembaga mereka,'' katanya. (asm)
No comments:
Post a Comment