Makassar ketiban sial karena lampu padam. Bukan karena kutukan Tuhan tapi karena salah kelola.
Pagi ini saya melewati Bandara Hasanuddin menuju Jakarta. Cuaca pagi cerah. Untung pula listrik di bandara yang megah ini tidak padam.
Semalam saya di sebuah hotel bintang empat, makam malam dengan relasi Tribun Timur.
Dua orang bule menikmati makam malam di ujung meja sana. Di depannya masing-masing satu botol bir.
Ngobrol sedang asyik-asyiknya ketika PLN secara mendadak mematikan lampu. Gelap gulita.
Dari lantai tiga, kami turun lewat tangga yang gelap.
Di Mal MTC, dua hari sebelumnya, orang-orang berbelanja sambil bermandi peluh. Pedagang mengeluh. Jam operasi mal terpaksa diperpendek untuk menghemat biaya ekstra buat beli solar industri demi menyalakan genset.
Biaya itu dibebankan ke pedagang dan akhinya ke pembeli.
Sebuah toko retail besar rugi besar. Sedang padat-padatnya pembeli, mati lampu, kasir lumpuh, AC berhenti bertugas. Pembeli kabur semua.
SMS teman dari Bali berbunyi. Ia minta maaf karena laporannya telat. Telat karena laptop mogok kerja. Listrik padam.
Anda pengusaha properti? Ya, Anda tahu bagaimana sakit jualan rumah tak laku-laku karena listrik tak kunjung masuk.
Dengan gagal menjamin ketersediaan pasokan listrik, PLN menyebarkan bukan cuma kegalapan tapi juga kerugian buat begitu banyak orang.
Anak-anak tidak berdosa. Tapi anak SD yang hari ini mengikuti ujian nasional belajar dalam gelap.
Masalahnya, PLN menyerahkan sebagian urusan produksi listrik kepada swasta. Ketika PLTG Sengkang secara sepihak menghentikan pasokan listrik, cerita sudah berakhir. PLN tidak bisa berbuat apa-apa.
Kenapa harus begitu, kenapa bisa begitu? Ini bukan kutukan Tuhan.
Sent from my BlackBerry®
powered by Sinyal Kuat INDOSAT
No comments:
Post a Comment