Pak Jacob --begitu kami memanggil Jakob Oetama, pemimpin paling dihormati di Kompas Gramedia-- berbicara dan menulis sama baiknya.
Begitulah kesan saya ketika menghadiri suatu rapat di akhir Juli 2013.
Pak Jacob, kini 82 tahun, duduk di meja pimpinan bersama Pak Agung Adiprasetyo, CEO Kompas Gramedia.
Di depannya tersaji layar besar berisi presentasi tentang kinerja usaha Kelompok
Tribun yang disajikan Direktur Kelompok Group of Regional Newspaper Kompas Gramedia, Herman Darmo.
Rapatnya --diberi nama Business Perfomance Review enam bulanan-- yang berlangsung pagi hari di akhir bulan Ramadan.
Rapat mendengarkan evaluasi seluruh unit usaha di Kompas Gramedia yang disajikan per kelompok. Tribun adalah satu kelompok usaha itu.
Para direktur kelompok hadir.
Seusai Pak Herman Darmo menyajikan pemaparannya tentang kinerja dan laba
Tribun (kini 28 koran, termasuk
Warta Kota dan
Berita Kota Super Ball di Jakarta dan
Tribun Jateng di Semarang) yang terus meningkat, Pak Jacob langsung bicara. Saya ingat, pendiri Kompas Gramedia itu mengatakan:
"Saudara-saudara, kita perlu mempelajari ada apa, kok, kinerja
Tribun terus membaik seperti ini. Litbang perlu dilibatkan."
Kemudian Pak Jacob mengingat masa-masa sulit merintis penerbitan koran baru kelompok koran daerah (ketika itu bernama Persda), mulai dari Palembang (
Sriwijaya Post) hingga Aceh (Serambi Indonesi
serambinews.coma).
Dalam pemaparannya, Pak Herman Darmo melaporkan laba kelompok
Tribun terus naik. Jumlah oplaq (koran yang dicetak) juga terus bertambah.
Mengutip hasil survei Nielsen di delapan kota (Jakarta,
Bandung, Semarang,
Jogja,
Surabaya,
Medan,
Palembang, dan
Makassar),
Tribun dibaca (readership) oleh sekitar 1,3 juta pembaca. Itu belum termasuk di 10 kota lainnya yang bukan "kota Nielsen". Secara keseluruhan,
Tribun dibaca sekitar dua juta pembaca setiap hari.
Pak Jacob terkesan dengan capaian tersebut. "Pak Herman, coba perkenalkan satu demi satu tim yang ikut pada rapat ini," begitu cara Pak Jacob memberikan respek.
Pada ulang tahun Kompas Gramedia kali ini, tulisan Pak Jacob tidak hanya dimuat di
Kompas tapi juga di 28 koran Tribun berikut jaringan online Tribun yang tergabung dalam
Tribunnews.com Network.
Saya membaca tulisan Pak Jacob. Kesan yang kuat adalah jabaran visi dan nilai-nilai Pak Jacob:
1. Bisnis dibangun dan dikuatkan oleh cita-cita
Kompas adalah contoh raksasa media yang lahir dari cita-cita, idealisme, bukan dengan modal besar.
Cita-cita besar Pak Jacob adalah ikut membangun Indonesia. Dalam pandangan Pak Jacob, Indonesia terdiri atas perbedaan. Indonesia adalah perbedaan itu sendiri. Dia dibangun dalam perbedaan.
Indonesia yang beragam agama dan suku itu diterjemahkan Pak Jacob di
Kompas sebagai "Indonesia mini".
Ini kata-kata Pak Jacob:
Indonesia
bukanlah kotak-kotak yang terbagi bagi dalam sektor-sektor dan
bagian-bagian terpisahkan secara rigid, tetapi Indonesia yang satu
berawarna-warni, beragam dalam segala hal.
Indonesia yang beragam dan berbeda-beda itu, menurut Pak Jacob, harus dilihat sebagai:
Bagian-bagian memiliki kekhasan yang tidak luluh karena kebersamaan,
tetapi menjadi mosaik indah dan produktif yang disebut Indonesia. Saling
menunjang secara sinergik, yang organik sekaligus organis.
2. Bisnis menghasilkan laba tapi laba bukanlah semata soal uang
Pak Jakob mengutip Matsuhita:
Laba bukanlah cermin kerakusan perusahaan. Laba, tanda kepercayaan masyarakat. Laba, pertanda efisiensi.
3. Bekerja adalah pernyataan syukur atas karunia Allah kepada kita
Kata Pak Jacob:
Perusahaan ini berkembang selain karena kerja keras, kompetensi dan
sinergi, juga berkat penyelenggaraan Allah (providentia dei) lewat
tangan-tangan kita manusia, dengan kelebihan dan kekurangan kita.
Selayaknya rasa terima kasih dan bersyukur disampaikan.
Jauh dari sikap jumawa dan arogan, KG menjadi sarana dan jalan bagi
kebahagiaan banyak orang. Bekerja senantiasa merupakan praktik dan
refleksi ibadah, ora et labora, berdoa dan bekerja.
Selengkapnya, berikut tulisan Jacob Oetama.
50 Tahun Kompas Gramedia
Mengembangkan Indonesia Kecil
Oleh
Jakob Oetama
Pendiri Kompas Gramedia
KETIKA Majalah Intisari terbit pertama kali, 17 Agustus 1963, tidak
terbayangkan itulah awal hadirnya kelompok usaha Kompas Gramedia.
Lima puluh tahun kemudian, masuk akal jika Kompas Gramedia telah
bersosok, atau mengutip ungkapan Prof de Volder, sebagai "lembaga
organik sekaligus organis".
Serupa lembaga surat kabar, Kompas Gramedia dengan bisnis inti
industri informasi atau pabrik tulisan atau kata-kata --Gramedia:
grafika media-- terdiri atas berbagai bagian yang beragam.
Bagian-bagian itu bekerja sama dan berinteraksi melaksanakan fungsi
masing-masing.
Fungsi-fungsi beragam itu secara organis bekerja sama dan bersinergi
menjalankan peran dan panggilan yang terikat oleh tujuan dan falsafah
bersama.
Dalam statusnya yang organik sekaligus organis itulah hidup,
berkembang, dan berfungsi Kompas Gramedia, dinamis dan senantiasa
berubah sejalan dengan dinamika perkembangan masyarakat (Marshall
McLuhan: the extention of man). Sejalan itu, bidang yang menjadi
perhatian dan sarana pun beragam.
Kompas Gramedia (KG) yang awalnya berusaha di bidang
knowledge industry Intisari
1963, Harian Kompas 1965, Toko Buku Gramedia 1970, Percetakan Gramedia
1971, Radio Sonora 1972, Majalah Bobo 1973, koran-koran daerah dengan
brand
Tribun
baru setelah 1987 --dengan segala variasi bidang usahanya, diikat
dalam satu falsafah bersama, yakni opsi dasar (optio fundamentalis) yang
digagas, dibayangkan, sekaligus menjadi tali simpul kebersamaan.
Small Indonesia in the making. Ungkapan itu menggambarkan cit-cita bahkan mimpi para perintis dan pendiri Kompas Gramedia 50 tahun lalu.
Saudara PK Ojong dan saya ketika mendirikan Intisari 50 tahun lalu,
berangkat tidak dengan modal uang tetapi ide dan cita-cita. Selain
sebelumnya kami bertemu dalam berbagai kegiatan, kami juga bertemu dalam
kesamaan cita-cita, persepsi, dan impian untuk ikut ambil bagian
mengembangkan Indonesia.
Inklinasi dan pandangan politik kami sama: Indonesia Kecil. Indonesia
bukanlah kotak-kotak yang terbagi bagi dalam sektor-sektor dan
bagian-bagian terpisahkan secara rigid, tetapi Indonesia yang satu
berawarna-warni, beragam dalam segala hal.
Bagian-bagian memiliki kekhasan yang tidak luluh karena kebersamaan,
tetapi menjadi mosaik indah dan produktif yang disebut Indonesia. Saling
menunjang secara sinergik, yang organik sekaligus organis.
Cita-cita
ini tidak orisional, sebab para bapak bangsa Indonesia sudah menggagas
dan menjabarkannya ketika ingin membangun sebuah negara Indonesia. Cita
cita besar dan semangat keberagaman dalam kebhinnekaan kami bawa dalam
lingkup yang kecil: Kompas Gramedia.
Indonesia Kecil atau Indonesia Mini menjadi ideologi yang terus
dikembangkan, juga setelah KG merambah keluar dari pakem knowledge
industry. Tekadnya, KG ingin terus menjadi sarana, jembatan, dan titik
temu berbagai kebedaan negara bangsa Indonesia. Tidak hanya dalam cita
cita tetapi juga dalam membangunnya sebagai lembaga organik sekaligus
organis.
Salah satu pembawa obor
Ungkapan
small Indonesia in the making jauh dari rasa jumawa
dan arogan. Serba tahu diri dan penuh pengertian, Kompas Gramedia
dengan berbagai kegiatan bisnisnya, hanya salah satu pembawa obor.
Banyak perusahaan lain, yang dari sisi finansial jauh lebih besar dan
jauh lebih pantas menyandang gelar pembawa obor.
Akan tetapi, sejak awal Saudara PK Ojong dan saya merintis,
mendirikan, dan mengembangkan usaha ini tidak hanya untuk bisnis. Ketika
mendirikan Intisari, mungkin belum sedetail seperti ketika mendirikan
Kompas, kami mengambil posisi menjabarkan independensi kami: usaha ini
sebagai bagian dari ikut serta membangun sebuah Indonesia.
Dasarnya kesamaan kemanusiaan Indonesia, heterogenitas Indonesia yang
beragam dan di atas keberagaman itulah Indonesia yang satu. Bhinneka
Tunggal Ika. Ikut serta berusaha terus menerus Indonesia menjadi lebih
Baik.
Sebagai salah satu bentuk usaha bisnis, saya teringat kata-kata Matsuhita tentang kelompok usahanya.
Laba bukanlah cermin kerakusan perusahaan. Laba, tanda kepercayaan masyarakat. Laba, pertanda efisiensi.
Setiap perusahaan memiliki kebudayaan korporat yang berbeda satu
dengan lainnya. Kebudayaan korporat memberikan corak yang khas.
Kebudayaan korporat hanya bisa ditumbuhkan kalau ada nilai-nilai yang
dihayati bersama oleh seluruh pimpinan dan karyawan.
Nilai-nilai itu disampaikan sebagai tradisi lisan dan tertulis, dalam
keteladanan dan sosok-sosok manusia yang terlibat di dalamnya. Kami
meninggalkan falsafah, etika, dan budaya kerja yang secara tertulis
pernah disampaikan Saudara PK Ojong dalam Falsafah Perusahaan Kita,
secara tradisi dalam jatuh bangun mengembangkan Kompas Gramedia bersama
para pemimpin dan karyawan selama 50 tahun ini.
Bersamaan pula dikembangkan kebiasaan yang mendukung etika dan etos
dalam bekerja. Jujur, bekerja tuntas, tegas, tetapi juga punya hati;
turunan semangat menjunjung tinggi nilai kemanusiaan dalam bentuk
terpenuhinya kebutuhan hidup sehari-hari --relatif memang-- karyawan
dan keluarganya yang kini mencapai lebih dari 19.000 orang.
Kami bahu membahu, memperkaya dan mengembangkan etos dan etika itu,
mentransfernya sebagai budaya korporat. Budaya itu terus diperkaya,
dipraktikkan, dan dirumuskan menjadi kerangka dan pedoman kerja.
Muaranya plus minus ikut serta mengambil bagian dalam membangun
Indonesia lebih baik. Jiwa dasarnya Indonesia kecil, kemanusiaan yang
beriman, demi kemaslahatan manusia dan kemanusiaan.
Jiwa dasar itu
menjadi tali pengikat, sumber referensi yang senantiasi dalam
penerjemahannya disesuaikan dan diperkaya oleh kondisi dan perkembangan
zaman.
Perusahaan ini berkembang selain karena kerja keras, kompetensi dan
sinergi, juga berkat penyelenggaraan Allah (providentia dei) lewat
tangan-tangan kita manusia, dengan kelebihan dan kekurangan kita.
Selayaknya rasa terima kasih dan bersyukur disampaikan.
Jauh dari sikap jumawa dan arogan, KG menjadi sarana dan jalan bagi
kebahagiaan banyak orang. Bekerja senantiasa merupakan praktik dan
refleksi ibadah, ora et labora, berdoa dan bekerja.
Lima puluh tahun
Kompas Gramedia tumbuh dan berkembang berkat kerja sama kita yang
berpilin tangan secara sinergik, memperoleh kepercayaan masyarakat,
didasari atas cita cita tidak sekadar usaha bisnis tetapi juga
mengembangkan ide-ide ke-Indonesiaan.
Keberhasilan ini berkat bantuan banyak pihak, para pemangku
kepentingan. Kesempatan ini sekaligus untuk mengucapkan terima kasih
kepada barbagai pihak, karena saling menyertai dan saling mendukung
perjalanan KG sebagai bagian dari mengembangkan Indonesia Kecil.
Tantangan ke depan semakin berat, tetapi niscaya beban itu menjadi ringan manakala kita dukung bersama.
Hari ini, niscaya endapan hari kemarin sekaligus proyeksi esok hari!(*)
Artikel ini diterbitkan pula di jaringan koran Tribun
di Indonesia.
Lihat Juga
Belajar dari Orang Sukses: CEO Letter Agung Adiprasetyo
Tentang
Tribun
Kompas Gramedia: Jumlah Karyawan dan Unit Usaha 2013