Wednesday, July 2, 2008

Antara Paman Saddam, Tuan Bush, dan Sharon


18 Februari 2003

Anak muda Palestina yang mengenakan kafiyeh Jordania sedang mengisi bensin ke tangki sebuah taksi di sebuah kota dekat perbatasan Jordania-Irak. Pemerintah Israel mencabut hak kembali anak-anak muda Palestina ke tanah air mereka sendiri. Mereka berharap banyak pada Saddam Hussein, salah satu pemimpin Arab yang ditakuti Israel. (Foto: Dahlan)

Antara Paman Saddam, Tuan Bush, dan Sharon


PERANG memisahkan Jaber Muhammad dengan sanak familinya. Ia terpaksa meninggalkan tanah airnya Palestina, menuju Jordania, setelah bangsa Arab kalah perang dari Israel tahun 1967. Tiga puluh lima tahun sudah, ia tak pernah melihat Hebron, tanah kelahirannya. Setiap kali hendak kembali, penguasa Israel mengunci pintu perbatasan.

“Saya dianggap masih muda,” kata Jaber. Begitulah, Israel –yang mengusir orang-orang Palestina dari tanah airnya— menentukan hampir segalanya, termasuk usia seseorang. Jaber sebenarnya tak muda lagi. Lahir tahun 1962, pria gemuk itu kini berusia 41 tahun! Pemerintah Israel melarang setiap “pemuda” yang dipaksa angkat kaki dari Palestina setelah perang kembali ke Palestina. Israel hanya memberi keleluasaan kepada orang-orang tua, yang tak bisa lagi mengangkat sepotong batu, yang tak bisa lagi melawan tentara pendudukan.

Walhasil, jutaan anak muda Palestina yang terusir dari tanah kelahirannya mengembara di berbagai negara Arab, termasuk Eropa dan Amerika. Hak mereka kembali ke Palestina dicabut secara sepihak oleh pemerintah Israel yang menguasai setiap jengkal tanah pendudukan di Tepi Barat dan Jalur Gaza.

Jaber selalu kangen dan ayah dan adik-adiknya di Hebron. Tapi ia tidak bertemu dengan adik-adiknya. Mereka masih muda. Kalau mereka ke luar negeri, ke Jordania bertemu Jaber, mereka tak akan bisa kembali lagi. Jaber hanya sering bertemu ayahnya, yang sudah tua, di Amman, ibu kota Jordania. “Hanya orang-orang tua Palestina yang boleh ke luar masuk negaranya sendiri. Sebab mereka sudah terlalu tua untuk melawan tentara Israel,” ujar Jaber, seorang sopir taksi.

Suatu waktu, cerita Jaber, dia membawa seorang wanita Irak. Rambut yang panjang, tanpa jilbab, hidung yang mancung, membuat Jaber terkesan. Wanita itu membeli tabung gas, dimasukannya ke dalam taksi, dan Jaber harus membantu wanita itu mengangkat benda berat itu.

Dan, handphone Jaber yang ditinggalkan di dalam taksi berdering. Wanita itu membiarkan telepon itu berdering. “Saya takut, istrimu yang menelepon,” kenang Jaber, sembari tertawa terbahak-bahak. Tapi kemudian wajahnya berubah serius, ketika teringat, wanita itu adalah korban perang seperti dirinya.
”Dia hidup terpisah dari suaminya. Mungkin suaminya ke Eropa atau kemana. Yang saya tahu, mereka meninggalkan Irak setelah Perang Teluk (1991),” katanya. Wanita itu tinggal sendirian di Amman, terpisah dari suami dan anak-anaknya.

Di Amman, para pemuda Irak bekerja sebagai buruh bangunan. Di dalam negeri, mereka tak menemukan sumber kehidupan. Sanksi ekonomi PBB 12 tahun terakhir membuat perekonomian Irak hancur berkeping-keping. Mata uangnya jatuh ke titik terendah, dari sebelumnya lebih kuat tiga kali lipat dibanding dolar AS.

Sebenarnya, negeri 1001 malam itu begitu kaya sumber daya alam. Penghasil minyak terbesar kedua di dunia setelah Arab Saudi. Memiliki dua sumber mata air dari Sungai Tigris dan Eufrat, sehingga Irak selalu hijau, beda dari negara-negara Arab lainnya yang tandus. Pertanian subur. Bandingkan misalnya dengan Arab Saudi, yang kaya minyak, tapi tidak memiliki sumber air sama sekali.

Perang menghancurkan kehidupan orang-orang kecil. Seperti Jaber, Abu Bakar meninggalkan tanah Palestina setelah perang 1967. Ia mengungsi ke Kuwait. Mereka sudah hidup tenang di negeri kaya minyak itu. Namun, malapetaka datang, ketika Presiden Saddam Hussein memerintahkan pasukannya menginvasi Kuwait tahun 1990.

“Orang Palestina di Kuwait mendukung Paman Saddam. Setelah Paman Saddam kalah, kami semua, sekitar setengah juta orang Palestina, angkat kaki dari Kuwait ke sini,” ujar Abu Bakar yang, seperti Jaber dan orang-orang Palestina lainnya, berprofesi sebagai sopir taksi di Amman.

***

SELAIN Yasser Arafat, bangsa Palestina mengidolakan Saddam. Bagaimanapun, Saddam dianggap konsisten melawan Amerika, ketika para pemimpin Arab lainnya bertekuk lutut kepada Tuan Bush. Saat Perang Teluk meletus, tatkala hampir seluruh negara di dunia mendukung pasukan sekutu pimpinan Amerika, Arafat, seperti juga Abu Bakar dan kawan-kawan, mendukung Saddam.

Irak, bersama Iran, adalah salah satu negara yang ditakuti Israel, musuh bangsa Palestina. Kedua negara memiliki kekuatan militer yang tangguh. Dalam kaca mata Israel, Irak dan Iran adalah bahaya paling besar. “Ancaman nyata adalah Iran dan Irak. Mereka harus dihentikan. Oleh Amerika Serikat,” tulis Micah D Halpern, seorang penulis Israel, dalam artikelnya di Insideisrael pada Februari tahun lalu.

Ia mengutip pidato Bush yang memasukan Irak dan Iran, bersama Korea Utara, kedalam “Poros Kejahatan”. Halpern sama sekali tidak menghitung Korea Utara. Pemilik senjata nuklir itu nun jauh terletak di Semenanjung Korea.

Filipina, katanya, juga berbahaya. Tapi gerakan Abu Sayyaf di sana, yang dikaitkan dengan Al Qaeda, “hanya berjuang di dalam negeri.” Dengan kata lain, ideologi perjuangannya mustahil mencapai sasaran Israel. Tidak seperti Irak dan Iran yang membenci negara zionis dan mampu dengan cepat menjangkau Tel Aviv.

Pada Perang Teluk, Saddam membuktikan dukungannya pada bangsa Palestina. Tidak lupa ia mengirim 39 rudal Scud ke Israel, di saat negaranya sedang digempur habis-habisan oleh pasukan sekutu pimpinan AS. Saat ini, Saddam memiliki tentara Al Quds (Jerusalem), yang sebagian besar adalah para pejuang Palestina.

“Saya tidak tahu banyak tentang Saddam. Saya tidak tahu apa yang ada di balik perlawanannya terhadap Amerika. Tapi dia orang baik,” kata Ali Hussein, pria Palestina yang menjual dinar Irak di kawasan Roman Aphiteater, Amman.

Dia menyalahkan negara-negara Teluk kaya minyak seperti Kuwait, Arab Saudi, Bahrain, dan Qatar. “Mereka punya banyak uang, tapi tidak memberikannya kepada bangsa Arab,” katanya. Keempat negara, kata dia, memperkaya Amerika dengan “menyimpan uangnya di bank-bank Amerika,” dan menyediakan wilayahnya sebagai pangkalan militer Bush dalam persiapan menggempur Irak.

Penderitaan panjang bangsa Palestina barangkali membuat mereka mengimpikan kehadiran tokoh kuat anti AS seperti Saddam. Tahun 1948, ketika negara Israel diproklamirkan David Ben Gourion di atas wilayah Palestina, Amerika dan Inggris membelakangi Palestina. Mereka mendukung Israel, posisi yang senantiasa dipertahankan sampai kini.

Ribuan rakyat Palestina meninggal di tangan tentara Israel sejak tokoh garis keras Ariel Sharon menjadi perdana menteri Maret 2001. Ia mengalahkan Ehud Barak, calon dari Partai Buruh yang pro perdamaian, sekaligus mengubur proses perdamaian.

Sharon menarik perhatian dunia ketika pada Maret tahun lalu mengerahkan pasukan secara besaran-besaran menginvasi kota-kota Palestina di Tepi Barat dan Jalur Gaza. Dan, Amerika, seperti biasanya menyalahkan rakyat Palestina, yang melawan dengan batu. Di tanah Palestina, melawan tentara “penjajah” Israel disebut teroris.

Bush saat ini menekan Irak untuk memenuhi resolusi PBB nomor 1441. Bangsa Palestina tentu tidak lupa, PBB pernah mengeluarkan resolusi nomor 194. Keputusan PBB itu mengharuskan Israel memberikan hak kembali kepada jutaan pengungsi Palestina seperti Jaber atau Mahmud atau Ali Hussein.

Namun, Israel tak pernah mematuhi resolusi tersebut, tanpa Amerika mengerahkan ratusan ribu pasukannya untuk menekan Sharon. Padahal, penolakan terhadap resolusi tersebut bukan hanya mencabut hak orang-orang Palestina yang terusir dari tanah air untuk kembali. Lebih dari itu, sikap keras kepala Israel merupakan salah satu penyebab gagalnya perundingan damai Camp David II, Juli 2000.

Sejak itu, proses perundingan damai Israel-Palestina macet total. Dan, pasukan Sharon, dengan leluasa, menembaki rakyat Palestina yang tak berdosa. Pada saat yang sama, ironisnya, Bush mengancam menyerang Irak untuk memenuhi resolusi PBB.

Perhatian dunia tertuju ke Irak. Palestina terlupakan. Kekerasan tentara Israel terus berlangsung, tanpa ada yang mau menghentikannya. Senin (16/2) lalu, enam tokoh senior Hamas, gerakan perlawanan Palestina, dibunuh tentara Israel di Gaza City.

Salah satu korban adalah Abu Zaid. Ia calon pengganti pemimpin Hamas Salah Shehade yang dibunuh tentara Israel akhir Juli tahun lalu. Satu persatu, pemimpin Hamas dibunuh sejak meletusnya gerakan Intifadah dua tahun terakhir. Rumah-rumah rakyat Palestina dibolduser tentara Israel.

Dengan nada marah, juru bicara Hamas Abdel Azis Rantissi berteriak, “Kami akan membalas kejahatan ini; katakan para Sharon dan teroris (Menteri Pertahanan Shaul) Mofaz mereka akan membayar mahal kejahatan yang telah mereka lakukan.” Tapi, suara Rantissi seperti tenggelam dalam hinggar binggar persiapan AS menggempur Irak. Tidak ada yang mendengar. Tidak ada yang mau mendengar.

***

HOROR di Palestina belum akan segera berakhir. Barusan, Sharon memenangkan pemilu secara meyakinkan. Para pengamat menilai, kemenangan Sharon pertanda rakyat Israel mendukung kebijakannya yang keras, yang menghancurkan proses perdamaian.

Ironisnya, Israel semakin kuat, Palestina semakin terpojok. Hari Jumat pekan lalu (14/2), Presiden Palestina dipaksa mengumumkan akan menunjuk perdana menteri untuk menjalankan pemerintahan sehari-hari. Semua itu menandakan kemenangan diplomasi Sharon. Ia memakai tangan AS dan Uni Eropa untuk menekan Arafat, agar muncul pemimpin Palestina yang gampang dikendalikan.
”Di bawah tekanan intensif AS dan Uni Eropa, Arafat mengumumkan akan menunjuk perdana menteri…,” tulis Israel Daily Newsmagazine. Dua tokoh disebut-sebut sebagai kandidat kuat pengganti Arafat. Satunya, Ahmed Qurei (Abu Ala), juru bicara parlemen Palestina. Satunya lagi, Mahmoud Abbas alias Abu Mazen, deputi Arafat di organisasi pembebasan Palestina, PLO.

AS dan Israel ingin pengganti Arafat orang moderat agar bisa dengan gampang disetir. Menurut Israel Daily Newsmagazine, Bush dan Sharon lebih memilih Fayyad, ketimbang dua kandidat versi Arafat tersebut. Fayyad, seorang ekonom yang memimpin reformasi finansial, dianggap tidak terlibat dalam “internal politik” Palestina. Ia buta politik.

Israel ingin memastikan, kekuasaan Arafat benar-benar harus bisa dipangkas. Menteri Pertahanan Shaul Mofaz menyatakan penolakannya atas kecenderungan Arafat menunjuk tokoh yang bisa dikendalikannya dari balik layar.

Bersamaan dengan itu, seperti simponi, Israel menginginkan AS segera melucuti, Saddam. Timur Tengah pasca Saddam adalah Timur Tengah yang dikendalikan AS. Kondisi ini diimpikan Israel untuk memaksakan agenda perdamaian dengan Palestina.

Dua isu utama menggagalkan KTT Camp David II, Juli dua tahun lalu. Israel menolak hak kembali pengungsi Palestina. Sementara Arafat bersikukuh, Palestina memegang kedaulatan atas Masjid Al Aqsa, tempat suci ketiga umat Islam. Seluruh negara Arab mendukung posisi Arafat.

Namun, dengan jatuhnya Irak ke dalam pelukan AS dan kemenangan tokoh garis keras semacam Sharon di satu pihak, dan melemahnya posisi Arafat di sisi lain, Israel akan semakin mendiktekan formula perdamaiannya. Boleh jadi, Al Aqsa akan jatuh ke tangan Israel.

Sekarang ini, setelah gagalnya KTT Camp David II, sedang diupayakan formula perdamaian “road map”. Formula ini diusung pemerintahan Bush, yang didukung PBB. Untuk sementara, jantung proses perdamaian berhenti berdetak, karena Bush sedang sibuk membereskan Saddam terlebih dahulu. Dan, Saddam melawan, pertanda harapan bangsa Palestina masih ada, walau cuma secuil. Demikianlah, Israel berharap kepada Bush, Palestina berharap Saddam. (Wartawan PERSDA, Dahlan, melaporkan dari Amman, Jordania)


1 comment:

  1. All I can say is nothing because your blog is not interesting to read.

    ReplyDelete

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...