Dari Baghdad dengan madu
Matahari sangat terik. Tapi udara tetap dingin. Azis membungkus tubuhnya dengan jaket warna hitam. Di sana sini terlihat ada sobekan. Kepalanya dibungkus sorban warna merah, motif putih, penutup kepala “kebanggaan” Jordania. Warna sorban itu tenggelam oleh debu padang pasir.
Wajahnya nampak letih. Dia istrihat di kota Sofawi, Jordania, tidak jauh dari perbatasan Irak-Jordania. Di sini memang banyak warung. Aneka makanan dan minuman dijual. Santapan yang terbilang lezat adalah ayam panggang dan roti plus syai (teh) sebagai minuman penutup.
Satu porsi sekitar 2 Jordanian Dinar (JD) atau sekitar 500 Dinar Irak. Harga yang teramat mahal bagi kantong seorang sopir truk. Juga, sebenarnya, bagi ukuran dompet orang Indonesia. Dua JD kira-kira sama dengan Rp 26 ribu.
Tampak sekali lelaki berkulit agak gelap itu menikmati santapannya. Ia duduk di kursi dekat pintu masuk sebuah warung. Sama sekali ia tidak terusik dengan orang yang lalulalang ke luar masuk warung. Truknya diparkir di depan warung.
Sofawi, sekitar 200 km dari perbatasan, memang kota istrihat bagi sopir truk dan sopir mobil angkutan penumpang Baghdad-Amman. Selain makan dan beristirahat, para sopir itu sering mengisi bahan bakar yang dijual di jerigen-jerigen di tepi jalan, bukan di pompa bensin.
***
IRAK sebenarnya negara yang kaya. Buminya mengandung minyak, prospat, dan sulfur. Perang membuat rakyat menderita. Selama delapan tahun, 1980-1988, pasukan Saddam memerangi saudara mereka, Iran. Belum hilang rasa letih melewati hari-hari masa perang, tahun 1990, Saddam menyerang Kuwait. Sejak 1991, negeri itu diembargo, dikucilkan masyarakat dunia, dan saban waktu dibombardir AS dan Inggris, terutama di wilayah zona larangan terbang di utara maupun selatan.
AS mungkin girang karena telah membuat Saddam tak berdaya. Tapi, bagi rakyat kecil seperti Azis, embargo atau pun ancaman perang tidak cuma menghukum Saddam, tapi terutama rakyat Irak.
Rakyat Irak sekarang ini seolah identik dengan kemiskinan. Mobil-mobil angkutan umum dari Baghdad rata-rata sudah berumur. Mirip pemandangan angkutan pedesan di Indonesia. Pemandangan itu amat kontras dengan penampilan elegan mobil-mobil baru dari Eropa dan Asia yang menghiasi jalan-jalan di kota Amman.
Azis dan rekan-rekannya sesama sopir kini menyongsong penderitaan yang mungkin akan lebih berat. Mereka percaya, tiga pekan lagi, akhir Februari atau awal Maret, negaranya akan digempur AS.
“Sekarang, situasi di Irak masih normal,” kata rekan Azis. “Rakyat gelisah menunggu datangnya perang. Kalau perang benar-benar terjadi, mereka sudah siap mengungsi ke perbatasan.”
Pemerintah Jordania melarang pengungsi Irak memasuki wilayahnya. Negara ini, yang berpenduduk sekitar 5 juta, terlanjur dipadati orang-orang Palestina. Pada perang Arab-Israel tahun 1967, Arab kalah. Akibatnya, orang-orang Palestina terpaksa meninggalkan tanah airnya. Sebagian besar mengalir ke Jordania.
Pendatang Palestina menguasai sektor bisnis. Tokoh-tokoh besar di Amman sebagian besar milik keturunan Palestina. Persis seperti perantau keturanan Tionghoa yang mengendalikan roda perekonomian hampir seluruh kota penting di Indonesia. Kini, penduduk Jordania keturunan Palestina diperkirakan sekitar 60 sampai 65 persen. Sisanya penduduk lokal dan pendatang dari negara-negara Arab lainnya.
Para pengungsi Irak rencananya akan ditampung di zona netral perbatasan Irak-Jordania. Tenda-tenda untuk pengungsi, kata sumber-sumber diplomat di Amman, sudah disiapkan pemerintah dan Badan Pengungsi PBB, UNHCR.
No comments:
Post a Comment