Al Jazeera, setelah generator dibom
JASIM, 52, bukan polisi seperti Abu Farrah. Orang tua bertubuh tinggi dan agak kurus ini menemukan suasana psikologis untuk melawan, bukan untuk bertekuk lutut. Pasalnya, ia menyaksikan sendiri bagaimana kejamnya tentara AS.
Jasim bekerja sebagai tenaga non redaksi di kantor perwakilan stasiun televisi Al Jazeera. Terdiri atas bangunan dua lantai, kantor itu terletak persis di tepi Sungai Tigris. Di sinilah reporternya, Tariq Ayoub, melaporkan perkembangan perang dari jam ke jam.
Di lantai paling atas, stasiun yang berbasis di Qatar itu membangun studio mini. Di tepi pagar, karung-karung berisi pasir disusun, membentuk lingkaran. Di sanalah Tariq bersembunyi manakala ia merasa dalam bahaya, ketika pesawat-pesawat tempur AS memuntahkan bom-bom pencabut nyawa.
Selasa pukul tujuh pagi, beberapa menit setelah Tariq Ayoub melaporkan secara live, pesawat tempur AS tanpa diduga menggempur kantor Al Jazeera. Hanya terpaut sekitar 10 meter, kantor Abu Dhabi TV juga ikut digempur.
Kedua stasiun ini, bersama Al Arabiya, melaporkan perkembangan perang dari sudut yang tidak mengenakan AS. Ketiga stasiun itu seringkali melaporkan sisi kemanusian perang, menayangkan gambar-gambar korban di pihak sipil, sesuatu yang dengan sengaja amat jarang ditayangkan televisi Barat seperti CNN dan Fox News.
Jasim bercerita, sambil menunjukkan ceceran darah Tariq Ayoub di lantai yang sudah mengering, mula-mula AS mengebom sebuah bangunan kecil sekitar dua meter dari bangunan utama kantor Al Jazeera. Bangunan mirip WC itu adalah pusat generator. Begitu digempur, lampu padam total.
AS belum puas dengan hanya melumpuhkan aliran listrik. Dinding-dinding kantor Al Jazeera penuh lubang-lubang besar bekas tembakan. Salah satu tembakan mengenai bagian perut Tariq Ayoub. Jurnalis ayah satu putri itu mengerang kesakitan, dan mati. Ia terlahir 34 tahun lalu dan mati menjadi saksi kekejaman tentara AS.
Bagi Jasim dan kru Al Jazeera lainnya, sulit mempercayai pengeboman kantor Al Jazeera itu sebagai kecelakaan. Di sekitar kantor Al Jazeera sama sekali tidak ada target militer seperti bangunan pemerintah, istana Saddam, pusat telekomunikasi atau instalasi militer.
Sebelum kantornya dibom, mobil Al Jazeera diberondong tembakan. Sopirnya luka-luka.
Stasiun Al Jazeera juga digempur pasukan AS pada perang Afganistan tahun 2001. Stasiun itu, yang disebut juga sebagai CNN-nya Arab, merupakan penyebar berita yang memiliki kredibilitas tinggi di tanah Arab.
***
MUHANAD, 43, tinggal tak jauh dari kantor Al Jazeera. Ia senang karena bermukim tak jauh dari pabrik berita pro Arab. Namun ia ketakutan lantaran, semasa perang, kantor tersebut dijadikan sasaran militer AS.
“Di sini tidak ada kantor pemerintah dan bangunan militer sehingga tidak perlu takut akan dibom Amerika. Tapi setelah Al Jazeera dibom, kami mulai ketakutan,” tuturnya saat ditemui di depan rumahnya, duduk di kursi sambil memegang AK 47.
Keluarga Muhanad tahu benar artinya perang. Ahmad, anggota keluarganya, menghuni penjara Iran di Teheran selama 22 tahun sebagai tawanan Perang Irak-Iran. Bersama 971 tahanan lainnya, pria jangkung itu dibebaskan dalam program tukar menukar tahanan dua hari sebelum AS menyerang Irak, 20 Maret lalu.
“Tidak semua tahanan yang dibebaskan bisa bertemu keluarganya di Irak. Sebab rombongan kami ditembaki orang Iran,” tuturnya. Sebagian rekan Ahmad mati karena saling membunuh diantara mereka.
Di tahanan Teheran, Ahmad mengaku sering dicambuk. Paha kirinya terdapat bekas luka cambukan.
Keluarga Ahmad pendukung Saddam, sampai sekarang. Di dinding rumah keluarga itu masih terpampang jam dinding yang dihiasi gambar Saddam Hussein. Ada juga arloji bergambar Saddam, seperti biasa, dengan kumis tebal, rambut yang dicukur rapi, dan tersenyum.
Khalil, 20, saudara bungsu Muhannad, tidak menyembunyikan kekagumannya pada Saddam. Pemimpin Irak yang kini bersembunyi itu dianggap berani melawan AS sekaligis membenci Israel. “Ia punya rasa kemanusiaan yang tinggi dan menyayangi orang kecil,” tambah anak muda yang memakai kafayeh merah bermotif kotak-kotak putih.
“Perang ini untuk Israel,” ujar Muhammad Khalil, kakaknya. Ayah tiga anak itu melihat, jatuhnya Irak ke tangan AS akan membuat Israel semakin leluasa melaksanakan politik zionisnya di Timur Tengah.
Muhammad Halim, masih anggota keluarga Ahmad, mengaku mendukung Saddam karena pemimpin Irak sejak 1979 yang beraliran sosialis itu memperhatikan rakyat kecil. Saddam, misalnya, memberikan pendidikan gratis, suatu kebijakan yang tentu saja amat laku kalau dijual di Indonesia, negeri yang lebih 30 juta rakyatnya hidup di bawah garis kemiskinan.
Halim pensiunan tentara. Ia meninggalkan dinas militer setelah usainya perang Irak-Iran pada tahun 1988. Istrinya seorang pegawai pemerintah.
“Ada memang yang senang Amerika,” tutur Muhanad. “Rakyat Irak sudah lama menderita. Orang-orang yang berpikir pendek akan mendukung Amerika,” ia mengeluh.
No comments:
Post a Comment