Era baru mimpi Irak
RAKYAT Irak mulai menemukan udara kebebasan. Atmosfir seperti itu sudah lama hilang di sapu rejim Saddam Hussein dari langit Irak. Bahkan di tengah suasana perang, mereka bisa leluasa menggelar demonstrasi. Pada masa 24 tahun rejim Saddam, demonstrasi diijinkan tapi hanya untuk menerikkan puja-puji pada pemerintah atau mengadakan unjukrasa anti AS.
Hampir setiap hari, belasan rakyat Irak menggelar demonstrasi di depan Palestine Hotel di jantung kota Baghdad, di tengah penjagaan ketat tentara AS yang menenteng M 16.
“Never let the Saddam’s fellows to join in anything,” begitu antara lain bunyi poster mereka yang ditulis dengan spidol merah di atas keras putih dalam bahasa Inggris dan bahasa Arab. Yang lainnya berbunyi, “The Iraqi people choose their ruler by them selves.” Poster lainnya melukiskan keadaan sosial: “Give a full chance for Iraqi people to join their job”. Demonstran lain membawa poster “Iraqi oil for Iraqi people”.
Pada barisan lain, sekelompok demonstran membawa kertas-kertas buku tulis. “No USA,” tulis pemrotes, tanpa takut sedikitpun di tembak tentara AS.
Kelompok lainnya membawa poster Masoud Barzani. Poster pemimpin Kurdi itu di tempelkan di tembok-tembok di tepi jalan. Sore harinya, puluhan poster telah dicabut kelompok lainnya.
Rakyat Irak sedang belajar berdemokrasi. Di tengah kebencian pada Amerika, rakyat Irak menemukan momentum mengekpresikan kemauan mereka lewat cara-cara yang demokratis.
Demonstran dengan aspirasi yang berbeda, dengan bunyi spanduk yang berbeda, bisa akur membentuk kelompok-kelompok sendiri. Di depan tentara Amerika, para pengunjukrasa meneriakkan aspirasinya. Mereka berbeda, tapi tidak bentrok.
Di jalan-jalan, mulai muncul bendera-bendera kelompok politik. Mereka membuka kantor, memasang bendera, dan spanduk. Foto dan poster Saddam Hussein yang menghiasi setiap sudut jalan, setiap dinding kantor, bahkan setiap jam dinding milik penduduk, kini pelan-pelan mulai hilang.
Mulai muncul gambar tokoh-tokoh politik lain. Di Masjid Kazimiyah, tempat ibadah kaum shiah, dindingnya dihiasi gambar-gambar besar Sayid Husein Sadr, pemimpin shiah yang dihormati. Ia adalah calon pemimpin masa depan Irak.
Pada zaman Saddam, bahkan masjid itu diharuskan menulis “masjid ini atas bantuan Saddam Hussein”. Kini tulisan di dinding kiri persis sebelum pintu masuk itu dicoret dengan cat hijau. Saddam telah pergi.
***
SETIDAKNYA ada tiga kelompok yang membawa aspirasi yang berbeda. Aspirasi itu tampaknya menunjukkan berbagai harapan rakyat Irak pasca Saddam.
Kelompok pertama menerikan nyanyian “birruh, biddam, li ajlik ya Saddam.” Mereka ini masih menyimpan perasaan cinta pada Saddam Hussein, pemimpin digambarkan berani (melawan AS dan Israel) dan peduli pada rakyat kecil. Sebagian besar rakyat Irak hidup miskin, menggantung hidup dari ransum pemerintah, dan menikmati sekolah gratis bahkan sampai pendidikan doktoral.
Kelompok kedua, yang memekikkan “birruh, biddam, li ajlik ya Irak”, membenci Saddam, tapi juga membenci AS. Kelompok shiah termasuk dalam kelompok ini. Suara mereka terdengar dalam hinggar binggar demonstrasi. Misalnya mereka mengusung gagasan “sistem multi partai” dan “pemilu yang demokratis”. Masih dalam kelompok ini, cukup kuat juga suara-suara yang menginginkan tampilnya seorang ulama sebagai pemimpin Irak.
Mayoritas rakyat Irak menganut shiah, suatu aliran agama dan komunitas politik yang ditekan selama pemerintahan rejim sunni Partai Baath. Bila pemilu digelar secara demokratis, kelompok shiah yang anti AS kemungkinan akan meraih kemenangan.
Kelompok ketiga apatis secara politik. Mereka pragmatis. Di depan tentara AS, mereka mengusung spanduk “we want peace”, bahkan ada yang berteriak “kami ingin roti”. Kelompok ini tidak terlalu peduli siapa kelak yang akan memimpin Irak.
Muhtar Muhsin, seorang pria yang mengenakan baju koko warna cokelat, ketika mengetahui berbicara dengan wartawan di kawasan pasar Karrada yang ramai, berkata, “Saya ingin presiden yang baik…” Ia tidak melanjutkan pernyataannya, segera berlari kecil berbau dengan warga Irak lainnya di warung kopi yang menyajikan teh dalam sloki-sloki kecil sambil mengisap Sumer, “bentoel biru” (karena bungkusnya berwarna biru) made in Irak.
Zarkom bin Said, ayah dua anak dan seorang shiah, merumuskan dengan baik bagaimana kemauan komunitas shiah. “Saddam adalah Ali Baba (penjarah) dan Amerika adalah Ali Baba kabir (besar),” ujar sopir taksi ini yang menikmati bayaran 40 dolar AS sehari dari para wartawan asing yang memakai taksinya, sebuah mobil Volkswagen tua buatan tahun 1970-an, yang kalau berjalan selalu oleng bak diterpa gelombang besar.
Zarkom, pria tinggi dengan tubuh atletis yang tak pernah mengganti kaos putihnya selama empat lima melayani PERSDA dan wartawan Indonesia lainnya, hidup sederhana dengan orang istri yang sedang hamil. Istri kedua mengandung bayi kembar.
Zarkom sudah mempersiapkan tiga nama untuk calon anak-anaknya. Semuanya diambil dari nama-nama panggilan Sayidina Ali, tokoh pemberani yang dilukiskannya amat ditakuti Amerika. Anak pertama akan diberi nama Ali Sajad, seterusnya Ali Karar, dan Ali Akbar.
“Saddam tidak memberikan kebebasan. Amerika juga tidak akan memberikan kebebasan. Mereka hanya ingin petrol, petrol,” ujar Zarkom, mantap, dan berjanji akan mengajari anaknya cara menembak, cara menembak tentara Amerika.
Saad, 45, mewakili pandangan kelompok ketiga. Pria yang tampak necis ini ditemui di depan Baghdad Backery, satu-satunya perusahaan roti yang tetap berproduksi kendati pada masa perang di kawasan Zayuna City.
Saat ratusan orang antri membentuk dua barisan (satu barisan laki-laki, satu barisan perempuan) untuk mendapatkan dua bungkus roti berisi 40 potong roti, Saad mengatakan, rakyat Irak sudah letih hidup dalam masa perang sejak tahun 1980. “Sederhana saja. Rakyat Irak sekarang ini ingin hidup tenang dan damai,” tutur insinyur yang bekerja pada PCP, sebuah perusahaan India di Baghdad. Ia pernah ke India dua bulan dan menemukan “orang-orang yang ramah dalam damai”.
Dari penampilannya, pakaian koko cokelat tua yang tampak bagus dan sedan Toyota buatan tahun 1983 miliknya, Saad kelihatannya berasal dari kalangan menengah atas. Dan, ia pun berkata: “Rakyat tidak senang tanah airnya diduduki Amerika. Tapi kami menginginkan era baru.”
No comments:
Post a Comment