Friday, July 18, 2008

Kesaksian Mantan Kepala Sekolah Tentang Pungli di Sekolah

http://www.tribun-timur.com/view.php?id=88356Tribun Timur hari Kamis (17/7) menyajikan pengakuan seorang mantan kepala sekolah negeri mengenai konspirasi besar di balik maraknya pungutan di sekolah pada penerimaan siswa baru.

Pungutan itu bermotif memperkaya diri sendiri. Berikut berita selengkapnya:

http://www.tribun-timur.com/view.php?id=88356

Jumat, 18-07-2008
Setor Sampai ke Balaikota
Blak-blakan Mantan Kepsek

HARI Kamis (17/7) sekitar pukul 14.54 wita, sumber Tribun menelepon dan meminta bertemu.
Pertemuan dengan sumber yang merupakan mantan kepala sekolah negeri di Makassar ini awalnya direncanakan di seputar Maccini, dekat kantor gabungan dinas-dinas.



Tapi kemudian batal. Kontak kedua sekitar pukul 15.31 wita. Akhirnya disepakati pertemuan di depan kantor salah satu instansi pemerintah di Jl Perintis Kemerdekaan.
Perbincangan berlangsung di atas mobil sumber yang parkir di pinggir jalan.

Selama dua jam, ia mengutarakan fakta-fakta yang sangat mengagetkan, misalnya adanya "setoran wajib" kepsek kepada sejumlah pejabat pemkot dan pungutan yang masuk ke kantong pribadi kepala sekolah.
Berikut penuturan lengkapnya:

SAYA harapkan praktik ini bisa berubah. Tapi, nyatanya, dari tahun ke tahun semakin menjadi-jadi. Ini jadi panggilan nurani.
Pungli (pungutan liar) yang terjadi saat penerimaan siswa baru sampai pelaksanaan proses belajar yang selama ini dipublikasi koran Anda memang tidak jauh berbeda dengan kenyataan di lapangan.
Termasuk keuntungan pembelian buku, seragam, sampai pendapatan lain.
Sebenarnya yang menjadi sasaran empuk kepala sekolah untuk memperkaya diri lebih banyak diperoleh dari mahasiswa pindahan atau sering disebut siswa letjen (singkatan dari lewat jendela).
Pembayaran orangtua untuk melalui jalur ini juga bervariasi. Semakin tinggi status sekolah semakin tinggi pula pembayarannya.
Untuk sekolah pinggiran biasanya hanya berkisar Rp 1 juta sampai Rp 2 juta.
Tapi untuk sekolah bergengsi orangtua harus merogoh kocek mencapai Rp 4 juta sampai Rp 6 juta.
SMAN 5 misalnya, kira-kira pembayaran siswa pindahannya mencapai 5 juta. Begitu juga di SMAN 3 berkisar Rp 5 juta sampai Rp 6 juta.
Ini menjadi sasaran empuk karena praktiknya memang sangat tersembunyi dan sulit dideteksi.
Mau dideteksi dari mana kuitansinya saja tidak ada. Penerimaan siswa pindahan juga dibahasakan menjadi hak preogratif kepala sekolah. Jadi mau-maunya dia, apa dibagi atau tidak.
Kalau pengurus (guru lain) biasanya hanya dikasih "uang pembeli pulsa".
Kalau wakilnya (wakil kepsek) yang turut membantu praktik ini ya paling dapat ratusan ribu rupiah. Dan biasanya yang ikut kecipratan guru BP-nya (bimbingan dan penyuluhan) sampai wali kelas yang ikut membantu.
MKKS
Bagaimana tidak harus melakukan pungli, sekolah juga dipaksa melayani banyak permintaan partisipasi.
Salah satunya difasilitasi MKKS (musyawarah kerja kepala sekolah).
Kalau sekaitan penerimaan siswa baru kemarin, kalau tidak salah, satu sekolah bisa menyetor dana sebesar Rp 2,5 juta.
Uang itu disetorkan melalui MKKS sebagai biaya partisipasi. Biasanya yang bawa itu guru perwakilan dari setiap sekolah.
Peruntukan untuk apa, buat apa tidak usah ditanya. Kuitansi pembayarannya saja tidak ada.
Mereka-mereka inilah (MKKS) merupakan kaki tangan pejabat di balaikota (sumber menyebut sejumlah nama yang sangat dikenal di Makassar) untuk setoran ke atas.
Koperasi
Jadi susah juga kalau tidak pungli dari mana setoran ke atas. Kalau satu saja tidak masalah.
Melayani permintaan jadi susah. Mulai (menyebut pejabat penting) sekretaris sampai asisten, ada-ada saja permintaannya.
Makanya sebagai kepala sekolah, saya juga dulu biasanya pusing sendiri.
Dikasih, kita yang repot, tidak dikasih, siap-siap saja jabatan melayang.
Makanya pungli di sekolah susah diberantas karena memang dipelihara dari pejabat di atas.
Susah kalau mau tahu seluk beluk lari-larinya setoran. Memang pejabat tidak langsung turun meminta, tapi melalui orang-orang suruhan.
Nah, soal berita baju (Tribun, 17/7) memang tidak jauh-jauh beda.
Memang ada yang mengkoordinir. Omong kosong itu bahasa koperasi sekolah.
Itu akal-akalan saja. Ujung-ujungnnya juga tetap masuk ke oknum sekolah utamanya kepala sekolah.
Memang benar seragam diorder salah satu penjahit di Ince (menyebut inisial K yang juga orang dekat dan tim sukses salah satu kandidat wali kota). Sumbernya dari situ. Ini sudah permainan lama.
Kalau tidak salah untuk sekolah pinggiran dengan siswa yang agak sedikit, bisa meraup komisi bersih hingga Rp 3,5 juta.
Saya juga pernah terima tapi saya bagi-bagikan ke rekan-rekan lainnya.
Makanya jangan tanya kalau sekolah besar. Biasanya dapat komisi Rp 8 juta setiap kepala sekolah dari penjahit setiap tahun ajaran baru.
Semakin banyak siswa yang ambil baju, komisinya juga makin besar. Komisi yang didapat dari penjahit belum termasuk hitung-hitungan mark up yang dilakukan sekolah.
Kayaknya kita (wartawan Tribun) lebih tahu. Kan sudah cek sendiri perbandingan harga di sekolah sama di pasar.
Meskipun namanya menyesuaikan mekanisme pasar tapi itu hanya omong kosong. Akal-akalan saja.
Untuk memberantas praktik ini memang kadis (pendidikan) tidak bisa berbuat apa-apa karena tekanan dari atas (menyebut pejabat di balaikota) lebih luar biasa.
Jadi beliau harus ikut-ikut saja. Jadi praktik ini mau tidak mau harus mulus setiap tahun.
Tidak ada gunanya melapor ke pemkot (balaikota) karena sumber kecurangan dari sana.
Nah, mungkin kalau lapor di gubernur lebih bermanfaat. Beliau mungkin belum tahu banyak tentang praktik ini.
Buku
Kalau soal buku juga menggiurkan. Biasanya kepala sekolah sampai guru yang berkaitan langsung juga kecipratan persenan dari penerbit.
Ya, kembali tadi, semakin banyak siswa komisinya juga makin besar. Kalau tidak salah sekolah besar komisinya bisa Rp 10 juta sampai Rp 20 juta untuk setiap tahun ajaran baru.
Itu juga belum termasuk penggelembungan harga buku di sekolah. Coba maki cek harganya di penerbit pasti jauh beda.
Katanya memang tidak dipaksa, tapi kalau sudah di sekolah siswa mau bikin apa.
Menolak sudah pasti tidak. Jangan heran mereka (menyebut sejumlah kepala sekolah negeri) kipas-kipas uang setiap tahun ajaran baru.
Apalagi mereka yang sudah menjadi dedengkot (kepala sekolah) lama -sumber menyebut beberapa nama- yang sudah tahu seluk beluknya untuk memperkaya diri.
Tentunya juga agar operan setoran ke atas (menyebut nama-nama suruhan sejumlah pejabat penting) lancar.
Baca beritata (Gaya Hidup Kepala Sekolah, Tribun, 16/7) sebenarnya tidak usah kaget lagi.
Memang kenyataannya begitu. Malah kalau lebih teliti, wahnya jauh lebih dari itu (ia menyebut salah seorang kepala sekolah negeri di Makassar yang punya tiga mobil sampai Toyota Rush terbaru).
Kepala sekolah yang juga diberitakan pakai mobil tua (menyebut salah satu kepsek negeri unggulan) sebenarnya tidak begitu.
Coba cek asetnya, bengkel di Antang siapa yang punya kalau bukan dia (sambil terkekeh).
Masih banyak pendapatan lain yang bisa dimakan kepala sekolah.
Penerimaan pindahan tadi, kontribusi kantin juga ada.
Jumlahnya sampai Rp 3 juta per tahun (sambil memperlihatkan bukti penerimaan kantin dan siswa pindahan untuk kesejahteraan guru di salah satu sekolah negeri).
Bayangkan kalau sekolah pinggiran saja. Satu siswa pindahan Rp 2 juta.
Nah bisa dihitung sendiri berapa untung yang bisa didapat. Satu siswa saja seluruh guru sudah bisa dapat insentif tambahan.
Kalau mau untung sendiri kepsek tidak usah bagi. Dan beberapa kepsek melakukan hal itu.
Sumbangan Pembangunan
Untung lain yang lumayan besar juga berasal dari iuran komite sampai sumbangan pembangunan.
Memang terkadang sumbangan pembangunan diperuntukkan membangun fasiltas sekolah.
Tapi pembangunan itu tetap menguntungkan kepala sekolah. Pernah dengar ada pembangunan dari sumbangan orangtua ditenderkan? Tidak kan.
Jadi di sini lagi permainannya. Mulai memasukkan batu merah, beli semen. Jadi memang mau-maunya.
Kalau bangun ruang OSIS saja, bisa sejuta lah (yang didapat kepala sekolah).
Kalau berbicara komite susah juga. Tidak semua orangtua di situ. Mau ditolak juga bisa susah.
Sebenarnya guru juga sudah dapat dana kesejahteraan dari iuran komite.
Ini tidak ilegal karena memang peruntukannya untuk kesejahteraan pengajar.
Biasanya mereka (guru) mendapat instentif mengajar sampai Rp 1,5 juta tergantung banyak jam mengajarnya.
Belum kepala sekolah. Saya bisa garansi kepala sekolah seperti di SMAN 5, SMAN 2, SMAN 3, dan SMAN 17 bisa mendapat insentif sampai Rp 5 juta. Itu per triwulan.
Jadi kalau mau jujur (tanpa pungli) mereka (kepala sekolah) sudah banyak penghasilan. 


Berita Terkait
* Mantan Kepsek Ungkap Praktik Kotor Sekolah





No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...