Thursday, July 17, 2008

Bagaimana Masyarakat Berpatisipasi Mengungkap Kecurangan Lewat Pers

Headline Tribun Timur, Makassar, edisi Kamis, 17 Juli 2008, kembali menyoroti maraknya pungutan di sekolah pada penerimaan siswa baru berikut langkah-langkah pengusutan dari kejaksaan dan inspektorat.

Berita ini, seperti biasa, muncul dari keterangan sejumlah orang tua siswa. Mereka memberikan keterangan kepada wartawan, namun secara anonim. Orang tua siswa enggan disebut namanya karena mengkhawatirkan nasib anak mereka di sekolah yang baru.

Guru-guru dan pengelola sekolah juga menakuti wartawan karena setidaknya dua alasan. Pertama, mereka mungkin menjadi bagian dari pungutan tersebut. Kedua, mereka bukan bagian atau ikut menikmati, tapi menghindari tekanan psikologis menghadapi teman-teman sekantornya. Mengungkapkan kecurangan nyata yang mereka ketahui kepada wartawan sama saja dengan mengundang masalah besar.

Tribun Timur yang coba mengungkap terus kecurangan itu masih beruntung karena beberapa narasumber bersedia memberikan keterangan tapi tanpa bersedia menyebutkan identitas. Masalah inilah pasti akan terus terbungkus rapi bila orang tua siswa tidak berani membuka mulut.

Ketakutan mengungkapkan identitas bukan hanya milik warga biasa. Seorang pejabat di Balaikota Makassar juga mengungkapkan betapa ada pungli di SMA 17 Makassar, salah satu SMA favorit, sambil menunjukkan bukti-bukti penerimaan dana pungli tersebut. Tapi ia, seperti orang tua siswa lainnya, ia keberatan disebut namanya dalam pemberitaan.

Beruntunglah masyarakat Makassar sudah mengetahui apa yang bisa dilakukan bila hendak memberikan laporan mengenai suatu masalah. Dialah hotline Public Services Tribun Timur, 081-625-2233.

Nomor hotline ini sehari-hari dipakai ratusan warga untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan seputar pelayanan publik seperti berapa ongkos mengurus KTP, bagaimana mengurusnya, apa persyaratannya.

Banyak pula yang mengirim SMS untuk menanyakan, bagaimana mengaktifkan fasilitas internet di handphone.

Nomor hotline tersebut juga dipakai warga untuk bertanya mengenai masalah-masalah kesehatan untuk rubrik Tribun Health edisi Minggu. Tidak sedikit yang sekadar menanyakan alamat dokter tertentu.

Namun tidak jarang pula, SMS itu dipakai untuk mengadukan perlakuan oknum polisi yang memeras pengguna jalan, melaporkan pungli di suatu instansi, atau mengeluhkan pelayanan instansi pemerintah maupun perusahaan swasta.

Jadilah hotline Public Services Tribun Timur berfungsi sebagai sarana untuk bertanya sekaligus mengadukan kecurangan atau setidak-tidaknya dugaan kecurangan.

Hotline itu sangat membantu manakala ada suatu kecurangan tapi narasumber enggan mengungkapkan identitasnya. Itulah yang menjelaskan mengapa puluhan bahkan ratusan SMS yang masuk ke nomor itu setiap hari belakangan ini berisi berbagai pengaduan mengenai pungutan di sekolah, mulai dari SD sampai SMA.

Wartawan Tribun Timur mengamati SMS demi SMS, kemudian mengklasifikasi SMS mana yang bisa ditelusuri lebih dalam. Hasilnya menakjubkan: banyak testimoni penting yang diperoleh melalui cara kerja ini.

Pada saat pelaksanaan ujian nasional SMA di Sulsel yang diwarnai bocornya soal, seorang pengawas ujian di Kabupaten Bone mengirim SMS ke hotline Public Services Tribun. Pengawas itu, yang kemudian diketahui seorang ibu guru yang menjadi pengawas silang, menggambarkan secara detail bagaimana guru sekolah tempat ia mengawas membagikan kunci jawaban kepada peserta UN.

Berkat laporan ibu guru itu, polisi di Bone melakukan pemeriksaan. Sayang sekali bahwa kasus itu berhenti di kantor di polisi dengan alasan tidak cukup bukti.

Berita headline Tribun Timur berikut ini juga sebagian bersumber dari testimoni setelah wartawan mewawancarai sejumlah pengirim SMS.

Sebagian SMS dimuat utuh di Tribun Timur edisi cetak. Dari SMS itu tergambar jelas betapa masalah pungutan terjadi di seluruh level penerimaan siswa baru, sejak dari SD, SMP, hingga SMA. Modusnya pun beragam, tapi secara umum, siswa "dihimbau" membeli seperangkat perlengkapan sekolah seperti pakaian melalui koperasi.

Kejaksaan yang mengusut kasus tersebut juga membaca SMS-SMS itu lalu dijadikan petunjuk awal memulai penyelidikan.

Selain lewat SMS, masyarakat sebenarnya bisa melakukan perlawanan terhadap kecurangan itu, misalnya, dengan memberikan bukti-bukti ke kantor surat kabar, memberikan testimoni (tanpa harus ditulis identitasnya dalam pemberitaan), dan mengirim testimoni melalui email atau faksimili.

Dalam situasi seperti ini, peran serta masyarakat begitu pentingnya sebab wartawan akan kesulitan mengumpulkan informasi dan fakta yang detail dan kuat bila masyarakat, terutama orang tua siswa, enggan memberikan keterangan kepada wartawan.

Bola sekarang sedang bergulir. Semoga saja masyarakat ikut berpartisipasi dengan memberikan informasi kepada pihak yang membutuhkan, termasuk wartawan, dengan harapan modus-modus kecurangan dalam penerimaan siswa baru tidak lagi terulang pada tahun-tahun mendatang.

Berikut headline Tribun Timur edisi Kamis, 17 Juli 2008.

http://www.tribun-timur.com/view.php?id=88190&jenis=Front

Jaksa Kantongi Puluhan Nama Kepsek

* Terkait Kasus Dugaan Pungli dan Gratifikasi; * Mulai dari SD Sampai SMA/SMK; * Dikumpulkan dari Keluhan dan SMS Orangtua di Media; * Inspektorat Pemkot Makassar Juga Mulai Memeriksa

Makassar, Tribun - Kejaksaan Negeri (Kejari) Makassar sudah mengantongi puluhan nama kepala sekolah (kepsek) yang diduga terkait kasus pungutan liar (pungli) dan gratifikasi dalam proses penerimaan siswa baru (PSB).
Kepala Seksi Intelijen (Kasi Intel) Kejari Makassar, Didi Haryono, mengungkapkan hal tersebut saat diminta komentarnya seputar perkembangan penyelidikan kasus ini, Rabu (16/7).
"Dari kliping berita dan SMS pengaduan pungutan sekolah yang dimuat di media, tim penyelidik sudah mengumpulkan puluhan nama sekolah. Daftarnya sudah ada, tinggal ditindaklanjuti," kata Didi.
Dalam perkembangan lain, Inspektorat Pemerintah Kota (Pemkot) Makassar juga dikabarkan sudah memeriksa sejumlah kepsek dalam kasus ini.
Kepala Bagian (Kabag) Humas Pemkot Makassar, Kasim Wahab, mengatakan, pemeriksaan sementara berjalan namun dilaksanakan secara tertutup.
Kasim menjanjikan, pemkot akan mengumumkan hasil pemeriksaan tersebut secara terbuka, pekan depan. Namun dia belum bisa memberi kepastian waktu pemeriksaan tersebut.
"Pak Andi Herry (caretaker wali kota) bertekad menuntaskan permasalahan ini dan inspektorat sudah mulai bekerja," kata Kasim.
Sementara itu, keluhan terhadap pungutan yang memberatkan orangtua tersebut masih juga berlangsung. Seorang kerabat murid baru di SD IKIP Gunung Sari mengaku diharuskan membayar Rp 1 juta untuk pembelian komputer tanpa dilengkapi bukti pembayaran.
"Keponakan saya diminta menyumbang Rp 1 juta tapi tidak diberi kuitansi. Pihak sekolah tidak transparan," kata Ny Mini, warga Panakkukang, Makassar.

Ratusan Juta
Bisnis jual beli seragam, buku cetak, dan perlengkapan sekolah lainnya terus mewarnai proses PSB setiap tahun. Meski terus melahirkan protes dan keluhan dari orangtua siswa, praktik yang berlindung di koperasi sekolah ini tetap saja berlangsung.
Keuntungan dari bisnis seragam ini juga sangat menggiurkan. Tidak hanya dinikmati pedagang yang kebanjiran order, tetapi pihak sekolah juga kecipratan untung yang sangat besar.
Mau tahu berapa keuntungan yang bisa diraup sekolah melalui praktek "terlarang" ini? Berdasarkan pantauan Tribun dibeberapa pasar dan toko di kawasan Makassar Mal (Pasar Sentral), seragam dijual Rp 120 ribu per dua pasang.
Seragam ini sudah termasuk kualitas terbaik di pasaran. Jika ditambah topi, dasi, satu stel seragam dengan celana panjang, sampai lambang lokasi, orangtua siswa baru cukup merogoh kocek senilai Rp 190 ribu.
Jumlah tersebut belum termasuk seragam olahraga yang biasa dihargai Rp 50 ribu, sepatu Rp 50 ribu, dan tas biasa seharga Rp 30-Rp 40 ribu.
SMA favorit dan unggulan biasanya menawarkan perlengkapan sekolah lengkap berkisar Rp 750 ribu-Rp 900 ribu.
Jika dipakai patokan harga Rp 750 ribu di koperasi sekolah untuk kelengkapan berupa dua pasang seragam, stelan pramuka, topi, lambang lokasi, sedikitnya tiap sekolah bisa meraup keuntungan hingga Rp 600 ribu per siswa.
Jika jumlah siswa baru maksimal yang diterima sebanyak 360 siswa baru untuk sekolah bertipe A, maka keuntungan yang bisa diraup dari "bisnis" ini mencapai Rp ratusan juta atau sekitar 226.800.000.
Tentu pendapatan yang begitu besar. Jumlah tersebut belum termasuk hitung-hitungan yang bisa diraup SD maupun SMP yang juga tetap melakukan praktik serupa meski Pemerintah Kota Makassar bersama Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sulsel sudah mencanangkan pendidikan gratis untuk mensukseskan pendidikan dasar sembilan tahun.
Sumber Tribun menyebutkan hitung-hitungan sebesar tersebut tidaklah mencengangkan. "Yah sedikitnya jumlah tersebut bisa dicapai. Karena setidaknya keuntungan tersebut dibagi untuk oknum kepala sekolah, guru, maupun staf lainnya," jelasnya.
Bahkan salah seorang orangtua siswa SMA 3 Makassar juga mengaku heran dengan praktik yang terus berulang- ulang meski rawan terjadinya penyimpangan tersebut.
"Informasi yang saya terima suplai seragam sekolah di pusatkan di salah satu perusahaan di Jl Ince Dg Ngoyo setiap tahunnya. Nah ini yang menjadi tanda tanya kenapa satu perusahaan saja yang mendapat tender. Siapa yang punya, siapa yang mem-back up, dan berapa keuntungan yang bisa diperoleh," katanya.
Menurut orangtua tersebut, meskipun tanpa unsur paksaan, mereka tetap membeli juga karena terpaksa.
"Kalau langsung dikasih bagaimana? Ini bisa berpengaruh psikologis bagi orangtua, apalagi siswa," tambahnya. Tanda tanya serupa pernah dilontarkan Wakil Ketua Komisi D DPRD Kota Makassar Syamsu Niang yang juga mengaku heran dengan praktek yang terus berulang-ulang setiap tahun tersebut. Bahkan karena gerah dengan laporan bertubi-tubi dari masyarakat terhadap praktek tersebut, Syamsu, turut meminta kejaksaan untuk turun tangan melakukan pemeriksaan.

Reaksi Aktivis
Koordinator Anti Corruption Commite (ACC) Abraham Samad berharap tidak hanya kejaksaan yang turun tangan menyelidiki laporan masyarakat terkait maraknya pungli dan dugaan praktik suap di PSB Makassar.
Menurut Abraham, intitusi penegak hukum tidak boleh berdiam diri dan apatis atau hanya bergerak setelah ada laporan masyarakat ke intitusi mereka.
Pemberitaan media massa dan adanya pengaduan masyarakat melalui SMS yang dimuat media massa, bisa menjadi petunjuk atau alasan kejaksaan melakukan penyelidikan pungli dan dugaan suap yang dilakukan sekolah-sekolah negeri.
"Begitu beritanya muncul di media, mestinya polisi, jaksa, dan aparat lainnya langsung menyelidiki hal tersebut. Bisa dengan memanggil langsung kepala sekolahnya," ujar Abraham, tadi malam.
Menurutnya, ulah oknum kepala sekolah dan guru yang melakukan praktik tak bisa dibiarkan. Bila didiamkan sangat berbahaya bagi kelangsungan dan kualitas pendidikan di Makassar.
"Bila Kejari Makassar sudah mulai turun menyelidiki kasus ini, patut diberi apresiasi. Tapi jangan sekadar menakut-nakuti apalagi sampai memeras atau larut menerima sogokan dari pihak sekolah yang diselidiki," kata Abraham mengingatkan.

Pernyataan Abraham itu didukung oleh Officer Coordinator Sulawesi Selatan Transparancy International Indonesia (TII) Muhammad Haekal.
"Persoalan pungli dan dugaan suap selalu saja mewarnai setiap penerimaan siswa baru. Saya jadi curiga, jangan- jangan para kepala sekolah berani berbuat demikian karena atasannya juga mendapat kucuran dari pungutan- pungutan tersebut," ujar Haekal.
Makanya, menurut Haekal, mestinya dalam penerimaan murid dan siswa baru harus diawasi secara ketat dengan melibatkan unsur pemantau independen.
"Kepala sekolah dan komite sekolah juga harus bersedia memberikan bukti penggunaan hasil pungutan-pungutan pada penerimaan siswa baru tersebut. Termasuk penggunaan dana BOS serta dana APBD dan APBN yang diperoleh," katanya.



No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...