Wednesday, July 2, 2008

Setan besar di antara ayam panggang Irak


23 Februari 2003

Para karyawan restoran Irak, Al Habaib, sedang mengamati ayam panggang dengan latar belakang freezer Coca Cola. Mesin pendingin tersebut tidak berisi kaleng atau botol produk Amerika tersebut, melainkan telur. Mereka membenci Amerika Serikat tapi tidak Coca Cola.

Setan besar di antara ayam panggang Irak

TERASA benar, ini bukan restoran Jordania. Tidak ada gambar Raja Abdullah, Ratu Rania, atau almarhum Raja Hussein di dinding seperti lazimnya bangunan publik di negeri kerajaan ini. Yang terpampang di dinding hanyalah foto-foto rakyat Irak yang kumuh, miskin, dan kurus. Ada sebuah gambar bangunan yang nampak hancur, mungkin ia jejak pengeboman pasukan sekutu pimpinan Amerika Serikat (AS) pada Perang Teluk tahun 1991. Tidak ada gambar Presiden Saddam Hussein. Juga tidak ada pesawat televisi.

Karyawannya, sekitar 10 orang, semuanya laki-laki. Mulai dari juru masak, pelayan, sampai kasir. Mereka tak mengenakan seragam. Sebagian besar berkulit cokelat, seperti umumnya orang Indonesia. Kalau mereka warga Jordania, pastilah mereka berdarah Kaukasia, etnis Muslim yang diusir rejim komunis Uni Soviet ratusan tahun lampau. Etnis Kaukasia berkulit cokelat dan kini menjadi minoritas di negara-negara Arab, termasuk Jordania. Tidak, mereka bukan Kaukasia. Mereka orang Irak, yang mengadu nasib di negeri orang karena negaranya tak pernah lepas dari kemalangan.

Di pojok restoran itu, persis di samping tangga naik ke lantai dua, berdiri manis sebuah freezer. Warnanya merah, bertuliskan “Coca Cola”. “Tidak, tidak ada Coca Cola di sini,” sergah Fathar Ahmad, pria yang duduk di belakang mesin kasir, dan menulis kartu namanya sebagai “Manajer Al Habaib”.

Mesin pendingin itu memang bermerek “Coca Cola”, minuman AS yang menjajah selera hampir seluruh bangsa di dunia, tak terkecuali bangsa Arab. Al Habaib, salah satu restoran Irak ternama di Jordania, memang menghiasi ruangannya dengan freezer “Coca Cola.” Namun, tengoklah apa isi lemari es itu: telur-telur berwarna putih, lengkap dengan raknya yang kotor. Tidak ada botol atau kaleng minuman ringan.
”Keuntungan Coca Cola disumbangkan untuk membiayai penindasan Yahudi terhadap bangsa Palestina,” kata Aladin. Cambangnya lebat tercukur rapi, pipi agak lonjong dan dagu yang tajam, bola mata bulat yang nyaris melompat ke luar dari sarangnya. Teman-temannya sesama pramusaji Al Habaib memanggilnya Osama bin Laden.

“Minuman Pepsi memang buatan Amerika. Tapi Coca Cola buatan Israel,” kata Osama, eh, Aladin. Pria berusia sekitar 30 tahun ini tak menyembunyikan perasaan kebenciannya kepada Amerika. Kendati, ia mengaku menyukai Green Garden, wisky lezat dari Skotlandia, dan Ferida, bir segar buatan Jordania.

Para sopir taksi di Jordania mengenal Al Habaib sebagai tempat mangkalnya orang Irak. Orang Jordania sering mampir ke warung yang terletak tak jauh dari Masjid Al Hussein, Balad, tersebut. Al Habaib menarik banyak pengunjung karena tarifnya terjangkau dan masakannya lezat. Selain itu, tempatnya strategis. Tidak jauh dari Roman Amphitheatre, tempat mangkalnya orang-orang Irak setiap hari Jumat untuk menungu kiriman surat dari keluarga mereka di Baghdad.

Wisatawan Barat juga sering mampir ke sini, dengan membawa guide gadis-gadis lokal. “Mereka kafir,” bisik Fathar ketika melihat seorang bule, tinggi besar, masuk ke restorannya bersama seorang gadis, langsing, dan hanya menutupi kepalanya dengan selembar lafha (selendang). Sorot matanya memancarkan kebencian.

Fathar, 41, membuka restoran di Jordania sejak dua tahun lalu. Ia berasal dari Baghdad. Empat anaknya, seorang laki-laki dan tiga perempuan, tinggal di ibu kota Irak itu bersama ibu mereka. Dua pekan sekali, Fathar berkumpul bersama keluarganya. Dari Amman, ia sering membawa mainan plastik untuk anak-anak, barang yang langka di Baghdad. Dari ibu kota Irak itu, sesakali ia membawa madu Irak yang terkenal lezat ke Amman.

Seperti kebanyakan orang Baghdad, Fathar mencintai Saddam Hussein. “Dia orang baik. Dia berjuang mengusir Amerika, si setan besar, dari tanah Arab,” ujarnya dengan nada mantap. Fathar tak melihat ada pemimpin Arab lain seheroik Saddam.

Dia tidak setuju dengan cap Osama bin Laden orang berbahaya. Bagi dia, Osama adalah pejuang Muslim dan ia membenci Aladin setengah mati lantaran tabiatnya yang peminum. “Kasihan dia. Dialah yang berbahaya, bukan Osama,” teriak Fathar. Aladin hanya tersenyum.

Pemerintahan Saddam yang otoriter dirasakan orang-orang seperti Fathar sebagai sesuatu yang diperlukan. Muslim Sunni yang menguasai Irak tengah dan mengendalikan Baghdad merasa aman bersama Paman Saddam. Tanpa Saddam, mereka merasa akan “dijajah” saudara-saudara mereka dari utara (suku Kurdi) atau dari selatan (Muslim shiah). Baik Shiah maupun Kurdi memiliki tentara rakyat.

Baik Shiah maupun Kurdi kini bersatu, dan didukung AS, untuk menggusur Saddam dari Baghdad. Bagi orang seperti Fathar, serangan militer AS ke Irak bukan cuma mengancam rejim Saddam yang berkuasa di negeri itu sejak tahun 1979. Lebih dari itu, menggusur para pemimpin Sunni dan menggantikannya dengan pemimpin Shiah dan suku Kurdi.

“Mayoritas rakyat Baghdad dan sekitarnya tidak menghendaki pemimpin Shiah maupun pemimpin Kurdi berkuasa di Baghdad,” jelas Wahid Tawalbeh, wartawan senior Al-Mahwar, tabloid politik yang terbit di Amman, saat ditemui di apartemennya di kawasan El Shemiesani.

***

AL HABAIB menyajikan menu ayam panggang, daging rebus, dan kabab (sate). Sayurannya tomat dan daun kol segar. Dimakan dengan roti yang digilas rata hingga terlihat seperti handuk cokelat. Itulah nasinya orang Arab. “Bahan roti ini didatangkan langsung dari Baghdad,” promosi Fathar. Jarak Baghdad-Amman kurang lebih seperti Jakarta-Semarang, ditempuh 12 jam perjalanan mobil angkutan umum.

Di Baghdad, pemerintah Saddam membagi-bagikan terigu dan susu serta bahan makanan lainnya sebagai stok untuk mengantisipasi kelangkaan bahan makanan saat perang. Tapi di Al Habaib, perang terasa amat jauh. Jordania, tidak seperti Kuwait dan Israel, agak mustahil diganggu rudal Scud Saddam.

Porsi sajian Al Habaib super jumbo: seekor ayam dipotong dua (sering ada yang memesan satu ekor sekaligus!) dan lima enam lembar roti porsi lima orang untuk ukuran gaya makan orang Jawa.
Mau pesan nasi? Boleh. Butiran-butiran nasi kuning, dihiasi beberapa lembar mie kering di atasnya, akan disajikan di piring besar seukuran tempat menyajikan teh. Isinya kira-kira satu liter beras.

Dalam tempo lima menit, makanan sebanyak itu akan menghilang dari piring. Orang Irak punya gaya makan yang super cepat. Kedua tangan beraksi, seperti menari di atas piring.

Bila makan berkelompok, mereka tampak tidak sedang makan, tapi berdiskusi. Suara mereka terdengar bising. Orang Arab memang dikenal gemar berdebat, termasuk untuk soal-soal yang kecil. Tak terkecuali di meja makan.

Jangan kaget kalau saat Anda sedang menggigit paha ayam, pelayan restoran tiba-tiba datang membawa selembar kertas kecil berisi daftar tagihan. Begitulah memang adatnya. Tagihan datang saat sedang makan, seperti musuh datang saat sedang asyik tertidur lelap.
Sehabis makan di Restoran Al Habaib, para tamu mendatangi meja yang dikuasai Fathar, sang manajer yang bertindak sebagai kasir. Sepanjang hari, dari jam 10 pagi sampai jam 10 malam (from ten to ten, katanya), dia duduk di samping pintu keluar. Posisinya begitu strategis, sehingga tak satupun tamu nakal yang bakal lolos dari jangkauannya.

Para tamu, yang antri secara tertib, menjulurkan dua tiga koin dinar Jordania seusai makan. Satu porsi nasi, roti, dan setengah ekor ayam panggang dihargai cuma 1,5 dinar (sekitar Rp 20.000). Terbilang murah untuk ukuran Amman. Bonusnya segelas kecil teh hangat yang manis. Minuman ini, seperti lazimnya tradisi Arab, dihidangkan setelah pelayan memastikan tamunya selesai makan.
Bak Irak yang dibelah Shiah dan Kurdi, restoran Al Habaib juga membagi ruangannya untuk dua kelompok yang berbeda. Lantai satu, cukup untuk 20-an tamu, menjadi tempat mangkal orang-orang tua. Datang dengan jas yang tampak lusuh dan menghisap rokok L&M “Quality American Blend” warna merah seusai makan.

Di lantai atas, anak-anak muda berkumpul, menyantap kabab atau ayam panggang ukuran jumbo. Mereka minum kopi yang disajikan dalam sloki, berdiskusi dengan suara yang berisik, serta mengisap rokok Marlboro, L&M Light, atau Winston.

Anak-anak muda itu, yang berusia 20-an tahun, lahir dan besar dalam masa perang. Mereka masih bayi, atau belum lahir, ketika Saddam menyerang Iran tahun 1980. Tumbuh menjadi anak-anak dalam suasana Perang Irak-Iran (1980-1988) dan Perang Teluk tahun 1991. Dan, menjadi remaja dalam belitan kesulitan ekonomi sejak PBB, yang disokong Amerika, menghancurkan ekonomi Irak karena sanksi ekonomi.

Para pendukung Saddam percaya, kesulitan hidup bukan karena rejim Partai Baath. Semua itu karena Amerika, bangsa yang disebut Fathar, si manajer, sebagai setan besar. (Wartawan PERSDA, Dahlan, melaporkan dari Amman, Jordania)

1 comment:

  1. For many people, the first type of Men’ Footwear that we believe that during the consideration of Hogan scarpe for men in May of tennis shoes or even a generic cross-training shoes. For others, they believe in May of Hogan scarpe donna , it depends on your background. In fact, this category of hogan donna covers a wide range of sports shoes and leisure activities ranging from golf and basketball and soccer shoes race. I tend to buy Hogan scarpe uomo against training only because I am involved in a wide range of sports and weightlifting, the race to play basketball.

    ReplyDelete

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...