Pak Syahrul, Sulsel Butuh Pemimpin
"Saya sepakat dengan bupati/wali kota yang akan menindak kepala sekolah, guru, dan wali kelas yang coba-coba menarik pungutan di tingkat pendidikan dasar. Masih banyak orang yang bisa menjadi kepala sekolah dan ingin mengabdi," begitu Tribun Timur edisi Rabu (16 Juli 2008) mengutip Gubernur Sulawesi Selatan Syahrul Yasin Limpo.
Ia dimintai tanggapannya terhadap jeritan orang tua siswa mengenai pungutan yang merajalela di sekolah-sekolah, padahal katanya sudah era pendidikan gratis --program andalannya Syahrul.
Pada 18 Juli, Syahrul dan pasangannya, Agus Arifin Nu'mang, telah memimpin Sulsel 101 hari sejak dilantik menjadi gubernur-wakil gubernur pertama di Sulsel yang dipilih langsung oleh rakyat.
Angka 101 hari itu kita sebut, karena Syahrul bilang akan ada terobosan pada periode pertama itu, terutama untuk mewujudkan janji kampanye pendidikan gratis dan kesehatan gratis.
Syahrul dan Agus memenangkan pilkada gubernur-wakil gubernur pertama di daerah ini. Banyak yang yakin bahwa mereka merebut tiket ke kantor gubernur berkat dua hal: pendidikan gratis dan kesehatan gratis.
Ujian berat terbentang beberapa hari terakhir, ketika orang tua siswa mengeluh mengenai begitu banyaknya pungutan di sekolah mulai dari SD hingga SMA.
Kutipan pernyataan di atas adalah apa yang publik tahu tentang apa yang dilakukan dan apa yang bisa dilakukan Syahrul --setidaknya sejauh ini.
Bung Syahrul, apakah cukup dengan mengeluarkan ancaman itu?
Pernyataan saja sudah bagus, apalagi disertai ancaman untuk menjinakkan pengelola sekolah yang begitu keterlaluan membebani orang tua siswa.
Tapi rasa-rasanya, publik --terutama yang menyumbangkan suara untuk kemenangan Anda-- berharap terlalu tinggi: memberi ancaman saja terasa sudah sangat klise.
Biar jelas, klise artinya kosong, tidak berarti apa-apa, tidak dipercaya.
Rasa-rasanya, moga-moga tidak salah, rakyat membutuhkan pemerintah untuk tidak sekadar berkata-kata tapi berbuat. Rakyat membutuhkan pemerintah yang efektif.
Dalam kondisi sekarang, ketika rakyat frustrasi menyaksikan tingkah laku pemerintahnya, menyaksikan politisi yang mereka coblos ternyata korup, berbuat biasa-biasa saja rasanya tidak cukup.
Terobosan sangat penting dalam situasi seperti sekarang. Terobosan berarti tidak sekadar menyerahkan masalah yang krusial dan mendesak ini kepada mekanisme birokrasi sehari-hari.
Pernah kita baca statement Syahrul yang mengatakan serahkan saja kepada polisi. Bagus juga --tapi itulah mekanisme birokrasi rutin. Rakyat menunggu hasil dari terobosan, tidak terlampau percaya akan hasil mekanisme birokrasi rutin.
Pada awal-awal memerintah, Syahrul bilang menunggu anggaran untuk mewujudkan pendidikan gratis. Sekarang dananya sudah ada tapi yang gratis tetaplah impian. Lagi pula, tanpa terobosan berarti, pendidikan gratis dengan hanya membagi-bagi duit, dan bukan membangun sistem yang mapan, hanyalah berarti meniru Robin Hood.
***
Syahrul dan Agus (Sayang) tampil dengan jingle kampanye ini: muda dan cerdas. Rasanya kata-kata yang brilian itu baru kemarin terdengar karena begitu populernya, begitu lengket dengan citra diri yang dibangun Syahrul dan Agus.
Dengan menyerahkan benang kusut pungutan di sekolah hanya kepada mekanisme birokrasi rutin, agaknya Sulsel tidak memerlukan pemimpin yang cerdas.
Bahkan, tanpa gubernur pun, mekanisme birokrasi itu tetap bergerak. Tidak perlu pemimpin cerdas, bahkan sama sekali tidak perlu pemimpin.
Ingatlah pada masa pilkada. Ketika itu, gubernur dan wakil gubernur tidak bekerja penuh waktu, lebih sering pergi kampanye terselubung, tapi birokrasi pemerintahan di Sulawesi Selatan tetap berputar.
Ada gangguan, tapi tidak banyak. Sekda, yang mengendalikan organisasi pemerintahan ketika itu, sudah cukup. Surat-surat ditandatangani, seremoni tetap berjalan, upacara tetap meriah, dan instruksi-instruksi tetap berjalan.
Mesin birokrasi sudah berjalan dan sebegitu rutinnya dia akan terus berjalan bahkan tanpa gubernur.
Karena watak, fungsi, dan kewenangannya, sekda adalah birokrat, sedangkan gubernur adalah pemimpin.
Masalah benang kusut pungutan di sekolah saat ini membutuhkan pemimpin, bukan birokrat.
Birokrat menjalankan mesin birokrasi as usual, apa adanya, sesuai intruksi, seperti juklak. Pemimpin melahirkan terobosan. Karena terobosan itulah, antara lain, pemimpin disebut pemimpin, bukan birokrat.
Pada masa kampanye, rakyat menyaksikan terobosan dari pasangan Sayang. Sebagai pejabat yang juga lahir dari keluarga pejabat, karena itu secara alamiah mestinya jauh dari rakyat, Syahrul dan Agus menunjukkan terobosan: mendatangi pasar, memeluk anak kecil di mal, mampir ke warung kopi, dan berjalan kaki sambil menebar senyum dan lambaian tangan di kerumunan rakyat di Pantai Losari.
Ingatlah jingle "Si Kumis dan Si Kacamata" --betapa briliannya. Terkandung di sana makna kesederhaan, kebersahajaan. Pemimpin naik sepeda saja, untuk apa naik mobil mahal yang bensinnya boros. Kalaulah itu benar-benar nyata, itulah substansi lain dari kepemimpinan: memberi teladan.
Rakyat tentu bertanya-tanya, ke mana gerangan semua itu? Mana citra diri yang hilang itu: bukan cuma pemimpin biasa, tapi pemimpin cerdas yang kaya ide dan kaya terobosan.
Belanda bermain sangat luar biasa ketika memulai kampanye di Euro 2008 dengan mengalahkan Rumania 2-0, Italia 3-0, dan melumat Perancis 4-1. Mereka menunjukkan kepemimpinan di lapangan hijau sehingga semua orang yakin, Belanda memberikan harapan.
Ketika kemudian takluk 3-1 dari tim yang tidak diunggulkan, Rusia, pencinta sepakbola kaget luar biasa. Tapi mereka yang mengerti bola mengetahui bahwa Belanda yang dikalahkan Rusia bukanlah Belanda yang menghancurkan Rumania, Italia, dan Perancis. Belanda yang bermain melawan Rusia adalah Belanda yang bermain buruk dan kebingungan.
Dalam tiga bulan ini, rasanya publik Sulsel melihat Syahrul dan Agus sama saja dengan pejabat lainnya, tenggelam dalam rutinitas, seremoni, dan upacara. Syahrul dan Agus yang sekarang bukanlah "Si Kumis dan Si Kacamata" di masa kampanye.
Pak Syahrul dan Pak Agus, masih terbentang waktu yang luas untuk menemukan diri dan karakter yang hilang. Belanda harus menunggu tahun 2012, tapi Syahrul dan Agus masih punya waktu sekitar lima tahun. Bung, Sulsel menunggu pemimpin, menunggu terobosan. ***
Berikut adalah berita Tribun Timur, Makassar, terkait reaksi Syahrul mengenai pungutan di sekolah.
Link: http://www.tribun-timur.com/view.php?id=88026
Rabu, 16-07-2008
Syahrul Mengancam, Pungutan Sekolah Jalan Terus
Jelang 101 Hari Kepemimpinan Syahrul-Agus
Pada 18 Juli nanti, Syahrul Yasin Limpo dan Agus Arifin Nu'mang genap 101 hari memimpin Sulawesi Selatan (Sulsel).
Target 101 hari di awal kepemimpinan Syahrul-Agus ini dicetuskan sendiri oleh keduanya pada 8 April lalu.
Di masa ini, Syahrul-Agus menjanjikan akan menuntaskan beberapa hal misalnya, persiapan program andalan mereka, pendidikan dan kesehatan gratis.
Berikut catatan Tribun yang kedua jelang 101 hari kepemimpinan Syahrul-Agus:
GUBERNUR Sulawesi Selatan Syahrul Yasin Limpo kembali mengeluarkan ancaman bagi pejabat di lingkup Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan (Sulsel) yang tidak sungguh-sungguh menjalankan programnya.
Kali ini yang menjadi sasaran tembak adalah para pejabat lingkup pendidikan nasional.
Usai menjadi inspektur upacara memperingati Hari Lingkungan Hidup di Lapangan Upacara Kantor Gubernur Sulsel, Selasa (15/7), Syahrul mengeluarkan ancaman kepada para kepala sekolah yang berani menarik dana dari orang tua siswa dan pelajar di Sulsel.
"Saya sepakat dengan bupati/wali kota yang akan menindak kepala sekolah, guru, dan wali kelas yang coba-coba menarik pungutan di tingkat pendidikan dasar. Masih banyak orang yang bisa menjadi kepala sekolah dan ingin mengabdi," kata Syahrul kepada wartawan di Kantor Gubernur Sulsel.
Menurutnya kepala sekolah dan guru akan dikenakan sanksi sesuai dengan PP nomor 30 tahun 1980 yakni penundaan kenaikan pangkat hingga pembebastugasan dari jabatan.
"Secara bertahap, pungli sudah disadari oleh pihak sekolah dan orangtua bahwa hal tersebut tidak benar. Jangan cederai kepentingan masyarakat untuk kesenangan sesaat saja," tegas Syahrul.
Pernyataan bernada ancaman ini bukan sekali ini saja diucapkan oleh mantan Bupati Gowa dua periode ini.
Dalam beberapa kali kesempatan, Syahrul juga pernah mengancam pejabat-pejabatnya yang tidak bisa berakselerasi dengan dirinya.
Ia mengatakan bahwa dirinya membutuhkan pejabat yang bisa berlari kencang seperti kuda.
Karena ia akan mengejar ketertinggalan Sulsel dibandingkan daerah lain.
"Bagi pejabat yang mengatakan bahwa pendidikan dan kesehatan gratis susah dilakukan, lebih baik mundur saja sebelum dimundurkan. Saya tidak suka pejabat seperti ini," kata Syahrul ketika berbicara di Kantor BKKBN Sulsel beberapa waktu lalu.
Pada tanggal 10 Juni lalu, Syahrul juga mengeluarkan surat edaran yang ditujukan kepada para pejabatnya agar tidak keluar Sulsel tanpa seizin dirinya.
Syahrul menyarankan agar para pejabat tersebut lebih banyak ke daerah-daerah untuk memantau hasil kerja.
Meski bukan dalam bentuk ancaman secara langsung, namun surat edaran itu terbukti efektif mengurangi anggaran perjalanan dinas para pejabat ke luar Sulsel, utamanya ke Jakarta dan daerah-daerah lainnya di Indonesia.
Kondisi Lapangan
Sayangnya, di lapangan, para kepala sekolah seperti tak memiliki gubenur.
Mereka tak memperdulikan ucapan Syahrul. Lihat saja, nyaris seluruh sekolah negeri di Makassar menarik pungutan yang luar biasa besar bagi siswa atau murid baru.
Jumlahnya cukup fantastis karena sudah berada di angka Rp 4 juta sampai Rp 5 juta per siswa.
Dalih menarik pungutan biasanya untuk biaya pembangunan sekolah, pakaian sekolah, atau perlengkapan pelajaran.
Padahal, item-item tersebut sebenarnya sudah digratiskan Syahrul- Agus.
Artinya, pemprov sudah mempersiapkan dana bagi sekolah-sekolah agar tak memungut lagi biaya dari orangtua siswa.
Meski dana tersebut belum sampai, bukan alasan bagi sekolah untuk menarik pungutan.
Gara-gara pungutan ini pula, sejumlah orangtua mengaku tak bisa menyekolahkan anaknya padahal sudah lulus dalam seleksi penerimaan siswa baru.
Berita Terkait:
* Sulsel Kalah dari Papua
* Pungutan di Sekolah di Gowa
No comments:
Post a Comment