Wednesday, July 2, 2008

Om Valens Doy

http://bechipersda.blogspot.com/2007/09/in-memoriam-valens-g-doy-jumat-29-april.html

Ini tulisan Mas Becki (Achmad Subechi, sekarang Pemred Tribun Kaltim) tentang Om Valens (Valens Doy).

Om Valens dikenal luas sebagai mantan wartawan Kompas, pendiri beberapa surat kabar, dan wartawan senior yang dihormati.

Buat kami di Persda, Om Valens adalah orang tua dan guru. Beliau sangat bijaksana, sabar, dan telaten membagi ilmu dan mendidik wartawan.

Secara pribadi, saya berutang pada Om Valens karena ketika menjadi Pemimpin Redaksi Surya, Surabaya, beliaulah yang ngotot mendorong Persda agar mengirim saya ke Irak.

"Anda harus siap sebagai wartawan multimedia," begitu ia berpesan pada saya. Saya diminta latihan sebagai reporter TV, radio, sekaligus surat kabar.

Itulah memang yang saya lakukan selama tiga bulan bertugas di Timur Tengah (Jordania, Mesir, dan Bagdad) menjelang, pada saat, dan setelah Perang Irak (awal 2003).

Sepulang ke Tanah Air, saya ditugaskan Pak Herman (Herman Darmo, Dirkel Persda), bersama Pak Centri (Centrijanto) dan Om Sjamsul (Sjamsul Kahar) ke Makassar. Di sini, saya membantu Pak Uki (Uki M Kurdi) mempersiapkan berdirinya koran baru, Tribun Timur.

Ketika itu, 2003, Om Valens sudah dalam kondisi fisik yang tidak prima lagi. Ia beberapa kali sakit. Kendati begitu, ia tetap membagi ilmu jurnalistik kepada calon-calon wartawan dan calon redaktur Tribun Timur pada masa-masa pelatihan.

Saya sendiri, sebagai calon Redaktur Pelaksana Tribun Timur, dipanggil khusus ke hotelnya. Di sana ia menjelaskan panjang lebar mengenai hakikat surat kabar, bagaimana menulis dan menyajikan berita, dan bagaimana memimpin organisasi redaksi.

Ilmu itu sangat berguna. Saya merasa sangat beruntung bisa mendapatkan ilmu dari beliau secara langsung.

Saya menyesal tidak sempat ke Bali ketika beliau menghembuskan napas yang terakhir. Om Vallens, ilmu yang berguna selalu dikenang. Manusia mati meninggalkan ilmu. Ilmu yang diwariskan tetap hidup, kapanpun, kendati guru sudah meninggal. Semoga damai di alam sana.



Senin, 2007 September 24

In Memoriam Valens G Doy

JUMAT, 29 April 2005 tepatnya pukul 21.30 Wib malam lelaki setengah baya itu masih sempat meneleponku. "Apa you masih di Jakarta?" sapanya dengan lembut. Setelah bertanya kesana kemari, aku balik balik bertanya, "Apa Om... Valens saat ini ada di Jakarta?" "Iya... kebetulan Om bersama teman-teman dimintai bantuan untuk menerbitkan korannya RCTI bersama teman- teman. Ya banyak teman-teman lama yang bergabung kembali seperti Nanik Deyang, Heriyanto Prabowo, Azrul dan lain-lain," katanya.

SEBELUM menutup teleponnya, Valens G Doy, nama lengkapnya sempat berpesan agar saya berhati-hati dalam masalah keuangan. "You kan sudah ngambil rumah. Udah enggak usah macam-macam lagi. Tolong uangnya dihemat betul. Kasihan anak-anak...," pesannya.

Sesampainya di rumah aku sempat merenung, ada apa Om Valens memberikan nasihat seperti itu. Padahal selama ini antara saya dengan dia sudah cukup lama tidak saling kontak. Maklum, Om Valens, mantan Direktur Persda yang pertama dan mantan wartawan senior Kompas lebih banyak tinggal di Denpasar, Bali.

Minggu, 1 Mei 2005, beredar SMS yang isinya menyebutkan bahwa Om Valens dalam keadaan kritis dan kini sedang dirawat di RS Sanglah, Denpasar Bali. SMS itu dikirim dari mantan anak buah sekaligus murid-murid Om Valens yang saat ini bekerja di hampir semua media cetak dan elektronik yang ada di Jakarta maupun di kota-kota lain. Malam itu juga aku mencoba menghubungi istrinya.

Suara istrinya terdengar agak parau. Kata sang istri, suaminya memang baru pulang dari Jakarta hari Minggu yang lalu. Setelah itu tiba-tiba terkena serangan jantung. "Saya mohon bantuan doanya ya...," katanya.

Selasa, 3 Mei 2005 sore, ada SMS yang masuk ke HP saya. Isinya, kondisi Om Valens sudah mulai membaik, tapi ia belum bisa bicara. Tapi tak lama kemudian datang lagi SMS. Kali ini cukup mengagetkan, kondisi Om Valens droup lagi, mohon doanya. Sejak saat itu, ratusan SMS beredar kemana-mana khususnya di jaringan wartawan yang ada di Ibu Kota.

Nanik Deyang, orang dekat Om Valens yang sudah terbang ke Bali aku hubungi via telepon. "Om... kondisinya sedang kritis....," kata Nanik sambil menutup teleponnya. Setelah itu aku coba hubungi Om Dammy, Pemimpin Umum Pos Kupang. Dari gagang telepon terdengar suara orang menangis. Ternyata Om Valens, guru jurnalistik kami selama bertahun-tahun telah pergi menghadap Yang Maha Kuasa.

Ia meninggal tepat pukul 22.18 Wita di RS Sanglah, Denpasar, Bali akibat serangan jantung. "Dokter yang merawatnya sempat memberikan bantuan pernafasan, tapi akhirnya tak bisa berbuat apa-apa lagi. Mas Valens telah pergi meninggalkan kita," kata Om Dammy, sedikit terisak.

***

BAGI kami Om Valens bukan hanya dikenal sebagai wartawan senior. Ia adalah figur wartawan yang smart, punya intelektual lebih, dan telah mencetak kader-kader handal di dunia kewartawanan. Ketika menjadi wartawan Kompas, namanya cukup berkibar karena ia sangat piawai dalam menulis olah raga.

Selain itu, Om Valens juga dikenal sebagai penulis ekonomi. Pengalamannya di dunia jurnalistik itulah yang kemudian ia bagi-bagikan kepada wartawan-wartawan muda di Indonesia tanpa sekat atau batas. Ia amat tulus dalam memberikan ilmu jurnalistik kepada siapa saja.

Pernah suatu hari, saya bersama Dahlan –sekarang Wapemred Tribun Timur-- dipanggil Om Valens. Dahlan datang ke rumah petak saya sekitar pukul 02.00 dinihari. "Om Valens minta saya menjemput Mas Bechi. Ini perintah dari guru kita. Kalau Mas Bechi enggak mau saya enggak jadi berangkat ke Hotel Santika," kata Dahlan.

Malam itu juga dengan mobil butut kepunyaan Dahlan, kami berdua berangkat ke Santika. Celakanya, ketika tiba di samping gedung Gramedia Palmerah, mobil butut itu kehabisan bensin. Dahlan lalu saya minta beli bensin eceran dengan botol air mineral, sedangkan saya menunggu di mobil.

Dini hari itu juga, kami berdua menepati panggilan Om Valens di Hotel Santika. Setelah bertemu di hotel Santika, Om kemudian mengajak kami naik taksi ke Hotel Indonesia. Di sana kami diajak makan lebih dahulu. Setelah itu ia kembali mengajarkan ilmu-ilmu jurnalistiknya hingga pagi hari.

Pengalaman membagikan ilmu seperti itu bukan hal yang baru di mata para muridnya. Misalnya, suatu hari ketika ia di Jakarta, lagi-lagi Dahlan diminta menjemputku dan disuruh menunggu di Mie Gajah Mada yang ada di belakang Sarinah, Jakarta.

Kali ini, Om Valens meminta maaf karena ia tidak bisa menepati waktu. "Silakan kalian masuk ke Mie Gajah Mada dan makan sepuas-puasnya, nanti Om akan kesana karena Om masih menunggu mobil," pesannya. Karena kami berdua tak memegang uang, kami akhirnya nongkrong di warung kopi selama berjam- jam sambil menunggu Om Valens. Setelah bertemu dan diajak makan, kami kemudian diajak ke kantor Majalah Prospektif, di gedung birunya Probosutedjo. "Ini kantornya Nanik Deyang. Kita pinjam dulu ruang rapatnya," katanya.

Di ruang rapat itulah, kami berdua di breifing mengenai rencana kepergian Dahlan ke Irak untuk meliput perang. Tidak hanya dari sisi politik, sosial dan ekonomi saja yang harus digarap Dahlan jika ia berangkat ke Irak, tetapi soal urusan bagaimana cara mengurus paspor dan mentransfer uang juga ia ajarkan.

"Bung Dahlan... ini Om belikan kamus Bahasa Arab, mohon dipelajari biar Anda tidak mengalami masalah di Irak. Mas Bechi tolong urus semua kebtuhan dia sebelum berangkat ke Irak," katanya. Esoknya, ketika saya bertemu di kantor, Dahlan sudah mulai berbahasa Arab sambil memegang kamus.

***

PENGALAMAN paling berkesan saat bekerja dengan Om Valens adalah semangatnya dalam mendidik wartawan amat keras. Terus terang saja banyak wartawan muda yang terkaget-kaget ketika harus bekerja dengan dia. Saya sendiri pernah diancam akan dipecat alias dicopot dari jabatan Kepala Biro Persda jika tidak bisa melakukan wawancara khusus dengan mantan KSAD Jenderal R Hartono. "Jika besok Om tidak melihat wawancara Anda, kamu akan saya pecat," katanya. (pengalaman mewawancarai R Hartono akan ditulis tersendiri)

Soal ancaman pecat memang berkali-kali disampaikan Om Valens kepada saya. Justru dengan cara-cara seperti itu semangat profesionalisme teman-teman semakin tinggi. Di mata Om Valens, tidak ada sesuatu yang tak bisa dikejar kalau kita memang sungguh-sungguh untuk melakukan investigasi.

Valens juga sangat temperamental. Ia mudah marah, tetapi juga cepat melupakannya jika orang yang melakukan kesalahan kepadanya meminta maaf. Ia pun mudah meminta maaf jika menyadari bahwa dirinya melakukan kesalahan.

Itulah Valens. Ia selalu mempunyai cara sendiri dalam menunjukkan perhatiannya. Meskipun caranya itu tidak selalu dipahami oleh orang-orang yang berhubungan dengannya. Sebagai seorang wartawan, Valens sangat istimewa. Laporan dan tulisannya selalu menarik dibaca. Lewat laporannya ia tidak hanya menuliskan hasil dan jalannya pertandingan saja, ia juga mencoba merangkum suasana pertandingan serta emosi pemain dan penonton ke dalam laporannya. Dengan demikian, orang yang membaca laporan atau tulisannya serasa "ditarik" ke pertandingan yang dilaporkan atau dituliskannya. Ia selalu memperoleh Adinegoro, penghargaan tertinggi di bidang jurnalistik, jika ia mengikutsertakan laporan atau tulisannya dalam lomba penulisan untuk wartawan.

Kini sang guru yang pernah berjuang mendirikan Harian Surya dan Persda itu telah pergi. Semoga amal ibadahnya diterima Tuhan. Selamat jalan guru..... Kami selalu merindukanmu dan siap mengamalkan semua ilmu yang pernah engkau ajarkan kepada mereka-mereka yang benar-benar serius menjadi wartawan.... (achmad subechi)

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...