Ask the Tribun Timur Editor
Lebih dari sepekan saya tidak mengupload blog ini. Mohon maaf. Selama hampir sepekan, 26-31 Oktober 2008, saya di Amsterdam, Belanda, mengikuti IFRA Expo 2008.
Penerbangannya meletihkan, total 16 jam, acaranya pun padat, dari pukul 10.00-16.30. Tulang rasanya mau patah karena terus-menerus duduk.
Berikur saya posting laporan saya.
Catatan dari IFRA Expo 2008 (1)
Antusiasme Mengikuti Trend Industry Pers Dunia
Laporan
Wartawan Tribun Timur,
Dahlan,
dari Amsterdam,
Belanda
AMTERDAM RAI. Ruang pameran (eksebisi) berskala internasional ini sebenarnya mirip saja CCC di Makassar, cuma lebih rapi dan bersih serta interiornya lebih elegan.
Di ruang pameran itulah, selama empat hari (27-30 Oktober), para pemimpin media massa dari berbagai penjuru dunia menghadiri pameran IFRA (IFRA Expo 2008) dan berdiskusi dalam forum focus session, membahas trend terbaru di bisnis media massa.
IFRA Expo 2008 berlangsung pada masa yang suram. Krisis keuangan global mengancam semua bisnis, tidak terkecuali industri pers.
Krisis keuangan global itu menambah beban industri pers cetak. Biaya produksi terus melejit. Dengan kurs dolar di atas Rp 10 ribu, harga kertas koran tentu saja semakin mahal, sementara daya beli pembaca terus menurun. Menaikkan harga tentu saja bukan pilihan yang bijaksana.
Sudah begitu, surat kabar terhimpit gaya hidup masyarakat yang semakin senang mendengar dan menonton, bukan membaca.
Mereka yang senang membaca pun tidak lagi melulu membaca koran, melainkan membaca secara online. Koneksi internet nirkabel gratis memenuhi kebutuhan masyarakat kita yang ingin mendapatkan sesuatu tanpa perlu membayar.
Bagi pengelola surat kabar, tantangan-tantangan tersebut harus dijawab dengan mendefinisikan ulang apa yang dimaksud berita, bagaimana cara menyajikannya, serta bagaimana cara mendistribusikannya.
Ke dalam itu semua, kita berbicara tentang teknologi dan business process (di percetakan maupun editorial processes, di divisi sirkulasi, promosi, maupun iklan).
Tentang cara mendistribusikan berita, surat kabar mendapat tantangan baru dengan munculnya berbagai platform yang tidak hanya kertas, tapi juga handphone dan komputer. Ini memang era tidak hanya multimedia tapi juga multiplatform. Era yang bukan hanya newspaper tapi juga newsmedia.
IFRA Expo menarik buat saya karena tema-tema tersebut menjadi bahasan dalam focus session. Ini forum mencakup tema yang begitu luas. Setiap tema tersedia pendalaman, bahkan masuk ke soal-soal yang sangat teknis yang menjawab how to, bagaimana caranya, dan berapa harganya.
Peserta pameran datang menawarkan business solution baik di bidang editorial (redaksi), maupun di bidang sirkulasi, iklan, dan percetakan.
IFRA mengambil tema “Newspaper Today” untuk membedah apa masalah surat kabar di berbagai belahan dunia. Dengan mengetahui masalahnya, kita tahu cara mengatasinya.
Sebagai pemimpin redaksi Tribun Timur, saya diutus oleh pimpinan PT Indopersda Prima Media, divisi koran daerah Kompas Gramedia, menghadiri pameran tersebut.
IFRA, penyelenggara pameran, merupakan lembaga riset tingkat dunia yang memfokuskan diri pada industri media massa. Fokus mereka pada surat kabar, majalah, online, TV, dan radio.
Beranggotakan 3.100 orang pengambil keputusan (decision makers) di industri pers dari 80 negara, IFRA dibentuk 1961. Kantor pusatnya di Darmstadt, Jerman.
PT Indopersda, divisi koran daerah Kompas yang menerbitkan Tribun Timur dan koran-koran daerah Kompas lainnya, merupakan anggota IFRA.
Peserta pameran dari ratusan industri pers terkemuka di dunia, sebagian terbesar dari Eropa, mulai dari percetakan hingga business solution di bidang IT. Majalah katalog peserta pameran saja dicetak setebal 159 halaman.
Adapun focus session dihadiri pengelola pers dari berbagai negara di dunia. Ada yang berasal dari Rusia, Kanada, Amerika Serikat, Uni Emirat Arab, Cina, dan Jepang. Sebagian besar dari Eropa, termasuk dari negara yang paling maju industri persnya, Inggris. Nigeria dan Afrika Selatan mewakili benua Afrika.
Hanya delegasi dari Kompas Gramedia yang berasal dari Indonesia. Selain saya, Kompas Gramedia mengirim Mas Dito (Ignatius Adriyanta Wibawa), pimpinan baru di percetakan PT Antar Surya Jaya, penerbit harian Surya, Surabaya.***
Catatan dari IFRA Expo 2008 (2)
Mahalnya Ilmu Mengelola Surat Kabar
KAMI tiba di Amsterdam tanggal 27 Oktober pagi, setelah melewati 12 jam penerbangan yang meletihkan dari Jakarta transit di Kualalumpur, Malaysia, beberapa jam sebelum IFRA Expo dibuka.
Cuaca sangat dingin. Di pagi itu, suhu drop sampai sekitar lima derajat. Udara dingin menusuk sampai ke tulang.
Untung, sebelumnya teman di Belanda mewanti-wanti agar membawa jaket tebal. “Jangan lupa bawa syal,” katanya. Saya lupa bawa syal dan manakala udara dingin menusuk leher, saya ingat pesan kawan ini.
Sedianya kami tiba tanggal 26 Oktober, sehari sebelum acara dibuka. Masalahnya visa baru keluar pada menit-menit terakhir. Sejak terorisme menghantui dunia, Belanda, seperti Negara Eropa lainnya, sangat pelit mengeluarkan visa. Kamilah salah satu korban hantu tersebut.
“Please, ajukan tiga minggu sebelumnya,” begitu kata petugas bagian visa di Kedubes Belanda saat wawancara setelah mengisi formulir. Kami mengajukan visa hanya dua pekan sebelum berangkat.
Dia galak sekali. Untung dia cantik, Indo. Rambutnya panjang, wajah lancip, dengan bibir yang tipis. Mirip Ira Kusno saya kira. Kadang-kadang, sambil berkata dengan nada yang sangat tegas, dia melemparkan senyum, senyum yang indah.
Manis wajahnya mengalahkan sikapnya yang keras pada aturan dan melupakan posisinya sebagai pegawai yang melayani tamu negaranya.
Saya kadang bertanya dalam hati, pertanyaan yang tidak memerlukan jawaban: Bukankah Belanda sudah lama pergi dan Indonesia sudah merdeka?
Di sebelah saya, seorang wanita dibentak-bentak hanya karena tidak bisa memberikan jawaban mengenai beberapa item di formulir permohonan visa. Saya kira pegawai itu memperlakukan si wanita muda itu hanya karena tampangnya yang mirip calon TKI. Seolah dengan itu mereka mendapatkan hak untuk merendahkan martabat manusia.
Beberapa kali kami bolak-balik ke kursi antrean untuk menunggu proses visa. Satpam kedutaan, seorang wanita Indonesia, dengan tubuh mirip petinju lalulalang tanpa senyum sama sekali. Seolah-olah kalau dia memberikan sedikit senyum saja dia akan kehilangan seluruh harta bendanya.
Nama kami dipanggil. Segera kami menuju tempatnya, yang dipisahkan oleh kaca. Dia berbicara melalui telepon: “Saya tidak bisa memastikan apakah Anda mendapatkan visa atau tidak. Tunggu saja.”
Dia berusaha tersenyum, tapi saya tahu, ketidakpastian itu membutuhkan biaya besar. Apakah kami harus mem-booking hotel, membeli tiket pesawat, membayar biaya registrasi IFTA Expo? Itu semua membutuhkan biaya puluhan juta rupiah. Dan keputusan adalah ambil risiko itu, bayar semuanya.
Risiko itu harus diambil karena bisnis modern membutuhkan kepastian. Kepastian adalah agamanya. Untuk mengikuti pameran dan focus session di IFRA Expo, biaya registrasi harus dikirim lebih dulu.
Satu sesi mahal sekali bayarannya. Ada yang tarifnya 500 euro atau lebih dari Rp 5 juta. Padahal, untuk bisa mendapatkan informasi terbaru mengenai trend di bidang industry pers dunia, peserta setidaknya harus mengikuti empat sesi.
Satu sesi yang berlangsung 4-5 jam sama mahalnya dengan biaya mengikuti kursus singkat manajemen di lembaga paling mahal di Indonesia.
Mahal nian “sekolah surat kabar”, batin saya. Tapi kemudian saya sadar: Memang mahal harganya memenuhi kebutuhan pembaca surat kabar.
Panitia IFRA sama sekali tidak mau pusing dengan peserta. Biaya hotel, transportasi, termasuk registration fee yang mahal dibebankan kepada peserta.
Take it or leave itu. IFRA sudah begitu kuat reputasinya sehingga biaya yang mahal sama sekali tidak menjadi halangan bagi ribuan peserta yang ingin meng-update pengetahuannya mengenai trend terbaru di industry pers.
Pelaku industry pers juga tidak segan-segan merogok kocek dalam untuk menjadi peserta pameran. Maklumlah, audiens pameran internasional itu merupakan para pengambil keputusan atau minimal utusan para pengambil keputusan di bidangnya masing-masing.***
Catatan dari IFRA Expo 2008
Mengikuti Trend Surat Kabar (3)
SAYA lihat daftar hadir peserta focus session pertama dengan tema utama “Business and Management”. Pesertanya memang berkelas.
Saya misalnya bertemu dengan Suresh Babu Manghat. Pria India yang bertubuh besar ini merupakan manajer produksi di Arab Media Group, kelompok penerbitan yang berbasis di Abu Dabi.
“Saya orang India, tapi saya bekerja di Abu Dabi,” katanya memperkenalkan diri setelah kami berbincang dengan Kerry J Northrup, Direktur Publikasi IFRA yang memandu focus session pertama.
Ada juga CEO Telerama dari Perancis, Yann Chapellon. Dari Jerman cukup ramai, ada enam orang.
Al Ahram, koran Kompas-nya Mesir, juga mengirim pimpinannya ke ajang ini. Dari Amerika Serikat ada Senior Vice President Daily News Digital.
Rusia mengirim dua orang. Salah satunya Vsevolod Pulya dari Rossiskaya Gazeta, Ph. Dia direktur online dan digital content.
Pulya termasuk yang paling bersemangat ketika Gayle Grin, seorang wanita Kanada yang ahli design, mempresentasikan koran mahasiswa Rusia yang merebut gelar best design dari Society of News Design (SND). Di organisasi itu, Grin menjadi presiden.
Sehari-hari ia bekerja sebagai Managing Editor/Design & Graphics National Post, koran harian terbitan Kanada yang juga merebut gelar “best design” dari SND.
Dalam diskusi sempat muncul nama Mario Garcia, ahli redesign dari Amerika Serikat. Dia merancang redesign koran bisnis terkemua dunia, Wall Street Journal.
Nama Mario Garcia sempat muncul di Indonesia ketika melakukan redesign harian Kompas, koran terbesar di Indonesia.
***
BUAT saya, inilah kali kedua ke luar negeri tidak sebagai wartawan, melainkan sebagai pengelola surat kabar.
Saya tiga bulan meliput di Timur Tengah dalam perang Irak (ke Bagdad, Kairo, dan Jordania). Pernah sepekan di Singapura, terus Kuala Lumpur bahkan ke kampung kecil di Keningau, Malaysia Timur, ketika meliput banjir bandang yang menewaskan ratusan warga Toraja.
Pernah juga ke Pohang, Korea Selatan, untuk liputan PSM melawan Pohan Atoms dalam Liga Champions Asia.
Sebagai wartawan saya beruntung pernah ke Shanghai dan Shenzhen, Cina, juga ke Hongkong. Ketika itu meliput kunjungan Wakil Presiden Jusuf Kalla dan penandatanganan kerja sama Bosowa Group dan perusahaan Cina untuk proyek listrik Jeneponto.
Kunjungan pertama bukan sebagai wartawan adalah ketika PT Indopersda memberikan hadiah kepada Tribun Timur sebagai koran terbaik tahun 2007. Terbaik dari sisi financial perspective, business procces, dan learn and growth.
Itu merupakan parameter-parameter modern untuk mengukur kinerja perusahaan yang diperkenalkan Kompas Gramedia tahun lalu.
Hadiahnya liburan ke Shenzhen dan Hongkong. Kami menikmati liburan sepekan itu bersama Mas Cipto (Ciptyantoro, pemimpin perusahaan) dan Hasanuddin Hasma (pemimpin umum).
***
Kunjungan ke Amsterdam untuk IFRA Expo sama sekali bukan liburan. Jadwal acaranya sangat padat, dari pukul 10.00 sampai pukul 16.30 sore hari.
Sudah begitu, Om Herman (Herman Darmo, bos tertinggi PT Indopersda) memberikan tugas sebelum berangkat.
“Anda harus siapkan presentasi untuk koran-koran kita,” begitu beliau berpesan. Saya tahu arti pesan itu: Saya harus serius mengikuti seluruh focus session dan pameran untuk memaparkan seluruh trend strategis di industry pers, baik dari sisi editorial, iklan, maupun sirkulasi. Urusan percetakan bagiannya Mas Dito.
Tentu saja ini misi yang berat mengingat keterampilan saya yang sedikit ini hanya di bidang redaksi (editorial). Tapi bagaimanapun, saya bersemangat, karena saya ingin memastikan bahwa masyarakat pembaca Tribun Timur di Makassar menikmati surat kabar yang mengikuti trend surat kabar dunia.
Saya mengikuti presentasi Urs Gossweiler, CEO Gossweiler Media AD yang berbasis di Swiss. Pria enerjik ini mengelola kelompok surat kabar yang bertahan tiga generasi.
Dia berteriak ketika kami bertemu seusai presentansi, ketika ia melihat kartu nama saya yang menunjukkan barisan koran-koran daerah yang dikelola Kompas Gramedia.
“Oooo…. You come from Indonesia. How great…,” teriaknya sembari menjabat tangan saya erat-erat. Dia senang mendengar Indonesia karena dalam kenangannya, ia pernah berbicara dalam seminar pers Asia-Pasifik yang digelar PAMPA di mana delegasi Indonesia adalah salah satu pesertanya.
Dia lebih senang lagi ketika saya menunjukkan koran-koran daerah Kompas Gramedia. Buat dia, koran daerah adalah masa depan industry pers.
“Masyarakat membutuhkan berita internasional dan berita nasional. Tapi tetap saja, berita lokal adalah berita yang paling menarik,” kata Gossweiler, yang menampilkan presentasinya tentang All Business is Local dengan lebih 40 slide.
Koran lokal, kata Gossweiler, menyajikan berita lokal lebih dalam –sesuatu yang sulit dilakukan koran nasional, apalagi koran internasional.
Ia juga bilang, koran lokal melakukan penetrasi lebih dalam dibanding koran manapun.
Gossweiler orangnya hangat. Ketika kami akan berpisah, ia meminta stafnya, seorang wanita tinggi langsing, untuk mengambil gambar kami.
“Ini pasti akan menjadi kenang-kenangan yang indah,” katanya sambil berjanji akan mengirimkan saya email mengenai koran lokal.***
halooo slam kenal tukeran link yukkk
ReplyDeletePolished golden brass metallic pieces greatly match with the gorgeous patent leather. Metal plate with the replica handbags signature on the flap is telling us that the exquisite purse is from replica bags . With the press stud closure, designer replica handbags is measured at 9.4" x 4.7" x 1.2". For a dinner or party, the size is just right. Moreover, it has inside space for six credit cards and a zippered pocket for small change or other accessories. With removable strap made of gold brass chain and patent leather, designer handbags can be hand-held or carried on the shoulder.
ReplyDeleteLaporan II World Media Summit di Moskow, Rusia, 5-78 Juli 2012
ReplyDeletehttp://www.tribunnews.com/topics/ii-world-media-summit