Showing posts with label Laporan Dahlan dari Cairo. Show all posts
Showing posts with label Laporan Dahlan dari Cairo. Show all posts

Thursday, July 3, 2008

Laporan Jurnalistik, dari Amman ke Cairo

Laporan jurnalistik ini saya buat setiba di Cairo, Mesir, dalam penerbangan dari Amman, Jordania, Februari 2003.

Saya ke Cairo untuk mengurus visa ke Irak. Tujuan utama saya ke Timur Tengah memang untuk melakukan liputan jurnalistik mengenai Perang Irak.
Saya membuat catatan ini untuk para redaktur di kantor di Jakarta (Persda) dan Surabaya (Surya):
Catatan: Mulai Senin (10/2), kantor-kantor pemerintah di negara-negara Arab tutup menjelang hari raya Idul Adha. Hari libur sampai Kamis. Tapi karena Jumat dan Sabtu hari libur (seperti Sabtu dan Minggu di Indonesia), maka praktis roda pemerintah baru akan bergerak lagi hari Minggu (16/2). Tulisan ini dimaksudkan untuk mengantisipasi musim paceklik berita.

Salam,

dahlan
Laporan jurnalistik ini tanpa judul. Saya cuma menulisnya "Laporan Perjalanan". Tulisannya panjang. Karena itu, saya berharap teman-teman editor Surya dan Persda dapat memenggal-menggalnya sesuai kebutuhan redaksi. Selengkapnya:
LAPORAN PERJALANAN
“WAH, saya ditanyai banyak orang. Kantor berita asing, termasuk dari Netherland menanyakan tentang Anda.” Begitulah reaksi pertama Dachlan Abdul Hamid, Duta Besar (Dubes) Republik Indonesia untuk Irak ketika saya meneleponnya, Minggu (9/2), dari Cairo, Mesir.
Yang dia maksud tentu saja berita penangkapan Dahlan, wartawan Harian Surya, oleh militer Irak atas tuduhan mata-mata. “Syukurlah, Anda selamat,” kata Kabid Penerangan KBRI Kuwait, Hasan Basri, ketika saya kontak sehari sebelumnya.
Bagaimanapun, berita tentang penangkapan itu membawa hikmah tersendiri. Setiap pejabat KBRI yang saya hubungi, mulai dari Kuwait, Mesir, bahkan Suriah, langsung akrab. “Oh, yang tertangkap itu, ya!” Begitu mereka biasanya merespon, begitu saya memperkenalkan diri sebagai “wartawan Harian Surya”. Itu semua memudahkan saya mendapatkan informasi dari mereka, sesuatu yang amat membantu pekerjaan saya sebagai wartawan.
Sebenarnya, saya meliput (rencana) perang Irak berdasarkan penugasan Persda, Kelompok Koran Daerah Kompas Gramedia Group. Di sini bernaung sembilan surat kabar harian. Yakni, Surya (Surabaya), Serambi Indonesia (Aceh), Sriwijaya Post (Palembang), Banjarmasin Post (Banjarmasin), Bangka Pos (Bangka), Metro Bandung (Bandung), Bernas (Jogjakarta), Pos Kupang (Kupang), dan Timika Pos (Timika).
Nama Persda tenggelam, karena berbagai pemberitaan, termasuk situs internet yang dengan cepat diakses masyarakat Indonesia di Timur Tengah, menulisnya sebagai “wartawan Harian Surya”.
Sewaktu saya tiba di Cairo, Musthafa Abd Rahman, yang telah menjadi wartawan Harian Kompas di ibukota Mesir ini sejak 1991, memberi kabar pada saya: namamu terkenal di sini. Sewaktu pertemuan mahasiswa Indonesia dengan Dubes Bactiar Aly dan Nana Sutresna, seorang mahasiswa Indonesia menanyakan berita penangkapan Anda.
Pak Mus, begitu saya memanggilnya, adalah calon doctor pemikiran politik Islam dari Universitas Beirut, Lebanon. Sebagai wartawan, ia cukup paham seluk beluk politik Timur Tengah, topik yang ditulisnya hampir setiap hari satu dasarwarsa terakhir. Ia telah menerbitkan beberapa buku tentang Timur Tengah.
Semula, saya mengira Pak Mus mencoba menghibur saya yang letih. Saya baru mendarat di Cairo, lewat Royal Jordanian Air, menjelang tengah malam setelah jadwal penerbangan dua kali delay. Di bandara Cairo, saya sempat tertahan sekitar 30 menit gara-gara diinterogasi oleh petugas imigrasi. Mereka mengira saya TKI yang masuk dengan visa turis.
Semua itu terjawab di Wisma Nusantara. Saya berada di pusat aktivitas mahasiswa Indonesia di Cairo itu setelah Imam Gozali, mahasiswa Universitas Al Azhar, mengundang saya untuk memberi ceramah jurnalistik di depan 10-an kru bulletin Informatika. Buletin ini dipimpin Imam dan dikelola pada mahasiswa Indonesia, hampir semuanya dari Universitas Al Azhar.
Wisma Nusantara berdiri megah diantara apartemen di kota Cairo. Saya baru hendak naik ke lantai atas, ketika Iswan Kurniawan, Sekretaris Umum Persatuan Pelajar Mahasiswa Indonesia Mesir (PPMI) muncul di depan pintu. “Nah, ini dia yang bertanya tentang Anda kepada Pak Dubes,” kata Pak Mus. Iswan tersenyum, sembari mempersilakan kami naik ke tangga ke lantai atas.
Bukan respon tentang berita penangkapan yang membuat saya terkesima. Melainkan foto BJ Habibie, lengkap dengan tulisan “Presiden Republik Indonesia”, masih tergantung di salah satu dinding. Saya ingat, foto Presiden KH Abdurrahman Wahid masih menghiasi dinding kantor DPP PKB di Kuningan, Jakarta. Sedangkan di Makassar, para mahasiswa menurunkan foto Presiden Megawati dan Wapres Hamzah Haz dari kantor-kantor pemerintah.
Di sejumlah negara Arab, seperti Mesir dan Jordania, jalan-jalan selain dihiasi iklan, juga foto diri pemimpin mereka. Di Amman, Jordania, hampir seluruh jalan utama ada billboard yang memajang gambar Raja Abdullah II. Demikian pula gambar Presiden Hosni Mubarak di jalan-jalan Cairo. Gambar-gambar mereka juga dipajang di hampir seluruh kantor, pemerintah maupun swasta.
Pagi hari, sebelum ke Wisma Nusantara, saya ke kantor KBRI. Saya bermaksud mewawancai Nana Sutresna, utusan khusus Megawati untuk menemui Menlu Mesir dan Sekjen Liga Arab di Cairo. Sembari menunggu diplomat senior itu, Pak Amir, staf Bidang Penerangan KBRI, tak lupa bertanya mengenai “kabar dari Irak.” Saya hanya tersenyum.
***
DI Cairo, saya merasa aman. Ini berbeda sekali ketika saya masih di Amman, Jordania. Mencuatnya berita penangkapan saya oleh tentara Irak, yang dilansir berbagai media, termasuk media luar negeri, membuat saya tidak nyaman. Saya merasa, Amman bukan lagi kota yang aman. Saya selalu teringat cerita Jafar Busyiri, wartawan Gatra, yang berbasis di Cairo. Dia ke Arab Saudi, lalu hilang secara misterius. Bisik-bisik bilang, ia ditangkap aparat keamanan lalu mati tanpa kabar berita lagi.
Dari teman-teman mahasiswa di Amman, saya mendengar cerita bagaimana intel Jordania begitu kuat sehingga mampu mengetahui apa saja yang dikejarkan penghuni kota kecil itu. Bila ada pembunuhan, misalnya, secepat kilat pelakunya ditangkap. Mahasiswa takut berdemonstrasi. Masjid-masjid hanya menyiarkan siraman rohani, bukan khotbah politik.
Sebelumnya, saya sudah berurusan dengan tentara Jordania di Ruweished, kota terakhir sebelum perbatasan Jordania-Irak. Petugas militer itu mencatat semua identitas saya. Saya rasa, kalau intel Jordania menginginkan, mereka akan dengan mudah menangkap saya.
Jujur saja, saya ketakutan. Kabel telepon di apartemen saya cabut. Saya tidak ingin ada orang lain yang menelepon ke kamar. Petugas hotel, seorang Palestina, saya wanti-wanti, “Kalau ada yang cari, bilang saja, saya sudah check out.”
Beberapa jam sebelumnya, petugas hotel itu menelepon ke kamar. Ia bilang, “Sir, ada pejabat dari Kedutaan Besar Malaysia ingin bicara dengan Anda…” Menurut dia, si pejabat ingin menanyakan, apakah benar saya sedang meminta visa ke Malaysia.
Gila! Pikir, saya. Mana mungkin saya jauh-jauh ke Timur Tengah hanya untuk mengurus visa ke Malaysia. Saya sedang dalam bahaya, pikir saya.
Saya mondar-mandir di kamar. Setiap detak langkah di luar kamar seolah-olah seperti polisi yang hendak menangkap saya. Pelan-pelan, saya kemasi barang-barang yang penting: laptop, kamera, tape rekaman. Beberapa lembar baju saya masukan dalam tas.
“Saya ingin ke apartemen teman, sebentar,” kata saya seraya menyerahkan kunci apartemen kepada petugas resepsionis. Saya menyetop taksi, lalu kabur ke arah barat. Kemudian, taksi saya perintahkan berbelok, menuju sebuah hotel tak jauh dari apartemen.
Saya memesan sebuah kamar. Petugas resepsionis menahan paspor, lalu meminta saya beristirahat di kamar. “Tidak bisa, Tuan. Paspor Anda harus disimpan di sini,” katanya, ketika saya meminta paspor. Segala alasan saya karang untuk meminta paspor itu. Saya khawatir, dia nanti akan melapor ke intel, dan mengabarkan saya bersembunyi di hotelnya.
Saya menuju lift, ke lantai dua. Kamar hotel itu cukup sempit, tapi kasurnya empuk. Lumayan untuk bisa beristirahat, pikir saya. Begitu merebahkan tubuh sebentar, saya lalu teringat paspor. Saya menelepon resepsionis. Ia tetap tidak mau menyerahkan paspor.
Segera saya turun ke lantai dasar. “Berapa saya harus memberikan uang garansi,” tanya saya dengan nada tinggi. “Saya harus mengurus tiket pesawat, saya butuh paspor.” Okelah, kata dia. Dia menyebut angka, lalu saya menyerahkan lembaran-lembaran Jordanian Dinar (JD).
***
DARI kamar hotel, saya menelepon beberapa travel agent dan kantor maskapai penerbangan. Tujuan pertama saya, Israel. Daerah ini terus bergolak. Hampir setiap hari, ada saja orang Palestina yang mati ditembaki tentara zionis Ariel Sharon.
Dari Jordanian Air, saya dapat kabar kurang menggembirakan. Katanya, penerbangan ke Tel Aviv butuh visa. Saya harus mengurus sendiri di kantor kedutaan Israel di Amman. Butuh waktu beberapa hari.
Saya coba ke Jerusalem, dengan bus. “Siapa yang akan ke Jerusalem dalam situasi begini,” ucap seorang wanita petugas Bisharat, perusahan tour and travel ketika saya hubungi via telepon. Alamatnya saya peroleh dari buku guide Jordan. Seukuran buku saku, guide full colour ini terdapat di hampir semua hotel di Amman. Buku kecil ini, yang dikemas dalam bahasa Arab dan Inggris, sangat membantu orang asing seperti saya.
Israel atau Palestina tertutup. Saya harus mencari jalan agar secepatnya keluar dari Amman. Rasanya seperti neraka saja. Saya benar-benar baru merasa takut. Saya harus segera meninggalkan Amman, apapun caranya. Hanya itu yang terus berputar-putar dalam kepala saya.
Dengan bantuan sopir taksi, Mahmud, saya mencari travel agent. Waktu itu sekitar pukul delapan malam. Banyak kantor travel sudah tutup. Untung, Zaatara Swifyeh masih buka. Tanpa kesulitan, saya mendapat tiket ke Cairo. Take off dari Alia Queen Airport, Amman, pukul 19.35, landing di Cairo pukul 21.05 waktu setempat.
Masalah muncul. Akram, satu-satunya karyawan Zaatara yang masih bertugas malam itu, meminta paspor saya, dan menemukan nama saya cuma satu kata, Dahlan. Akram, sepertinya dia orang Palestina dengan cambang yang dicukur rapi, menanyakan nama keluarga saya. Saya bilang, tidak ada. Nama saya cuma Dahlan. Itulah nama yang diberikan orang tua saya.
Dia tidak puas. Diangkatnya gagang telepon, memanggil seseorang. Ketakutan saya muncul lagi. Saya khawatir, dia menelepon polisi dan mengatakan, “Ini lho Dahlan yang ditangkap tentara Irak itu (dan kemudian bebas)”. Ia berbicara dalam bahasa Arab. Mukanya saya lihat agak tegang. Ketika meletakan gagang telepon, ia kembali bertanya, siapa nama belakang saya. Dia lihat lagi paspor saya, berkali-kali. Tapi memang nama saya cuma satu kata.
Media massa di Indonesia, yang kemudian dikutip penerbitan asing, memberitakan nama saya Muhammad Dahlan. Saya senang, karena dengan itu saya bisa berkilah bahwa saya Dahlan, bukan Muhammad Dahlan. Di paspor nama saya tertulis “Dahlan”, bukan “Muhammad Dahlan”.
Baiklah, kata saya kepada Akram. Orang Indonesia umumnya hanya memakai satu nama. Dua presiden Indonesia hanya punya satu nama, Soeharto dan Soekarno. Akram tampaknya tidak cukup mengenal nama itu. Sebagai orang Palestina, tentu dia lebih mengenal Yasser Arafat.
“Oke, tapi bagaimana saya harus menulis nama Anda di blanko tiket?”
“Tulis saja, Dahlan, dan tidak akan ada masalah.”
“Tapi itu tidak lazim, Tuan.” Rona mukanya memancarkan wajah yang serius. Lalu siapa yang main-main, batin saya. Memang nama saya cuma satu kata, kok! Apakah saya harus mengarang?
Sayang saya lupa tiket Kuwait Airways. Saya datang dari Jakarta ke Amman, dengan transit di Kuwait dan Singapura, dengan tiket tersebut. Hanya satu nama, Dahlan.
Sopir taksi yang mengantar saya sampai ke front desk travel itu ikut menimpali. Si sopir taksi bilang, memang ada ribuan nama Dahlan di dunia. Tapi kan nomor paspornya berbeda-beda. Ah, mungkin dia benar. Tapi Akram tetap tidak yakin. Diangkatnya gagang telepon sekali lagi. Tapi tidak ada yang menyahut deringan telepon di ujung sana.
”Baiklah, Mister Dahlan. Besok pagi, Anda harus menelepon ke sini.”
“Mengapa? Bukankah tiket saya sudah berstatus OK?”
“Ya, tapi saya khawatir Anda akan menemui masalah di bandara. Saya tidak ingin perjalalan Anda terganggu.”
Saya punya paspor, punya visa ke Mesir, punya tiket dengan status OK, lalu masalahnya apa, saya bertanya dalam hati.
Masalah disudahi. Saya minta dia mencantum nama dan nomor telepon kantornya. Kelak, bila ada masalah, saya bisa segera mengontak dia. Kemudian saya lihat, dia menulis nama saya dengan DAHLAN/DAHLAN MR.
***
DI luar, hujan turun disertai salju. Dingin sekali. Mahmud mengantar saya ke hotel. Dia akan menjemput saya besok pukul 13.00 menuju bandara. Saya ingin lebih awal ke bandara, tidak ingin mengurung diri di hotel.
Menjelang tengah malam, saya menelepon apartemen. Saya ingin mengambil sisa pakaian sekalian check out. “Tolong persiapkan bill-nya. Saya akan datang dua jam lagi,” kata saya setelah memperoleh kepastian, “tak ada siapa-siapa di lobi apartemen.”
Pikiran intel saya muncul. Sebelumnya, saya sering membaca cerita-cerita detektif. Saya sengaja bilang dua jam lagi akan datang. Harapannya, kalau petugas berkhianat, dan dia akan melaporkan saya ke intel, mereka akan kecolongan. Saya langsung balik ke apartemen begitu selesai meletakkan gagang telepon.
“Kok cepat. Katanya dua jam lagi,” petugas resepsionis bertanya.
“Oh, tidak. Kebetulan urusan di apartemen kawan sudah selesai.”
Setengah berlari, saya segera ke kamar. Saya kemasi seluruh barang, dimasukan ke dalam tas. Membayar sewa apartemen, lalu kabur secepatnya.
“Saya akan ke Israel,” kata saya kepada petugas apartemen.
Saya naik taksi, putar-putar, sebelum menuju hotel. Ini cara mengelabui musuh, pikir saya.
Pukul 12.00 keesokan harinya, saya menuju bandara. Tidak lupa saya menitip uang 1,5 JD (sekitar Rp 20.000). “Tolong berikan uang ini kepada Pak Mahmud, sopir taksi. Saya sudah janjian, dia akan menjemput saya satu jam lagi,” kata saya kepada petugas resepsionis. “Katakan, saya mohon maaf, terpaksa berangkat lebih dahulu karena harus ke apartemen teman dulu. Mungkin saya batal ke Cairo.”
Dengan taksi, saya menuju kantor Royal Jordanian Air. Nama sopir taksinya Abu Bakar, seorang Palestina. Dia kenal banyak tentang Indonesia, Megawati, bom Bali, bahkan Ustad Abu Bakar Ba’asyir dan mantan Panglima Laskar Jihad Jafar Umar Thalib.
“Hidup ini tidak hanya untuk makan. Saya juga menonton berita,” kata dia. Tahun 1967, ketika tentara Arab kalah melawan Israel, keluarga Abu Bakar meninggalkan tanah airnya menuju Kuwait. Sampai tahun 1991 di sana sebelum kabur lagi ke Jordania.
“Orang Palestina di Kuwait mendukung Paman Saddam ketika Irak menduduki Kuwait. Setelah Paman Saddam kalah, kami semua, sekitar setengah juta orang Palestina, angkat kaki dari Kuwait ke sini,” kata Abu Bakar sembari tertawa terbahak-bahak. Dia bercerita tentang Kuwait, karena saya bilang, akan terbang ke Kuwait. Padahal saya menuju Cairo.
Di kantor Royal Jordanian, saya mendapat kepastian, status tiket saya OK. Juga tidak ada masalah dengan nama saya yang cuma satu kata. “Tanpa nama keluarga tidak masalah, Pak, meskipun aneh. Di Arab, nama orang minimal terdiri atas dua kata, bahkan banyak yang tiga,” kata petugas, seorang laki-laki bercambang lebat. Dia memakai switer karena kedinginan di ruangan yang tanpa pemanas udara.
***
SAYA mulai tenang ketika tiba di Alia Queen Airport. Paling tidak, saya sudah selamat meninggalkan kota Amman. Masih ada satu tahap lagi yang berat, yakni pada proses boarding dan pemeriksaan paspor di imigrasi. Tapi okelah, setidaknya sudah sampai di bandara. Cairo rasanya semakin dekat.
Abu Bakar berulah. Dia minta saya membayar 15 JD (sekitar Rp 195.000). Padahal, sesuai argo, saya hanya perlu membayar 8 JD. “Saya kan pulang tanpa penumpang,” kilahnya. Begitulah memang rata-rata sopir taksi Amman. Mereka selalu mengarang alasan untuk memeras penumpangnya.
Beberapa penumpang sudah menunggu. Kira-kira enam jam lagi baru saya terbang. “Jangan mondar-mandir di bandara. Ambil koran, baca, supaya mukamu tertutup koran,” begitu perintah Om Valens Doy, pemimpin saya. Maksud dia, dengan membaca koran, muka saya tersembunyi. Pak Anwar Hudijono, juga bos saya, tak lupa menelepon, dan berkata, “Bagus, memang lebih pas Anda meninggalkan Amman secepatnya. Selamat berjuang!” Seperti biasa, Pak Anwar memang selalu bersemangat.
Saya membeli Jordan Times dan The Star, koran berbahasa Inggris. Salah satu artikel yang saya baca habis karangan Edward Said, penulis terkemuka asal Palestina. Tulisan ini lebih dulu dimuat The Guardian, koran terbitan Inggris.
Dia mengeritik Amerika, juga pemimpin Arab yang membeo pada Bush. Rakyat Arab, kata dia, menolak Amerika. Tapi para pemimpinnya tidak. Bangsa Arab kehilangan pemimpin, begitulah kata dia.
Tulisan lainnya yang menarik dimuat Jordan Times. Seorang penulis Jordania memaparkan, ada tiga level masyarakat Arab. Dalam setiap konflik, tiga kelompok masyarakat itu memberikan respon yang berbeda.
Pertama, para pemimpin Arab. Mereka selalu berkata “yes” pada Amerika (kecuali tentu saja Saddam Hussein, makanya ia dihormati masyarakat Arab). Kedua, rakyat, massa. Mereka ini menolak Amerika, tapi tidak berdaya. Aspirasi mereka mental membentur tembok-tembok raksasa sistem pemerintahan kerajaan dan totaliter ala negara-negara Arab. Kelompok ketiga, jumlah massanya kecil, tapi sering memainkan peranan dalam dinamika politik Arab. Mereka adalah kelompok garis keras. Mereka ini juga hampir tak berdaya. Aspirasi mereka dikemukakan dalam bentuk tindakan kekerasan. Inilah yang dirumuskan Amerika sebagai teroris.
Akhirnya, penulis menyimpulkan, Amerika bisa menaklukan para pemimpin Arab. Tapi tidak bisa menjinakan kelompok ketiga. Malah, dikhawatirkan, akan semakin tumbuh subur.
Saya sudah letih membaca. Masih empat jam lagi waktu take off. Saya datangi petugas penjaga pintu masuk sebelum boarding. “Tunggu, dua jam lagi,” katanya.
Saya kembali ke ruang tunggu. Membaca lagi, menutup muka dengan koran. Polisi lalulalang. Mereka terlihat sibuk. Saya yang ketakutan.
Bandara ini diberinama Alia Queen Aiport. Alia istri ketiga mantan Raja Jordania, Raja Hussein. Seperti tiga istri lainnya, Alia cantik. Dia orang Palestina yang mati dalam kecelakaan helikopter. Namanya diabadikan sebagai nama bandara tersebut.
Jam lima, pintu dibuka. Semua mulus, kecuali di desk boarding. Petugas mempermasalahkan lagi nama saya yang cuma satu kata. Benar-benar meletihkan. Saya harus menjelaskan lagi, menjelaskan lagi.
Seluruh penumpang tujuan Cairo masuk ke Gate 2. Satu jam lagi, pesawat akan take off. Tiba-tiba, muncul pengumuman: pesawat delay. Rencana take off pukul 21.00. Seluruh penumpang kembali ke ruang tunggu, sambil mengomel. Ada yang berteriak-teriak, memprotes. Tapi tidak ada jawaban.
Satu jam sebelum terbang, penumpang masuk lagi ke Gate 2. Antriannya cukup panjang. Penumpang lebih 100 orang. Para wanita melewati pos pemeriksaan khusus. Saya harus membuka ikat pinggang, karena setiap kali lewat, metal detector selalu berbunyi. Tanpa ikat pinggang, celana saya kedodoran.
Di ruang tengah ruang transit saya duduk. Di depan saya, dua orang lelaki berbadan besar. Kumisnya dicukur rapi. Di samping mereka tergeletak tas warna merah tua, bertuliskan, “Minister of Foreign Affair, Baghdad.”
Kemudian saya sadar, saya dalam bahaya. Segera saya menjauh. Saya tidak ingin duduk berdekatan dengan mereka. Perasaan was-was kembali menghantui. Jangan-jangan, pesawat ini delay hanya untuk menunggu petugas yang akan menangkap saya.
Sudah menjelang pukul sembilan malam belum ada tanda-tanda naik pesawat. Wajah para penumpang nampak letih. Tiba-tiba, seseorang mengumumkan, “Mohon maaf, take off diundur sampai pukul 22.30.”
Penumpang berteriak-teriak. Saya memanfaatkan suasana yang gaduh itu untuk “ngumpet” di bagian paling belakang. Perasaan saya semakin tidak tenang. Saya berdoa dalam hati.
***
PUKUL 22.30, pesawat Air Bus take of. Alhamdulillah, kata saya. Akhirnya saya akan sampai di Cairo, negeri impian. Impian bukan karena kota ini punya tempat-tempat wisata bersejarah seperti Sungai Nil, tidak. Cairo, bagi saya, adalah negeri pelarian. Di kota berpenduduk 17 juta jiwa ini, saya ingin membangun lagi jiwa saya yang hancur.
Penerbangan Amman-Cairo ditempuh satu jam lima menit. Sepanjang perjalanan, saya mencoba tidur. Tapi tidak bisa.
Bandara Cairo tidak terlalu bagus. Penumpang turun dari pesawat di landasan, lalu diantar bus tua ke terminal. Udara sangat dingin. Cairo sedang musim dingin.
Saya mengira, setiba di Cairo, semua akan beres. Dugaan saya benar-benar meleset. Masalah muncul ketika saya, setelah antri cukup lama, sampai di pos imigrasi. Saya menyerahkan paspor seperti penumpang lainnya untuk diperiksa imigrasi Mesir. Begitu menyetor paspor, petugas imigrasi, dengan wajah garang, melemparkan paspor saya. “Ke sana….,” hardiknya, sambil menunjuk deretan kursi di belakang.
“Ya, Allah!” batin saya. Dada saya bergetar. Saya masuk ke ruangan “smoking room”. Merokok sebentar untuk mengusir kekalutan. Di luar ruangan tembus pandang itu, saya melihat lagi dua orang Irak. Tangan mereka memegang tas merah tua bertuliskan “Minister of Forreign Affair, Baghdad.”
Ooo, mereka pasti bekerjasama dengan pemerintah Mesir. Mereka akan menahan saya. Prasangka-prasangka itu menghantui pikiran saya.
Saya mengirim SMS kepada Pak Mus yang sedang menunggu saya di luar. “Ah, itu biasa,” katanya. Barulah saya merasa agak tenang.
Tidak lama kemudian, seorang petugas imigrasi datang membagi-bagikan paspor. Ada sekitar 20-an paspor di tangannya. Tidak ada paspor saya. Dia pergi lagi, dan datang. Sampai empat kali, paspor saya tetap tidak ada.
Semua penumpang sudah pergi. Tinggal saya sendiri. Dua orang petugas imigrasi datang menghampiri saya. Mereka bertanya, apa pekerjaan saya di Indonesia. Saya gelagapan hendak menjawab apa. Menjawab wartawan, jelas tidak mungkin. Sebab visa saya visa turis.
“Juru ketik,” sahut saya sekenanya. Saya grogi. Jiwa saya benar-benar letih dikejar-kejar perasaan paranoid.
Untungnya, dia bilang, “Oh, Anda bekerja dengan komputer!” Segera saya jawab, ya.
Dia lihat paspor saya. Masalah nama kembali muncul. Dia bertanya, siapa nama keluarga saya. Kenapa saya hanya punya satu nama, dan seterusnya, dan seterusnya.
“Mana tiket Anda dari Jordan,” ia bertanya lagi. Dia mengira, saya punya sayap, terbang seperti burung dari Amman, dan tiba-tiba kesasar di Bandara Cairo. Saya tunjukkan tiket saya.
“Apakah Anda punya uang yang cukup untuk hidup di Cairo,” ia bertanya lagi. Ia mengira saya TKI, pembantu rumah tangga. Saya dipaksa harus menunjukkan seluruh uang yang saya miliki. Setelah saya tunjukkan lembaran-lembaran seratusan dolar AS, barulah dia puas.
Tapi pertanyaan belum selesai. Ia bertanya lagi, apakah saya punya tiket pulang ke Jakarta. Dengan agak kesal, saya bilang, uang saya lebih dari cukup untuk membeli beberapa tiket ke Jakarta.
Saya lalu diminta menghubungi bagian imigrasi khusus. Untungnya, semua berlangsung mulus. Pejabat itu tampak malas bicara. Ia mengambil stempel, duk, duk, dan mempersilahkan saya pergi.
Masih ada satu pintu sebelum keluar bandara. Petugas pintu keluar, seorang polisi, lagi-lagi meminta paspor saya. Tas saya diperiksa, tak terkecuali tas pinggang. Ia menemukan kamera digital.
Sebelum ia bertanya, saya bilang, saya turis. Wajar kalau membawa kamera. Untungnya dia tidak memeriksa laptop. Di tas komputer jinjing ini, ada kartu nama bertuliskan, “Dahlan, journalist”.



Laporan dari Kuala Lumpur (68).
Laporan dari Cina (7) 
Laporan dari Doha (13) 


Wednesday, July 2, 2008

Osama bin Laden: Rakyat Irak jangan gentar hadapi AS


Makan sate madura pada hari Idul Adha di Cairo, Mesir. Pak Mus (Mustafa Abdul Rahman), wartawan Kompas di Cairo, mengundang mahasiswa Indonesia, menyembelih kambing, lalu membuat sate madura. Pak Mus pasti suka karena beliau kebetulan orang Madura.


Osama bin Laden: Rakyat Irak jangan gentar hadapi AS

Pemimpin tertinggi Al Qaeda Osama Bin Laden dari lokasi persembunyiannya menyatakan keberpihakannya kepada rakyat Irak dan menyerukan bangsa Arab dan umat Islam untuk tidak gentar menghadapi Amerika Serikat (AS). Perang membela rakyat Irak dilukiskannya sebagai perang “di jalan Allah” dan bukan perang untuk membela “rejim-rejim Arab”.

Pernyataan tersebut disiarkan televisi berbahasa Arab Aljazeera yang berbasis di Qatar, Selasa (11/2) malam, dengan melansir rekaman suara Osama. Karena disiarkan malam hari, pada saat deadline telah lewat, sebagian koran-koran Arab belum melansir pernyataan tokoh Islam musuh nomor satu AS tersebut. Harian paling berpengaruh di Mesir, Al Ahram, misalnya, belum memuat berita tersebut edisi kemarin. Demikian dilaporkan wartawan PERSDA, Dahlan, dari Cairo, Mesir.

AS sebelumnya menuduh Presiden Saddam Hussein memiliki hubungan dengan Al Qaeda, lembaga yang oleh PBB dimasukan dalam daftar organisasi teroris internasional. Saddam membantah tuduhan tersebut. Di Irak sendiri, ada organisasi Islam, Ansar Al Islam, dimana para aktifisnya merupakan “Arab Afgan” dari berbagai negara Arab dan para alumni perang Afganistan. Ansar yang fundamentalis memusuhi Patriotik Union of Kurdistan (PUK), salah satu partai utama etnis Kurdi yang beroposisi terhadap rejim Saddam.

Osama sendiri bukan sekutu Saddam. Bahkan ia menyebut pemimpin Irak sebagai kafir. Osama memperjuangkan ideologi Pan Islami, sedangkan partai sosialis Baath pimpinan Saddam bertumpu pada ideologi sekuler. Tidak heran bila Osama dalam rekaman suaranya yang ditayangkan Aljazeera memisahkan antara pemerintah Saddam dan rakyat Irak. Osama memihak rakyat Irak dan umat Islam, bukan Saddam, bukan pula “rejim-rejim Arab”.

Dalam pernyataannya, Osama meminta bangsa Arab dan umat Islam tidak gentar terhadap bom-bom pintar AS. Ia menghimbau menggiring musuh-musuh itu kedalam perangkap perang panjang dengan memanfaatkan ladang-ladang pertanian, lembah-lembah dan kota-kota. Menurut milioner Arab Saudi itu, suatu hal yang paling ditakuti AS dan sekutunya adalah jatuhnya korban besar di pihak mereka.

Ia menegaskan, pentingnya aksi bunuh diri melawan musuh yang telah berhasil mengguncang AS dan Israel yang tak pernah mereka saksikan dalam sejarah mereka sebelum ini. Agaknya ia merujuk pada aksi kaum muda Palestina melalui gerakan Intifadah Al Aqsa yang terus meropotkan Israel dengan aksi bom bunuh diri.

Menurut dia, upaya AS menduduki Irak saat ini untuk mewujudkan apa yang menjadi impian zionisme yaitu berdirinya negara Israel Raya.

Pemimpin Tanzim Al Qaeda itu juga menegaskan, siapa pun yang membantu AS dari kaum munafik Irak dan pemerintah Arab dengan kekuatan militer atau fasilitas pangkalan militer atau dukungan logistik, maka mereka adalah kaum kafir. Sejauh ini, beberapa negara tetangga Irak, seperti Arab Saudi, Kuwait, dan Turki menyediakan wilayahnya untuk kepentingan militer AS.

Osama lalu bertanya-tanya, jika kekuatan jahat dunia tidak mampu memaksakan kehendaknya di seperempat mil saja di Afganistan, dimana para Mujahidin bertahan di tempat itu, bagaimana mungkin kekuatan jahat itu bisa menang atas umat Islam dengan Mujahidin-nya.

Menurut Osama, cara terbaik untuk merepotkan musuh adalah membangun lubang-lubang perlindungan seperti yang dilakukan di Tora Bora, Afganistan. Ia mengklaim, telah memenangkan pertempuran di Tora Bora itu.

Menurut Osama, pertempuran Tora Bora menunjukkan kegagalan fatal AS dan sekutunya menghadapi kekuatan kecil Mujahidin yang berjumlah tidak lebih dari 300 personel berkat kemampuan mereka bertahan di lubang-lubang perlindungan dalam zona yang luasnya tidak lebih dari seperempat mil persegi.

Pernyataan Osama tersebut segera memancing reaksi AS. Juru bicara Departemen Luar negeri AS Richard Boucher mengatakan, rekaman suara Osama menunjukkan adanya hubungan antara pemerintah Irak dan Tanzim Al Qaeda. Menurut Boucher, rezim Irak dan organisasi teroris itu memiliki persepsi bersama yaitu rasa kebencian pada Washington. Ia lebih jauh mengklaim, pemimpin Tanzim Al Qaeda tersebut telah mengancam semua orang di Timur Tengah kecuali Saddam Hussein.

Boucher juga mengungkapkan, ada hubungan dan kontak antara kedua pihak Irak dan Al Qaeda. Ia menambahkan, ada sekitar delapan kontak tingkat tinggi pada tahun 1980-an antara pejabat Irak dan Osama Bin Laden, seperti halnya juga terdapat aktivitas Tanzim Al Qaeda di Irak Utara. *

Tuesday, July 1, 2008

Perang Irak: Taruhan Bangsa Amerika


15 Februari 2002

Taruhan bangsa Amerika

KALAU kamu telah menghunus pedangmu, kamu harus mengunakannya! Kalimat tua itu ditulis Fareed Zakaria dalam kolomnya di Newsweek edisi 17 Februari. Ia mengutip seorang diplomat senior Asia yang tak disebutkan namanya untuk menggambarkan posisi Amerika Serikat (AS) saat ini: Bush telah menghunus pedang untuk memenggal kepala Saddam, dan dia harus menggunakannya. “You’ve drawn your sword. Now you must use it.”

Memang, hampir tidak ada yang percaya Bush akan memasukan kembali pedang ke sarungnya. Polling Time/CNN setelah Powell berbicara di sidang Dewan Keamanan (DK) PBB mengungkapkan, 75 persen responden berpendapat, perang tak mungkin lagi dihindari. Bahkan, setelah pidato bersejarah Powell tersebut, 17 persen rakyat AS, yang semula menentang perang, berbalik arah mendukung rencana Bush. Rakyat AS percaya, Saddam adalah orang paling berbahaya di dunia, dan karena itu, harus dilenyapkan. Dengan segala cara.

Sayang, angin sejarah sedang tak berpihak pada Bush. Dunia berpaling dari benua Amerika ke Eropa untuk melihat tarian yang dimainkan Presiden Perancis Jacques Chirac. Akhir tahun lalu, ketika PBB merumuskan resolusi 1441, Chirac berdiri di posisi Bush, mendukung resolusi yang mempersulit posisi Saddam. Saat itu, Bush baru saja sukses menggulung Taliban dan mendapatkan mandat internasional yang luas. Tapi kini, ketika Bush semakin tampak arogan, dan gagal meyakinkan dunia internasional tentang pentingnya memerangi Saddam, Chirac memalingkan muka. Ia menentang perang.

Sebagai pemimpin satu dari lima negara yang memiliki kekuasaan veto di PBB, geliat Chirac tak pelak lagi mengubah peta politik dunia. Apalagi kemudian ia disokong penuh oleh Jerman, negara yang bersama Perancis, lantas diolok-olok Menhan AS Donald Rumsfeld sebagai “old Europe”. Dan, Eropa kini sanggup berkata tidak kepada Bush. Posisi itu didukung Austria ketika mengatakan, tidak akan mengijinkan wilayahnya dilewati pasukan AS tanpa Bush membawa mandat perang dari PBB.

Sidang Dewan Keamanan PBB 14 Februari lalu semakin memojokkan Bush. Perancis dan Jerman, yang juga menentang perang, didukung Rusia, pemegang kartu as hak veto. Putin, yang diklaim Bush sebagai sahabat baiknya, memilih bersama “old Europe” ketimbang bersekutu dengan bangsa Amerika. Sikap Rusia itu diikuti pemegang hak veto lainnya, RRC, sekutu lama Rusia. Dengan demikian, Bush hanya mampu mendapatkan dukungan dari Inggris, tetapi skor di Dewan Keamanan menjadi 3-2 untuk Jacques “Zinedine Zidane” Chirac dkk. Dunia seolah bersorak kegirangan menyaksikan AS yang kalah.

Jelas, makin sulit bagi Bush untuk mendapatkan mandat PBB untuk mewujudkan ambisinya memerangi Saddam. Tapi ia masih punya kartu lain. Seorang diplomat Indonesia di Cairo menyebutkan, Bush akan bertindak nekat untuk menyelamatkan mukanya. Pedang telah dihunus dan dia harus menggunakannya.

“Bush akan menggunakan kekuatan unilateral,” ujar diplomat tersebut. Kekuatan unilateral itu dibangung atas dukungan Inggris, Australia, Italia, beberapa negara Eropa Timur, dan sejumlah negara Timur Tengah. Dalam bahasa Time, Bush akan membuat DK PBB menjadi irrelevant, tidak relevan.

***

PERANCIS dan Jerman, sebenarnya, adalah sekutu Amerika, kata diplomat tadi. Namun, keponggahan Bush dan bangsa Amerika belakangan ini agaknya membangkitkan harga diri dua pemimpin negara berpengaruh di Eropa tersebut. “Apa-apaan, lu, Bush,” begitulah kira-kira kata Chirac dan Schroder.

Bush agaknya sedang mengayun pedang di pentas dunia yang sudah berubah. Jerman yang bersatu sekarang ini, kata diplomat tersebut, bukan lagi Jerman yang dulu dicabik-cabik AS dan Uni Soviet. Jerman sekarang lebih kuat, bersatu, dan mulai tumbuh kebanggaannya sebagai bangsa Arya yang unggul.

Kepeloporan Perancis dan Jerman seolah menyulut keberanian para pemimpin Arab. Segera setelah DK PBB bersidang mendengar laporan Blix dan El Baradei, Presiden Mesir Hosni Mubarak menyerukan segera digelar “emergency summit” para pemimpin Arab. Bahkan direncanakan, Mubarak akan terbang ke Paris untuk menemui Chirac.

Dari awal, Mesir, negara yang sebenarnya banyak mendapatkan bantuan ekonomi AS, menolak solusi perang dalam mengatasi krisis Irak. Bersama Raja Abdullah dari Jordania, Mubarak melakukan safari menemui para pemimpin Arab untuk membangun “visi Arab”. Bagaimanapun, Mubarak berpendapat, serangan AS ke Irak akan menyulut perang regional.

Mubarak dan Raja Abdullah melihat rencana serangan ke Irak tak boleh dilepaskan dari isu Palestina. Belakangan ini, pasukan Sharon terus menerus membantai warga sipil Palestina, tanpa Bush bisa menyetopnya. Terhadap Saddam, Bush amat kencang, sementara terhadap Sharon, yang mengerahkan ribuan tentaranya memerangi penduduk sipil Palestina sejak Maret tahun lalu, Bush tak mampu berbuat apa-apa.

“Tujuan kami adalah menghindari perang di Irak dan menyelamatkan rakyat Irak tak berdosa bila perang meledak. Tapi sebuah pertanyaan besar adalah apa yang yang terjadi di Irak setelah serangan,” kata Mubarak.

Inisiatif yang lebih “lunak” diusung Arab Saudi, karib AS di Teluk. Negara kerajaan ini sepertinya melihat Saddam dan Bush sedang bermain pedang. Dan, agar Bush memasukan kembali pedang ke sarungnya, Saddam harus menyingkir dari Baghdad. Hanya dengan itu, Arab Saudi melihat Bush tidak akan kehilangan muka.

Seorang diplomat yang dikutip harian Al Ahram, surat kabar berpengaruh di Mesir, melukiskan posisi Bush tidak sebagai pemain pedang tapi sebagai pemanjat pohon. Dengan mengirim pasukan demikian banyak ke Timur Tengah untuk menggempur Irak, Bush telah memanjat pohon yang tinggi. Agar dia tidak kehilangan muka, harus tersedia tangga yang memungkinkan dia turun dari pohon dengan bermartabat. “Jalan keluar yang sama dibutuhkan untuk Saddam bila ia menerima tuntutan untuk mundur,” ujar diplomat Arab tersebut. Arab Saudi sedang berusaha meminta jaminan AS, agar setelah Saddam turun, diktator itu tidak akan di-Pinochet-kan.

Persoalannya lalu, maukah Bush meletakan pedang yang telah dihunusnya? Maukah Saddam menerima tuntutan untuk mundur dari singgasananya? Perjalanan waktu beberapa pekan mendatang akan menjawab pertanyaan tersebut. Yang sudah terlihat dengan jelas saat ini adalah Bush sedang mempertaruhkan martabat bangsa Amerika dalam percaturan politik global. Lalu tersisa satu pertanyaan, akankah Bush mampu mempertahankan dominasi AS sebagai satu-satunya negara adi kuasa di dunia ketika Perancis, Jerman, Rusia, dan China mampu dan berani berkata tidak kepada Washington? (Dahlan, Laporan dari Cairo, Mesir)


* Laporan ini dimuat di harian Surya, Surabaya, dan sejumlah koran daerah Kompas Gramedia yang dikelola Persda. Saya berangkat ke Timur Tengah menjelang Perang Irak atas biaya Persda. Sejak 2004, sepulang dari Irak, saya ditugaskan Persda di surat Tribun Timur, Makassar, www.tribun-timur.com


Perang Irak: Mubarak, Raja Abdullah, dan masa depan bangsa Arab

Ceramah jurnalistik di Cairo, Mesir, difasilitasi oleh Musthafa Abdul Rahman, wartawan Kompas di Cairo.


Mubarak, Raja Abdullah, dan masa depan bangsa Arab

BELAKANGAN ini, Presiden Mesir Hosni Mubarak dan Raja Jordania Abdullah II makin sibuk. Saling bergantian mereka keliling menemui para pemimpin negara Arab dengan dua misi utama: mencegah serangan Amerika Serikat (AS) ke Irak dan membicarakan masa depan Palestina.

Kedua masalah itu nampaknya berkaitan erat dengan stabilitas kawasan Timur Tengah. Serangan ke Irak dikhawatirkan akan memicu destabilisasi politik di kawasan tersebut. Seraya pada saat yang sama, melupakan nasib rakyat Palestina yang hampir setiap hari dibunuh tentara Israel.

Terakhir, kedua pemimpin Arab itu bertemu di tempat wisata Aqaba, Jordania, Sabtu (8/2). Mubarak dan Abdullah sepakat, solusi damai merupakan jalan terbaik mengakhiri krisis Irak. Bagaimanapun, keduanya melihat datangnya malapetaka bagi Timur Tengah bila AS benar-benar menggempur Irak. Bukan mustahil, perang tersebut akan menyeret kawasan ini ke kancah perang regional.

“Presiden (Mubarak) dan Raja (Abdullah) menekankan usaha ke arah penyelesaian damai terhadap krisis Irak dalam usaha untuk mencegah perang regional,” tulis Cairo Press Review edisi 9 Februari.

Tidak banyak tersedia pilihan untuk menemukan solusi damai. Mubarak dan Abdullah meminta mitranya dari Irak, Presiden Saddam Hussein, untuk bekerjasama secara penuh dengan tim inspektur pemeriksa senjata pemusnah massal PBB.

Sebelum bertemu Abdullah, Mubarak menemui beberapa pemimpin Arab di Teluk, seperti raja Saudi Arabia dan emir Kuwait. Sementara, Raja Abdullah datang khusus ke Ryadh untuk berbicara langsung dengan Raja Fahd dan Putra Mahkota Abdullah.

Baik Mubarak maupun Abdullah sama menginginkan para pemimpin Arab memiliki kesamaan visi dalam melihat masa depan kawasan. Mereka berdua memainkan peran sebagai jembatan penghubung para pemimpin Arab. Dengan kesamaan visi, keduanya berharap pemimpin Arab mengambil langkah yang seirama untuk menjaga keamanan kawasan dan masa depan bangsa Arab.
”Kedua pemimpin Arab itu … membentuk visi Arab dan mengkoordinasikan tindakan Arab dalam arena internasional,” jelas Menteri Penerangan Mesir Safwat Al-Sherif sesuai pertemuan Mubarak-Abdullah.

Para pemimpin Arab, yang terdiri atas 22 negara, selama ini dikenal sulit akur. Inisiatif dua pemimpin Arab tentu saja didorong harapan agar perbedaan-perbedaan tersebut dikesampingkan sementara, mengingat ancaman stabilitas kawasan sedang menanti di depan mata.

***

KELIHATAN sekali, para pemimpin Arab cenderung mementingkan negaranya masing-masing. Lebih sempit lagi, kepentingan status quo kekuasaan mereka. Liga Arab, organisasi regional yang menghimpun 22 negara Arab, seperti lumpuh sama sekali. Merespon krisis Irak, organisasi itu baru akan menggelar pertemuan di Cairo awal Maret nanti, ketika AS justru diperkirakan mulai menggempur Irak.

Sekjen Liga Arab Amr Musa mengatakan kawasan Timur Tengah sedang menghadapi masalah serius. Bagaimanapun, Irak termasuk salah satu pilar penting negara Arab. Bila penyangga kawasan itu oleng, tentu seluruh kawasan akan ikut goncang. “Dengan perang, kawasan Timur Tengah akan menghadapi tantangan serius dalam bidang keamanan, politik, ekonomi, sosial, dan moral,” katanya.

Menyadari masalah yang dihadapi Timur Tengah begitu berat, Dr Mostafa Al-Fiki, seorang politisi dan intelektual, mengatakan dalam wawancara dengan stasiun televisi Al Jazeera, para pemimpin Arab harus menemukan solusi regional. Mereka harus bertemu dengan melibatkan Turki dan Iran, dua negara yang bukan bangsa Arab, tapi pemain kunci di Timur Tengah.

Lalu, masalah apa yang sedang dan akan dihadapi bangsa Arab? Pertama, gejolak dan ketegangan politik di sejumlah negara tetangga Irak. AS berusaha menjatuhkan Saddam lewat perang. Banyak pengamat mengkhawatirkan, tanpa Saddam, Irak akan terpecah belah. Bagian utara, yang dihuni suku Kurdi, akan bangkit. Mereka sekarang meminta sistem federalisme. Kebangkitan suku Kurdi di Irak utara dikhawatirkan akan membangkitkan nasionalisme suku Kurdi yang bermukim di utara Turki.

Irak utara adalah kawasan yang berbatasan langsung dengan Turki sejauh 352 km. Etnis Kurdi Irak dan etnis Kurdi Turki yang berdiam di kawasan itu hanya dipisahkan oleh garis perbatasan. Sementara, secara politis, mereka merasa sebagai satu nation, satu bangsa yang memiliki cita-cita dan impian masa depan yang sama.

Di Irak selatan, para penganut Shiah akan mendapatkan dukungan dari Iran. Hal ini akan menciptakan ketegangan dengan Arab Saudi, negara yang memiliki garis perbatasan dengan Irak sepanjang 814 km dan dihuni mayoritas muslim Sunni. Peganut muslim Shiah di Irak diperkirakan 60-70 persen dari total penduduk yang berjumlah sekitar 24 juta. Sementara etnis Kurdi 15-20 persen.

Rencananya, AS akan menyusun pemerintahan baru pasca Saddam. Bila kelompok-kelompok oposisi Saddam, baik dari suku Kurdi maupun penganut Shiah tidak puas, Irak –yang berbatasan dengan Turki, Iran, Kuwait, Arab Saudi, Suriah, dan Jordania—akan terus menerus dilanda ketidakstabilan politik. Bahkan dikhawatirkan akan tergelincir ke kubangan perang saudara, sesuatu yang tentu saja membuat negara-negara tetangganya tidak bisa tidur nyenyak.

“Perang akan melahirkan efek domino ke seantero kawasan Timur Tengah. Bila perang meletus, kesatuan Irak akan hancur. Negara itu akan pecah berkeping-keping yang pada gilirannya membawa ancaman pada stabilitas kawasan,” kata Ahmad Abdul Gheit, wakil tetap Mesir di PBB dalam wawancara dengan harian Kuwait, Al Anbaa.

Kedua, makin kuatnya dominasi AS di Timur Tengah. Pemerintahan pasca Saddam nanti jelas akan berpihak kepada AS. Dengan demikian, seluruh negara penghasil minyak di kawasan Teluk praktis dalam kontrol AS, kecuali Iran, negara yang bersama Irak dan Korea Utara (komunis) dimasukan dalam “poros kejahatan” oleh Bush.

Di luar Teluk, AS telah lama bersabahat dengan Mesir, Jordania, dan Israel. Dengan Turki, AS sama sekali tak pernah menemui kesulitan berarti. Turki, yang sudah modern dengan gaya kehidupan ala Eropa, dimana CD porno bisa ditemukan dimana-mana, adalah anggota Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO).

Untuk mengatasi Iran, Musthafa Abd Rahman, pengamat Timur Tengah dan wartawan Kompas yang berbasis di Cairo, Mesir, melihat, AS akan mendukung kelompok reformis. Kelompok pembaharu ini diharapkan menetralisir kekuatan konservatif yang anti AS.

Bila Iran bisa dinetralisir, boleh dibilang, tidak ada lagi ancaman serius bagi Israel di kawasan Timur Tengah. Tentu saja, pada akhirnya, perkembangan ini akan semakin menyulitkan posisi tawar Palestina terhadap Israel.

Setelah menguasai seluruh Timur Tengah, AS akan semakin memantapkan diri sebagai satu-satunya negara super power di dunia. Seluruh Eropa, kecuali Jerman dan Perancis yang belakangan getol menentang rencana serangan AS ke Irak, praktis dalam genggaman Bush. Negara-negara Eropa Timur, yang dulu berpihak kepada Uni Soviet, kini semuanya pro Barat (AS).

***

JATUHNYA rejim Saddam diyakini bukan tujuan akhir AS. Seorang pengamat mengatakan, AS akan meluncurkan proyek “modernisasi” Timur Tengah segera setelah Saddam, sang perintang yang berkuasa sejak 1979, pergi. Ada empat bidang strategis yang akan dipermak agar Timur Tengah, seperti negara-negara bekas komunis di Eropa Timur, bisa dijinakkan.

Pertama, “modernisasi” bidang politik. Sebagian besar negara di kawasan ini masih menganut sistem politik monarki tradisional dan mempraktekkan totalitarianisme. “Modernisasi” politik berarti memperkenalkan sistem demokrasi ala Barat. Proyek ini akan membabat habis lembaga-lembaga kerajaan dan sistem totalitarianisme yang telah mengakar kuat dalam kultur, sistem politik, dan perilaku politik bangsa Arab.

Kedua, “modernisasi” bidang ekonomi. Intinya, penerapan sistem pasar bebas secara penuh, agar Timur Tengah terbuka menjadi pasar baru kapitalisme global. Perusahaan-perusahaan asing (Barat) dengan demikian akan juga terbuka lebar aksesnya untuk masuk ke kawasan kaya minyak ini, menggeser dominasi perusahaan patronase swasta-kerajaan.

Ketiga, “modernisasi” bidang sosial. Sistem pendidikan harus mengikuti sistem Barat, demi “modernisasi” Islam. Ini merupakan semacam proyek “cuci otak” untuk mempersiapkan generasi baru bangsa Arab yang lebih pro Barat.

Dan, yang keempat, “modernisasi” Islam. Hal ini berkaitan dengan “modernisasi” bidang sosial. Tujuannya, Islam tidak lagi menjadi sumber inspirasi sentimen anti Barat. Dalam bahasa yang agak telanjang, Islam tidak lagi menjadi sumber terorisme seperti selama ini dituduhkan Barat.

***

TENTU saja, AS tidak akan dengan gampang mampu mewujudkan seluruh ambisinya di Timur Tengah. AS selama ini memang mampu menjinakkan para pemimpin Arab. Namun, negara adidaya sekutu Israel itu tidak selalu berhasil menarik simpati rakyat bangsa Arab yang Muslim.

Rami G Khouri, seorang penulis Jordania, berpendapat, ada tiga pemain kunci dalam politik Timur Tengah. Yakni, penguasa Arab, massa rakyat kebanyakan, dan kelompok militan yang jumlahnya kecil namun cukup berpengaruh. Ketiga pemain selalu merespon secara berbeda setiap isu, termasuk rencana serangan AS ke Irak.

Penguasa Arab, karena ingin mempertahankan kekuasaan, tidak pernah berani berkata “tidak” pada setiap kemauan AS. Mereka tentu melihat bagaimana AS memperlakukan Saddam atau para pemimpin Taliban di Afganistan yang keras kepala.

Melihat pemimpinnya bersikap yes man pada AS, massa rakyat diam apatis karena tak berdaya. Mereka memimpikan datangnya pemimpin Arab yang mampu menjaga kehormatan bangsa Arab. Karena itulah, kendati sebetulnya Saddam seorang pemimpin yang otoriter, ia tetap mendapat simpati dari rakyat bangsa Arab.

Sementara, kelompok militan menunjukkan responnya lewat aksi kekerasan. Bukan dengan maksud mengalahkan AS, tapi melampiaskan kemarahan. Massa rakyat menemukan kelompok militan sebagai penyalur aspirasi kemarahan dan kejengkelan mereka.

Khouri, yang menulis di Jordan Times edisi 5 Februari, memperkuat argumentasinya dengan fakta sejarah. Perang 1967, yang melibatkan negara-negara Arab dan berakhir dengan kemenangan Israel, melahirkan perlawanan politik dan militer terhadap Israel. Sentimen anti AS tumbuh subur, karena Paman Sam dianggap sebagai negara yang terus menerus melindungi negara zionis tersebut.

Invasi Israel ke Lebanon dan berakhir dengan pendudukan Lebanon selatan melahirkan kelompok perlawanan bersenjata Lebanon. Sementara, Perang Teluk tahun 1991 melahirkan kelompok militan Islam Afganistan, Kekerasan yang terus dipertontonkan Israel dengan menginjak-injak kesepakatan damai Oslo tahun 1993, pada akhirnya ikut memberi andil lahirnya perlawanan intifidah, sampai hari ini.

Bila asumsi-asumsi tersebut mendekati kenyataan, kita akan menyaksikan beberapa fenomena berikut di Timur Tengah pasca Saddam. Pertama, instabilitas politik kawasan yang dipicu kekacauan politik di Irak. Kedua, semakin dominannya peran AS di kawasan Timur Tengah. Ketiga, Israel akan semakin mendiktekan kemauannya di wilayah pendudukan Palestina. Keempat, munculnya konflik baru antara AS dengan para pemimpin Arab tradisional, terutama ketika Paman Sam memaksakan “empat proyek modernisasi”. Lebih jauh, bila merasa terjepit, para pemimpin Arab akan berpaling dari AS dan lebih mendengar aspirasi massa rakyat dan sekelompok kecil militan yang anti Barat.

Bila ini benar, maka apa yang dikatakan Huntington sebagai the clash of civilization (antara Barat dan Islam) akan terus berlangsung dan terus mengisi lembaran-lembaran dinamika pergolakan memperebutkan pengaruh di berbagai belahan dunia.

Mungkin karena itulah, Mubarak dan Abdullah II terus melobi para pemimpin Arab untuk membangun visi dan melakukan tindakan bersama. Memang terasa seperti menggarami lautan. Namun, sekecil apapun dampak inisiatif kedua pemimpin, masih lebih baik ketimbang terus menerus berciuman pipi dengan sekutu-sekutu bule. (Dahlan, Laporan dari Cairo, Mesir)


* Laporan ini dimuat di harian Surya, Surabaya, dan sejumlah koran daerah Kompas Gramedia yang dikelola Persda. Saya berangkat ke Timur Tengah menjelang Perang Irak atas biaya Persda


Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...