Monday, July 9, 2012

Moskow Summit, Antara Karakter dan Jurnalisme...

Moskow Summit, Antara Karakter dan Jurnalisme Praktis - Tribunnews.com
Forum memperkuat karakter media massa tradisional sebagai alat utama dalam berjuang agar tidak punah dari gempuran media sosial



Sumber: TRIBUNnews.com

Moskow Summit, Antara Karakter dan Jurnalisme Praktis

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Dahlan Dahi, dari Moskow

TRIBUNNEWS.COM - Terasa benar "suasana Rusia" dalam II World Media Summit di Moskow, 5-7 Juli 2012. Jauh berbeda dengan, katakanlah, acara-acara pertemuan pimpinan puncak media massa yang digelar organisasi wartawan dunia, WAN-IFRA.

Pada World Media Summit kita menemukan karakter jurnalisme dan --karena itu-- karakter media massa. Sedangkan spirit WAN-IFRA lebih mengedepankan aspek praktis dari jurnalisme dan media massa, terutama how to survive (bagaimana bisa bertahan) dalam landskap media massa yang berubah drastis.

Sisi praktis WAN-IFRA dengan gampang terlihat pada topik acara yang disuguhkan. Misalnya, menampilkan best practices dari social media, monetize media online, strategi menggarap pembaca muda, dan seterusnya.

Bila Media Summit mengambil porsi waktu yang cutup bear untuk aspek "ideologis" dengan menjawab "what happen" dan "why" para jurnalisme dan media massa, maka WAN-IFRA ingin menjawab "how to", langkah demi langkah, sisi praktis.

Saya kebetulan diutus Tribunnews.com untuk menghadiri II Media Summit di Moskow, Rusia, dan acara WAN-IFRA di Amsterdam, Belanda. Kendati terdapat perbedaan mendasar pada semangat dan pendekatan, pendekatan Media Summit dan WAN-IFRA tetap berguna dan saling melengkapi.

*** 

SPIRIT dari World Media Summit bisa ditemukan para pertemuan puncak pertama di Beijing tahun 2009. Penyelenggaranya adalah Xinhua News Agency, kantor berita China. Peserta utamanya adalah kantor berita Itar-Tass dari Rusia.

Dari sini saja sepintas terlihat bahwa Media Summit adalah upaya membangun aliansi pimpinan puncak media massa di negara non-Amerika Serikat dan non-Eropa.

Memang dalam presidium ada wakil-wakil dari media barat. Dari Amerika Serikat, misalnya, ada News Corp (Rupert Murdock) dan New York Times. Sedangkan dari Inggris ada BBC.

Pada pertemuan di Moskow, wakil News Corp dan New York Times tidak terlihat. Yang muncul adalah wakil dari stasiun TV, NBC. Saya bertemu kepala perwakilannya yang berbasis di Beijing, China, seorang pria Bangladesh yang asyik diajak berdiskusi sampai larut malam.

"NBC akan masuk dalam presidium," kata Eric Baculinao, Kepala Biro NBC Beijing, dalam perbincangan dengan Tribunnews.com di sela-sela Moskow Summit.

Delegasi NBC, yang hanya mengutus pejabat setingkat kepala biro, tentu saja berbeda dengan utusan dari 212 media massa lainnya yang mengirim pejabat setingkat CE0, direktur, atau setidak-setidaknya editor in chief (pemimpin redaksi).

Faktor lain adalah asal peserta. Sebagian terbesar peserta Media Summit berlatar belakang news agency atau kantor berita. Baru pada summit kali ini, forum diperluas dengan mengundang media online dari seluruh dunia.

Tribunnews.com dan Detikcom masuk dalam kategori ini. Kantor berita Antara, TVRI, dan RRI termasuk yang diundang dari Indonesia.

Pada III Media Summit tahun 2014 di Bahrain, panitia akan mengundang aktivis terutama dari negara-negara yang terlibat perang dan revolusi. Yang terakhir ini mengacu pada negara-negara Arab yang sedang mekar Arab Springs.

Summit di Moskow juga banyak dihadiri sekutu-sekutu terbaik Rusia dalam percaturan politik internasional. China dan Iran masuk dalam kelompok ini. Hadir juga wakil dari negara Amerika Latin dari poros kiri seperti Argentina dan Brasil.

Yang menarik, wakil dari Korea Utara, negara komunis yang selama ini diisolasi dunia barat, justru menjadi salah satu peserta terhormat dalam summit di Moskow. Mereka dari kantor berita KCNA. Salah satu dari delegasi Korea Utara ini mengenal nama Megawati Soekarnoputri.

Mengingat latar belakang itu, masuk akal kalau pemerintah terlibat dalam media summit. Di Beijing, summit dibuka Presiden China. Sedangkan di Rusia, Vladimir Putin direncanakan membuka namun batal dan diwakili Ketua Duma (DPR-nya Federasi Rusia).

Inilah yang disindir wakil BBC ketika diberi kesempatan melakukan presentasi, namun kemudian segera mengundang protes dari Touraj Shiralilou (Direktur Hubungan Internasional kantor berita Iran, IRNA) yang menyatakan solidaritas terhadap tuan rumah Rusia.

Terasa nuansa politiknya mengingat Iran, yang terus ditekan Amerika Serikat soal isu nuklir, adalah "sahabat" Rusia.

***

DEPUTY Editor in Chief Al Ahram, Chada El Sharkawy, mengatakan, memang terasa nuansa politik dalam II World Media Summit di Moskow.

"Sama sekali tidak ada yang praktis," kata wanita setengah baya ini pada perbincangan dengan Tribunnews.com dalam perjalanan dari Crown Plaza Hotel menuju Bandara Demodedovo di Moskow.

"Tapi saya akan hadir lagi di Bahrain kalau diundang. Bagaimana pun, dengan adanya forum seperti ini, kita bisa membangun jaringan dengan para pimpinan puncak media massa di seluruh dunia," kata wakil pemimpin redaksi koran terbesar di Mesir tersebut.

Hal lain tentu saja adalah kekayaan perspektif. Diskusi intens selama dua hari bukan saja memperluas cakrawala melihat persoalan tapi juga sekaligus meneguhkan posisi terhadap berbagai isu terbaru setelah mendengar pengalaman pimpinan media massa di banyak negara.

II World Media Summit dihadiri sekitar 300 pimpinan puncak media massa, termasuk CEO sejumlah kantor berita, koran, televisi, radio, dan media online --menjadikannya forum yang disebut panitia sebagai pertemuan "orang-orang berpengaruh" pada media massa global.

Memang masuk akal juga disebut "orang-orang berpengaruh" karena para pemimpin media massa mainstream yang diundang khusus oleh Itar-Tass sebagai tuan rumah setidak-tidaknya ikut mempengaruhi pembentukan opini publik di negara masing-masing.

Yang juga positif adalah "aneka perspektif" seperti terlihat dalam diskusi. Moderator memang selalu membuka ruang diskusi, tidak pernah menyela pembicara, sehingga serupa dengan sidang PBB. Beberapa pembicara bahkan menyiapkan naskah presentasi secara tertulis, mirip pembacaan pernyataan sikap.

Lewat masing-masing peserta diskusi yang berbicara dalam bahasa Rusia, Inggris, Arab, China, dan Jepang (tentu saja diterjemahkan panitia melalui ear phone), kekayaan perpektif dan pengalaman muncul ke permukaan dalam forum diskusi.

Pada isu pengaruh social media dan internet terhadap media massa tradisional, misalnya, delegasi Serbia menceritakan bagaimana media massa tradisional di Serbia, terutama surat kabar, terancam punah: oplah dan iklan turun, wartawan kehilangan pekerjaan, dan hilangnya liputan investigatif yang bermutu karena perusahaan pers harus melakukan efisiensi dengan memangkas biaya produksi.

Perspektif lain datang dari Libya. Rakyat negara ini sukses menumbangkan rezim Qhadafy, antara lain, berkat bantuan social media dan internet --suatu alat yang ampuh ketika media massa tradisional selama bertahun-tahun dikendalikan rezim penguasa.

Beberapa studi kasus, kendati tidak dibahas secara mendalam karena waktu yang terbatas, juga dipaparkan dalam forum utama (plenary) maupun session (forum yang lebih kecil dan membahas topik tertentu).

Ditampilkan, misalnya, bagaimana Radio Nasional Bulgaria sukses menjawab tantangan internet dengan menyalurkan informasi melalui berbagai format seperti digital dan mobile phone.

Dari delegasi Finlandia, peserta mendapatkan presentasi bagaimana portal berita online sukses dengan membangun blogger community. Komunitas blogger ini sebagian terbesar beranggotakan politisi yang ingin memasyarakatkan gagasan mereka dengan cara baru, yakni secara online.

***

APA yang "hebat" dari Rusia adalah beberapa gagasan mengenai pembangunan karakter media massa dalam menghadapi melimpahnya informasi yang diproduksi warga nonwartawan dan disalurkan melalui social media (Facebook, Twitter, blog, dan YouTube).

Panitia menampilkan Daniela Paola Viglione, President & CEO AGI, kantor berita Italia.  Daniela mengingatkan penting membedakan antara news dan voice.

News (berita) adalah konsep tentang informasi yang dicari, diproduksi, dan disalurkan ke publik melalui proses dan prinsip jurnalistik: data diverifikasi, menegakan prinsip independensi dan imparsialitas, netral, membedakan secara tegas fakta dari opini, serta  bertujuan mengabdi pada publik dan kemanusiaan.

Di situlah beda news dari voice. Warga nonjurnalis sekarang ini bisa memproduksi konten (berita dan foto) apa saja, tapi tanpa prinsip dan asas jurnalisme di atas. Itulah voice, suara-suara yang tidak diverifikasi.

Voice juga bisa berupa aspirasi yang tidak bertujuan untuk kepentingan publik dan kemanusiaan. Voice bisa juga hanya alat untuk ekspresi personal (misalnya, memasang status "belum makan" di dinding Facebook) atau alat untuk panggung personal atau narsis.

Jadi, dari sisi ini, masyarakat era internet tidak hanya membutuhkan jurnalis (wartawan) tapi juga media massa tradisional tempat prinsip-prinsip jurnalisme itu diterapkan. Wartawan dan media massa tradisional harus menjamin bahwa informasi yang dikonsumsi publik telah difilter, disaring, dan dicek dengan prinsip-prinsip jurnalisme.

Pendekatan ini haruslah menjadi karakter media massa tradisional --suatu senjata yang tidak terlihat tapi dia menjadi roh dan spirit pada semua produk jurnalistik.

Memang, media social (lembaganya voice) seringkali juga mengabarkan fakta (seperti halnya fakta jurnalistik) dan juga bertujuan untuk publik dan kemanusiaan. Pada titik ini, news dan voice bekerja sama secara alamiah. Koalisi kedua media ini tentu saja menjadi kekuatan sipil yang kuat.

Karakter lainnya berada di luar lingkungan media massa tradisional, yakni negara dan masyarakat. Karena karakter media massa tradisional yang mengabdi kepada publik, seringkali wartawan menjadi korban di medan konflik, baik karena perang maupun nonperang.

Terhadap isu yang terakhir ini, II World Media Summit di Moskow mengundang khusus Unesco sebagai perpanjangan tangan PBB yang menjamin terselenggaranya prinsip kebebasan berekspresi dan kebebasan berpendapat.

Kebebasan berpendapat merupakan akar kebebasan pers. Menurut PBB, kebebasan berpendapat merupakan hak asasi manusia paling mendasar. PBB, antara lain, ada karena misi tersebut.

Demikianlah "suasana Rusia" pada II World Media Summit di Moskow. Sebuah forum yang memperkuat karakter media massa tradisional sebagai alat utama dalam berjuang agar tidak punah di tengah gempuran media sosial.(*)


Laporan lain dari Moskow


 
You have received this message because Dahlan Dahi shared it with dahlantribun.dahlan@blogger.com. Unsubscribe from these emails.
You can't reply to this email. View the post to add a comment.

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...