Polisi pencundang dan Jose yang merindukan pacar
ABU Farrah. Begitu pria gendut dengan tiga bintang di pundak itu memperkenalkan diri. Dia ditemui di halaman Palestine Hotel, Baghdad, dalam pakaian hijau polos, tanpa topi. Ia dikawal seorang ajudan, pemuda tinggi besar berpakaian sipil. Rambutnya yang lurus dicukur cepak dengan jenggot dan kumis yang dicukur rapi.
“Dia seorang perwira polisi. Pangkatnya kolonel,” ujar ajudan itu dalam bahasa Inggris yang lumayan fasih, seperti berbisik. Si kolonel yang hanya bisa cakap Arab tersenyum, memamerkan barisan gigi yang rapi. Seperti umumnya orang Irak, pria itu memelihara kumis yang senantiasa dicukur rapi. Satu dua lembar kumisnya sudah memutih, pertanda tua. Tapi ia belum cukup tua untuk bertekuk lutut kepada tentara AS.
Abu Farrah adalah satu dari belasan perwira polisi Irak yang menghianati rejim Saddam Hussein. Dalam pakaian dinas, mereka berjalan berkelompok memasuki Palestine Hotel setelah melewati pemeriksaan yang ketat. Melewati kerumunan rakyat Irak, mereka menundukkan muka. Kepada tentara sekutu, mereka menyatakan siap bekerjasama memulihkan keamanan kota Baghdad. Perwira tertinggi yang menyerah adalah Letnan Jenderal Ali Zaki.
Proses penyerahan diri para perwira tersebut berjalan mulus berkat lobi orang-orang Irak yang bekerja untuk tentara AS. Dalam operasi, pecundang rejim Saddam itu memakai seragam militer AS warna cokelat gurun pasir, tak beda dengan tentara AS lainnya. Istimewanya, mereka mahir berbahasa Arab dan bahasa Inggris sekaligus.
Tentu saja, kebencian pada Saddam menggerakan mereka untuk berjabat tangan dengan musuh. “Saya tidak mengerti, kenapa orang Islam di Indonesia mendukung Saddam. Dia itu kejam, membunuh saudara Muslim-nya di Kurdi dan Basra (basis shiah),” ujar pria Irak berseragam tentara AS dalam suatu kesempatan makam malam di Palestina Hotel. Menunya roti dan daging kambing plus air putih. Menu hotel bintang lima itu amat sederhana karena kesulitan pasokan bahan makanan pada masa perang.
Jatuhnya rejim Saddam membuat para perwira polisi itu, yang semula ditakuti rakyat Irak, kehilangan seluruh kehormatan. Abu Farrah tampak terlihat kesepian di tengah kerumunan orang-orang Irak yang bekerja sebagai penerjemah atau guide untuk wartawan asing. Tidak terlihat sikap respek dari orang-orang Irak itu terhadap Abu Farrah dan kawan-kawan.
“Apakah Anda punya telepon satelit,” tanya ajudannya, seperti mengemis. Perwira itu ingin menelepon, tapi sejak jaringan komunikasi dihancurkan AS, tidak ada lagi saluran telepon di Baghdad. Komunikasi hanya mungkin dengan telepon satelit.
Perwira polisi itu terlihat mondar mandir di beberapa studio stasium televisi asing yang dibangun secara darurat di halaman Palestine Hotel. Di studio stasium televisi Al Jazeera, televisi Arab yang terkenal itu, ia berhenti cukup lama. Ia menonton televisi, barang mewah bagi rakyat Irak yang tak pernah bisa menyaksikan siaran televisi selain TVRI-nya Irak.
Polisi yang telah menyerah mulai bekerjasama dengan tentara AS memulihkan keamanan hari Selasa (15/4). Inilah untuk pertama kalinya, ketertiban coba ditegakkan di Baghdad setelah kota bersejarah ini diduduki tentara AS 9 April lalu.
Pekerjaan itu tentu saja tidak enteng. Tidak seluruh polisi menyatakan bertekuk lutut pada AS. Kalau melihat mereka yang datang menyerahkan diri ke Palestine Hotel, markas sementara pasukan sekutu, jumlahnya kurang dari 50 orang.
Belum ada seorang pun perwira tentara yang menyerah. “Tidak ada. Tentara belum ada yang menyerah,” ujar ajudan Abu Farrah.
Beberapa polisi yang ditemui mengatur lalulintas di jalan-jalan kota Baghdad yang tanpa lampu penerangan jalan secara terbuka mengungkapkan kebenciannya pada AS. “Kami bekerja untuk rakyat Irak, bukan untuk Amerika,” begitu selalu kata mereka, dalam pakaian warna putih.
Kota Baghdad dikuasai tentara AS. Tapi tidak seluruhnya. Beberapa titik dikuasai milisi bersenjata. Memang tidak terlihat lagi tentara Irak, apakah itu Pengawal Republik ataupun pasukan khusus Pengawal Republik. Namun diduga, tentara andalan Saddam itu mencopoti pakaian dinas mereka, mengangkat senjata dalam pakaian sipil.
***
TIDAK tampak nada girang di wajahnya. Anak muda berusia 20 tahun itu duduk sendirian, memperhatikan orang-orang yang lalulalang di halaman Palestine Hotel, sambil menyantap biskuit.
Orangnya ramah, dengan jiwa anak muda yang masih polos. Ia adalah anggota marinir AS. Ketika ditanya tentang pacarnya, Jose, begitu ia memperkenalkan diri, segera meraih dompetnya.
Terlihat dua lembaran 100 dolar AS dan beberapa lembar foto di dalam dompet kulitnya. Ia menunjukkan sebuah foto anak muda, rambut plontos, memeluk pundak gadis montok, hidung mancung, dan rambut lurus hitam yang bagian depannya di cat kuning. Shane masih kuliah di sebuah college di Amerika.
“Ini pacar saya. Namanya Shane,” ujar Jose, tersenyum. Jose kangen pada pacarnya, seorang gadis berdarah Meksiko. Orang tua Jose juga berasal dari Meksiko.
“Sudah tiga bulan saya tidak pernah menelepon dia,” katanya. Mukanya yang memerah terlihat sedih. Jose termasuk gelombang pertama pasukan AS yang dikirim Presiden Bush ke Kuwait. Mereka menunggu dua bulan di gurun pasir Kuwait yang panas sebelum merangsek masuk dari perbatasan Kuwait ke Irak, 20 Maret lalu.
Dari Kuwait, iring-iringan tank Jose langsung menuju Basra, kota terbesar kedua. Mereka mengelilingi kota shiah itu tiga hari. Setelah itu, sebagian pasukan merangsek masuk, sebagian lainnya menuju Baghdad.
“Perjalanan dari Kuwait ke pinggiran Baghdad makan waktu 20 hari,” katanya. “Tiga hari kami mengepung Baghdad sebelum masuk dan menguasai kota ini.” Nada suaranya terdengar datar, tanpa rasa bangga.
Tank melaju dengan kecepatan 30 kilometer perjam. Beberapa kali berhenti untuk istrihat dan menghadapi perlawanan milisi dan tentara Irak. Beberapa rekan Jose mati dalam pertempuran. Mati untuk suatu misi memenuhi keinginan Presiden Bush.
Umumnya anggota marinir AS muda-muda seperti Jose. Malah terkadang terlihat seperti anak kecil, dengan raut muka innocent. Ada yang keturunan Afrika, Filipina, bahkan Malaysia.
Ridwan Abdul Azis, 21, adalah contoh tentara AS keturunan Asia. Bapaknya seorang Malaysia, ibu Amerika. Anak muda tinggi langsing itu lancar bercakap Melayu.
“Ini bukan perang agama,” katanya, yang mengaku beragama Islam, ketika ditemui di cafĂ© Palestine Hotel.
Ridwan bercerita, dalam medan perang Irak, tentara AS sulit membedakan musuh. Sebab, serangan datang dari mereka yang berpakaian sipil. Gadis-gadis berpakaian sipil terkadang bisa pula menyebarkan maut.
“Teman saya ditarik cewek lalu ditembak,” kenang Ridwan. Tangan kanannya menggenggam senapan mesin, sementara tangan kirinya mengangkat cangkir teh. (Dahlan, Laporan dari Bagdad, Irak)
* Laporan ini dimuat di harian Surya, Surabaya, dan sejumlah koran daerah Kompas Gramedia yang dikelola Persda. Saya berangkat ke Timur Tengah menjelang Perang Irak atas biaya Persda. Sejak 2004, sepulang dari Irak, saya ditugaskan Persda di surat Tribun Timur, Makassar, www.tribun-timur.com
Probably I can say with this blog make, more some interesting topics.
ReplyDeletesuch a nice blog.
ReplyDeleteberto xxx
Thanks. I just share my experience. For Iraqi people. For humanity. For peace
ReplyDelete