Ask the Tribun Timur Editor
Dr Mansyur Semma, Idealisme, Bisnis, dan Pers
Dahlan,
Pemimpin Redaksi Tribun Timur, Makassar
ALMARHUM Dr Mansyur Semma sangat produktif menulis justru ketika beliau mengalami masalah serius pada pengelihatannya. Salah satu bukunya, Media dan Perubahan Politik Represif, yang diluncurkan ke publik hari ini di kampus Universitas Hasanuddin (Unhas), Makassar, memuat kumpulan tulisan almarhum di berbagai media massa antara Januari 2004 hingga akhir hayatnya, Maret 2008. Buku ini cukup tebal, 476 halaman.
Dr Mansyur Semma dikenal tidak hanya sebagai dosen ilmu komunikasi, tapi juga penceramah, penulis yang produktif, dan aktivis Islam.
Perjalanan masa lalunya yang tidak selalu mulus, cobaan berat yang memaksanya harus kehilangan penglihatan untuk selama-lamanya, tidak membuat Dr Mansyur kehilangan semangat.
Justru di tengah kesulitan, ia menemukan jalan menjadi manusia mulia: Memberikan apa yang dia punya untuk masyarakat dengan penuh ketulusan dan keikhlasan. Ia mengajar, membagi ilmu kepada mahasiswa, dan turun dari menara gading kampus untuk memberikan pencerahan kepada publik melalui berbagai topik tulisan di media massa dan menjadi penceramah di berbagai acara seminar dan diskusi.
Buku Media dan Perubahan Politik Represif memuat beragam tema, terutama terkait masalah politik aktual dan pers.
Tulisan-tulisan itu menggambarkan minat dan perhatian Dr Mansyur, juga posisinya terhadap suatu masalah.
Dr Mansyur terlihat sangat merisaukan dominasi kapitalis dalam industri pers yang cenderung hanya mencari keuntungan tapi mengabaikan fungsi pendidikan masyarakat.
Sebagai intelektual, terlihat jelas pemihakan Dr Mansyur terhadap masyarakat. Karena itu, ia tidak segan-segan mengeritik pers, juga tidak takut mengeritik wartawan. Ia, misalnya, mengeritik pers yang cenderung mengabaikan hak jawab masyarakat (halaman 242) dan mempersoalkan ketiadaan empati wartawan dan pers pada korban dan bencana (halaman 273-302).
Terhadap masalah klasik hubungan pers dengan idealisme, Dr Mansyur mengatakan: ”Sulit membayangkan sebuah media tetap eksis dan mampu bersaing bila hanya mengandalkan idealisme” (halaman 224).
***
DENGAN idealisme, kita sering mengacu pada pertentangannya dengan pragmatisme. Dalam politik, pragmatisme mengacu pada gejala mencari kekuasaan. Sedangkan dalam bisnis, pragmatisme mengacu pada gejala mencari laba.
Idealisme seringkali lebih dekat dengan kekuatan moral dalam masyarakat. Kekuatan moral dimaksudkan sebagai kekuatan dalam masyarakat yang berjuang tanpa pamrih politik maupun bisnis. Kekuatan moral lahir dari dorongan nurani, sedangkan kekuatan politik maupun bisnis lahir dari pusat ego.
Perjuangan moral bersifat jangka panjang dan mengabdi kepada masyarakat. Sedangkan perjuangan politik dan bisnis mengabdi kepada kepentingan pribadi ataupun kelompok dan bersifat jangka pendek.
Dr Mansyur, dalam konteks itu, adalah perlambang kekuatan moral. Perjuangannya lahir untuk memenuhi kebutuhan jiwa dan nurani, bukan untuk memenuhi ambisi politik dan bisnis. Ia mengabdi kepada masyarakat, tujuannya jangka panjang.
Soalnya adalah apakah pers yang mengabaikan idealisme, apakah pers yang mengabaikan perannya sebagai kekuatan moral demi tujuan bisnis dan politik, akan tetap eksis dan mampu bersaing?
Saya percaya bahwa idealisme dalam industri pers adalah instrumen bisnis menuju pers di arus mainstream (pers berpengaruh). Independensi, sebagai buah dari idealisme, merupakan salah satu alat bisnis pers yang utama. Ia bahkan terkadang lebih penting dari instrumen bisnis pers lainnya seperti content (isi) dan design (cara penyajian).
Pers, beda dari bisnis lainnya, menjual kata-kata. Masalahnya, pers menghadapi kenyataan bahwa tidak semua kata-kata laku dijual. Hanya kata-kata yang memiliki trust dan kredibilitas yang layak jadi komoditas.
Terutama di media cetak, pasar terbesarnya berada di kelas menengah atas dan well educated. Itu sekaligus menegaskan pentingnya trust dan kredibilitas pada kata-kata surat kabar.
Trust dan kredibilitas hanya dapat dibangun di atas pondasi idealisme: idealisme pers sebagai lembaga maupun idealisme individu pengelola pers.
Itulah salah satu yang menjelaskan, mengapa kekuatan masyarakat yang bergerak di domain kekuatan moral dan idealisme selalu bersentuhan erat dengan pers mainstream. Itu juga menjelaskan mengapa karya-karya kritis Dr Mansyur Semma mendapat tempat yang layak di media massa, kendati beliau secara lugas mengeritik tidak hanya pers sebagai lembaga tapi juga wartawan sebagai individu pengelola pers.
Memang, idealisme saja tidak cukup menjadi modal bagi pers untuk tidak hanya eksis, tapi juga berada di jalur media mainstream, terutama karena aspek bisnis pers semakin rumit, persaingan semakin ketat, dan masyarakat berikut kebutuhannya terus berubah. Masa depan pers tidak hanya tergantung pada kemampuannya mempertahakan posisi di jalur idealisme dan domain kekuatan moral, tapi juga kemampuannya memahami masyarakat, memahami perubahan masyarakat, dan memahami perubahan kebutuhan masyarakat.
Secara lebih tajam lagi, memahami saja tidak cukup, melainkan harus mampu menyajikan produk (isi maupun desain) yang pas dengan kebutuhan masyarakat.
Dengan melihat secara demikian, kepergian almarhum Dr Mansyur Semma bukan hanya kehilangan besar bagi keluarga maupun almamaternya. Ada ruang kosong yang ditinggalkan almarhum, terutama dalam perannya sebagai intelektual, sebagai kekuatan moral, yang membawa misi pencerahan masyarakat melalui tulisan di media massa dan perannya sebagai pembicara di berbagai acara seminar dan diskusi. Saya kira, masyarakat dan pers membutuhkan banyak sosok yang bisa berperan seperti almarhum.***
* Bahan diskusi pada acara bedah buku ”Negara dan Korupsi” serta ”Media dan Perubahan Politik Represif” di Gedung PKP Universitas Hasanuddin, Makassar, pada Kamis, 16 Oktober 2008.
No comments:
Post a Comment