Ask the Tribun Timur Editor
Kampanye Pilkada, Empat Catatan
Dahlan,
Pemimpin Redaksi Tribun Timur, Makassar
Selama dua pekan sejak 12 Oktober 2008, tujuh pasang kandidat yang bertarung pada pemilihan Wali Kota-Wakil Wali Kota Makassar menggelar kampanye. Setelah tiga hari masa tenang, pencoblosan akan dilakukan pada 29 Oktober.
Dari segi jumlah penduduk, Makassar merupakan kota terbesar kedua di luar Jawa setelah Medan. Jumlah pemilih hampir satu juta, lebih besar dari jumlah pemilih negara Timur Leste. Ini kota yang tumbuh dengan infrastruktur jalan, bandara, pelabuhan, dan fasilitas jasa menuju mentropolitan.
Pilkada (atau pemilu) merupakan mekanisme demokrasi dalam masyarakat beradab untuk memilih pemimpin. Demokrasi, pada akhirnya, bertujuan mensejahterakan rakyat. Pilkada adalah mekasnisme, cara. Sedangkan kesejahteraan rakyat adalah tujuannya.
Untuk mendekatkan kita pada tujuan itu, setidaknya ada empat catatan dalam konteks Makassar.
Pertama: Visi vs Pragmatisme
Visi menggambarkan tujuan besar, arah, destination. Visi menjawab pertanyaan, where to go. Pragmatisme menyentuh hal-hal praktis, kadang-kadang malah tanpa visi. Ia menjawab pertanyaan what to do. Pragmatisme tanpa visi menggiring kita ke hutan rimba. Ke dalam pragmatisme kita gampang tersesat.
Akan dibawa ke mana Makassar: Menjadi kota metropolitan? Kota jasa? Kota industri? Kota pelabuhan? Kota wisata? Kota pendidikan?
Mungkin informasi saya kurang, tapi saya kurang bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan itu setelah membaca visi-misi para kandidat.
Ada begitu banyak yang dijanjikan, tapi tidak ada yang benar-benar fokus, tidak ada yang tajam, untuk bisa dengan yakin menjawab pertanyaan tentang akan dibawa ke mana Makassar.
Ada banyak sekali program gratis: gratis ini dan gratis itu. Dan saya bertanya, apakah para calon itu menjanjikan kota gratis?
Kedua: Visi vs Populisme
Populis tidak selalu harus benar secara akademik, bahkan tidak perlu benar secara moral. Itulah memang harga yang harus dibayar oleh demokrasi. Di dalam masyarakat yang mayoritasnya peminum bir, peminum birlah yang menang. Bila pemilihnya banyak preman, maka premanlah yang menang.
Kecenderungan populis hanya bisa dilawan oleh pemimpin dengan level negarawan. Pemimpin di level ini memiliki karakter yang kuat. Ia dicintai rakyat bukan karena janji-janjinya, tapi karena karakter dan visinya yang kuat.
Tanpa kualitas kenegarawanan, dapat dimaklumi, dalam kampanye di Makassar kita melihat para calon lebih percaya diri mengemukakan tema kampanye yang populis –tidak penting apakah itu masuk akal atau tidak, bahkan tidak penting apakah program itu lahir dari visi atau tidak. Bahkan tidak penting apakah program itu bisa dijalankan secara efektif dan efisien atau tidak.
Tanyalah para kandidat, apakah mereka akan menggusur pedagang kaki lima di pinggir jalan? Pasti jawabannya adalah tidak. Tidak ada yang berani melawan arus populis, kendati itu baik.
Pedagang kaki lima yang memanfaatkan jalur pedestrian mengganggu pejalan kaki. Di kota maju manapun di dunia ini, jalur pedestrian adalah prioritas utama demi melindungi dan memberikan kenyamanan bagi warga kota yang tidak sanggup membeli mobil. Itulah trend kota-kota besar di dunia dan Makassar menuju ke sana. Tapi para calon, karena kepentingan pragmatisme dan populisme, tidak ada yang berani melawan pedagang kaki lima.
Petepete (angkutan kota) membuat jalan raya semrawut. Sudah begitu tarifnya mahal, katakanlah dibanding tarif angkutan massal seperti bus atau kereta api. Seluruh kota besar modern di dunia menggunakan moda transportasi itu, tapi di Makassar, adakah kandidat yang berani mengkampanyekan penghapusan petepete?
Ketiga: Program Kandidat vs Keterbatasan Pers
Kita resah dengan gejala pragmatisme dan populisme, tapi apa yang bisa dilakukan pers? Seharusnya, pers ikut mengkritisi, memberikan konteks, dan melakukan pendidikan politik.
Bagaimana caranya –itulah soalnya. Media massa tidak berdiri sendiri. Ia hidup dan tumbuh bersama masyarakat. Pers terikat pada sejumlah kaidah jurnalistik dan etis yang membatasi langkahnya untuk secara leluasa menyuarakan apa yang menjadi keprihatinan pengelolanya.
Pers mempublikasikan suara masyarakat. Maka bila ingin kritis terhadap para kandidat, terhadap program-program mereka, pertama-tama masyarakat harus kritis, demikian juga pers. Pers tidak bisa kritis seorang diri.
Keempat: Jargon Top Down vs Penyadaran Botton Up
Kampanye adalah pasar kata-kata. Kumpulan kata itu meluncur dari atas ke bawah, dari kandidat ke publik. Kata-kata itu diproduksi berulang-ulang. Sedemikian berulangnya, apa yang salah bisa menjadi benar dan apa yang salah bisa seolah-olah benar.
Harus ada kekuatan masyarakat yang netral dan independen yang memproduksi kata-kata dan diluncurkan ke publik. Kata-kata yang diluncurkan oleh kekuatan masyarakat yang netral dan independen itu bertujuan memberikan pencerahan kepada publik agar pemilih bisa menentukan pilihan berdasarkan informasi publik yang memadai.
Saya ulangi lagi pernyataan ini: Pilkada (atau pemilu) merupakan mekanisme demokrasi dalam masyarakat beradab untuk memilih pemimpin. Demokrasi, pada akhirnya, bertujuan mensejahterakan rakyat. Pilkada adalah mekasnisme, cara. Sedangkan kesejahteraan rakyat adalah tujuannya.
• Bahan dialog demokrasi dengan tema ”Membaca Peta Problem Pilkada Walikota Makassar 2008” yang diselenggarakan oleh Koordinator Kota Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Makassar di Hotel Bumi Asih, Makassar, pada Rabu, 15 Oktober 2008
No comments:
Post a Comment