Wednesday, November 19, 2008

Bukan Upi, Tapi Tentang Kita

Ask the Tribun Timur Editor

Sebelum saya ke Manado, Sabtu pekan lalu, Upi dkk ke kantor Tribun. Ada Iwan Taruna, Merah, Ina, Ana, Ica, Fadil, dan beberapa lagi. Hera juga hadir. Syarif kebetulan sedang libur. Kami berdiskusi, Upi yang memimpin.

Tidak ada salahnya saya sampaikan beberapa hal di forum ini, semoga relevan.


Sebelum saya ke Manado, Sabtu pekan lalu, Upi dkk ke kantor Tribun. Ada Iwan Taruna, Merah, Ina, Ana, Ica, Fadil, dan beberapa lagi. Hera juga hadir. Syarif kebetulan sedang libur. Kami berdiskusi, Upi yang memimpin.

Tidak ada salahnya saya sampaikan beberapa hal di forum ini, semoga relevan.

Pertama, apa masalah Upi dan Kapolda? Buat saya, masalahnya sangat jelas: Cara berpikir seorang pejabat publik yang mengancam kebebasan pers. Cara berpikir yang berbahaya itu dikampanyekan di depan publik, berulang-ulang.

Dia bilang, jangan pakai UU Pers, gunakan KUHP. Di UU Pers, wartawan --karena itu juga kebebasan pers-- dilindungi. Begitulah memang niat UU itu. Sedangkan KUHP menempatkan wartawan sebagai calon terpidana dengan jeratan pasal-pasal yang elastis seperti gelang karet: biasa dipakai semau polisi. Dan bila polisi menjadi alat penguasa, pasal-pasal semau gue itu bisa dipakai penguasa semau gue.

Keterampilan wartawan ada tiga: mencari, menulis, dan melaporkan berita. Dengan cara berpikir pejabat publik yang berbahaya itu, maka keterampilan wartawan harus ditambah satu lagi: terampil berurusan dengan polisi, jaksa, lalu hakim. Wartawan harus datang tiap hari ke kantor polisi, bukan untuk meliput, tapi diperiksa sebagai saksi atau tersangka.

Untung ada Upi. Dia melawan itu, dengan risiko kehilangan pekerjaan, diperiksa polisi berjam-jam, dan (akan) disidang di pengadilan. Upi digerakan oleh satu nilai dan keyakinan yang luhur bahwa kebebasan pers harus dilindungi karena hanya dengan cara itu masyarakat mendapatkan informasi dari pers tentang kebenaran, bukan kepalsuan. Upi yakin kebebasan pers akan menempatkan martabat wartawan pada posisi yang seharusnya.

Saya rasa, soalnya lalu bukan Upi dan Kapolda. Dalam rapat di kantor Tribun saya katakan, apa yang kita lihat sebenarnya adalah masalah antara wartawan dan pejabat publik yang cara berpikirnya mengancam kebebasan pers. Cara berpikir itu dinyatakan di depan publik, dan karena itu, cara berpikir tersebut sangat berbahaya: tidak cuma mengancam kebebasan pers, tapi jauh lebih penting, mengancam hak masyarakat untuk mendapatkan kebenaran.

Pada konteks yang lebih luas, apa yang kita khawatirkan adalah, kita melihat ada yang berusaha merangkai kembali bangunan cara berpikir Orde Baru yang hancur berkeping-keping tahun 1998. Bila cara berpikir itu menemukan tempat, apalagi mendapat pendukung, kita sedang menyongsong kehancuran (kembali).

Dengan demikian, sangat jelas masalahnya, sangat terang apa target perjuangan Upi dan teman-temannya di Makassar.

Lalu soal kedua, bagaimana cara mencapai target perjuangan tersebut.

Salah satunya, dialog. Saya setuju, bahkan menghimbau Upi dkk, agar tidak menutup pintu dialog. Dialog adalah cara bermartabat bangsa-bangsa beradab menyelesaikan perbedaan. Yang terpenting, dialog tidak mengaburkan target, apalagi menghancurkan tujuan.

Dalam dialog itu, saya minta tolong kepada Upi dkk agar mengedepankan kedewasaan dan rasionalitas. Simpan emosi. Masalahnya sama sekali tidak personal. Masalahnya bersifat publik. Jangan ada permusuhan pribadi.

Beberapa pejabat dan tokoh menanyakan pendapat saya mengenai ini. Itulah yang saya katakan.




No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...