Ask the Tribun Timur Editor
Dari blog teman Achmad Subechi, Pemimpin Redaksi Tribun Kaltim
Ribetnya Bertemu Jusuf Kalla
Oleh Achmad Subechi - 20 Maret 2009 - Dibaca 435 Kali -
ISTANA adalah simbol kekuasaan. Hanya mereka-mereka yang dekat dan punya jaringan dengan sang penguasa yang bisa masuk ke rumah kekuasaan. Seumur-umur menjadi wartawan, baru dua kali saya menginjakan kaki ke Istana kepresidenan. Undangan berkali-kali tiba. Tapi ada rasa enggan melangkahkan kaki ke tempat itu, karena dulu saya ‘terprovokasi’ pidato seorang kyai dan intelektual Islam yang mengatakan, “Akan melahirkan fitnah bagi siapa saja yang datang ke tempat-tempat penguasa…”
Kedatangan kali pertama saya ke ruang Jepara Istana Presiden, ketika Gus Dur telah menjadi Presiden. Kira-kira dua pekan sebelum kekuasaan Gus Dur jatuh, saya tiba-tiba tergerak untuk masuk ke Istana hanya sekedar menemui Yenny Wahid, putri Gus Dur.
Sayang setelah menunggu sekian jam, Yenny tak bisa menemui saya karena ia ada acara mendadak. Kecewa? Tidak… Terasa nyaman berada di ruang Jepara. Baru duduk beberapa menit, petugas Paspampres menyajikan teh manis. Bahkan, selama berada di ruang itu, saya terkenang peristiwa masa lalu, detik-detik menegangkan antara BJ Habibie dan Soeharto menjelang kursi kekuasaannya runtuh. Kalau tidak salah, beberapa jam menjelang Soeharto menyerahkan tongkat estafet kepemimpinannya, BJ Habibie terlihat tegang lantaran Soeharto mulai bersikap lain.
Gagal bertemu Yenny, saya melangkahkan kaki pulang ke kantor. Malam harinya, rombongan Paspamres datang ke kantor saya di kawasan Palmerah Selatan. Ternyata, Yenny Wahid membawa dua ikat rambutan yang dibeli di Pasar Palmerah. Sebagai gantinya, Yenny saya belikan soto ayam yang ada di depan kantor.
***
KAMIS (19/3) siang handphone saya berdering. “Kak Bec… kita ditunggu Pak Jusuf Kalla di Istana Wapres siang ini. Jangan lupa bawa baju batik dan jangan pakai celana jean. Saya tunggu di kantor ya,” pesan Dahlan, Pemimpin Redaksi Tribun Timur. “Siaaapppp…..” kata saya.
Siang itu juga saya bergerak meluncur ke kantor mengenakan kaos, pakai topi dan celana jean. Dahlan yang sudah lama menunggu mendadak kaget melihat penampilan saya. “Mana batiknya? Kok pakai kaos” “Ah entar beli aja di pasar… ” “Lho kita mau ke Istana Wapres sama siapa saja?” tanya saya. “Ehmmm ada Pak Herman Darmo (Dirkel Persda), Mas Domu (Wakil Kepala Biro Persda) dan Kak Bec.” “Dalam rangka apa?” “Saya juga enggak tahu. Yang jelas Pak JK mau bertemu kita-kita,” tambah Dahlan.
Saya temui Domu yang lagi sibuk ngetik di depan komputer. “Dom.. lu udah beli batik belum?” “Ini bos… saya mau ke pasar. Mas Dahlan tadi sudah belanja. Beliau beli celana dan pakaian.” Wah gawat… “Okey Dom… Ayuk kita pergi beli pakaian…” Dari kantor kami cukup berjalan kaki menuju Pasar Palmerah yang lokasinya tak begitu jauh dari kantor.
Kami berdua kemudian membeli dua buah pakaian batik lengan pendek dan dua buah celana panjang serta sepotong sisir rambut. “Wah… untuk bertemu JK saja kita harus ngeluarin duit dulu ya Dom… beli ini itu…” canda saya.
Nah, ketika semua pakaian sudah terbeli dan kami hendak berangkat ke kantor, Domu lagi-lagi saya ingatkan. “Apa celana kamu enggak terlalu panjang? Postur tubuhmu kan tidak begitu tinggi.” “Siapppp bos… Saya lari saja ke tukang jahit pakaian di seberang.” Nah, di tempat jahit yang luasnya berukuran 1,5 meter kali satu meter, Domu meminta Pak Tua (sang penjahit) segera memotong bagian bawah celana panjangnya. “Mau ditunggu atau diambil besok?”
“Saya tunggu sekarang Pak. Saya mau menemui Pak Wapres Jusuf Kalla,” sahut Domu. Si tukang jahit tertawa lebar. “Hebatttt ya bisa bertemu wakil presiden…” Lima belas menit kemudian, celana panjang itu sudah kelar dipermak. Lalu kami berangkat ke kantor menjemput teman-teman yang lain.
Mobil meluncur ke Istana Wakil Presiden. “Mau bertemu siapa?” tanya Paspampres.. “Kami mau bertemu Pak Jusuf Kalla.” “Apa sudah mendaftar?” “Sudah….” “Okey silakan parkir lalu masuk ke gedung sebelah sana.”
Nah, saat hendak melangkahkan kaki menuju ruangan wapres, seorang wanita meminta kami agar lewat pintu depan dan Pak JK sudah menunggu. Di ruangan tamu pertama, terlihat 10 kursi dan meja panjang. Ada tiga buah lukisan terpanjang di dinding. Lukisan pertama adalah nuansa mirip Tanah Lot, Bali. Lukisan kedua seorang wanita sedang melamun dan lukisan tiga,, semacam mentari tapi di bawahnya terdapat ikan-ikan sedang berebutan makanan.
“Apa arti lukisan itu?” tanya saya kepada Bian, sang fotografer Persda. “Ehmmm… saya enggak tahu artinya. Yang jelas mentari itu seperti makanan ikan, kayak cacing yang digulung-gulung, trus ikannya sedang menanti makanan dari atas,” ungkap Bian.
Sambil merenung memikirkan apa makna dari lukisan itu, tiba-tiba muncul anak muda dari ruangan wapres. Namanya Erwin Aksa Mahmud. Kami sudah cukup lama kenal. Dia masih ada hubungan famili dengan Jusuf Kalla. Penampilannya sederhana, murah senyum dan santun. Sambil menunggu panggilan, ngobrolah kami di ruang tamu, sekali-kali bercanda. “Win… anak-anak ini tadi baru beli baju batik semua,” kata Herman Darmo setengah bercanda.
Erwin kemudian ikut ketawa ngakak karena mendengar kepolosan kami yang memang jarang pakai pakaian batik kalau tidak ada acara formil. Maklum, kami-kami adalah wartawan yang biasa di lapangan. Jadi pakai batik, rasanya kurang apa ya….
Ditengah obrolan itu seorang Paspampres wanita mendatangi kami. “Waktu yang diberikan bapak-bapak 20 menit.” Lagi-lagi… “Siaaappppppppppppp….” Tak lama kemudian, kami dipanggil masuk menuju ruang tamu kedua. “Apa nama ruang tamu ini Mas Yadi (staf wapres)?” tanya saya. “Kagak ada namanya Mas… Namanya ya ruang tamu,” jawabnya. Mendengar jawaban itu, semua ketawa. Sepuluh menit kemudian, ajudan mengingatkan. “Bapak mau masuk ke ruangan.”
Pak JK dengan wajah kelihatan lelah, menyambut kami. Ia lalu duduk, kemudian menebar senyum dan sedikit menghela nafas. Obrolan dimulai dari bagaimana caranya JK mengelola negeri ini. Kemudian berlanjut ke persoalan politik, pendidikan, SDM, SDA, isu-isu lokal dan masalah krisis global.
Sekilas saya menangkap kesan, JK benar-benar entpreneur sejati yang mengandalkan intuisinya dalam memanage negeri ini. Ia berani menantang arus, mengeluarkan kebijakan yang dinilai tidak populer walau menuai protes sekalipun. Ia juga bercerita panjang lebar tentang pengalamannya ketika menghadiri sebuah pertemuan di Jepang menyangkut pemanasan global.
Akhirnya, pertemuan kami harus berakhir setelah hampir satu jam bersama JK. Padahal, sesuai dengan jadwal yang dibuat protokoler, kami hanya diberi waktu 20 menit. Ternyata tembus sampai satu jam. JK terlihat puas, kami juga puas karena telah mendapatkan kesempatan khusus untuk melakukan wawancara dan hasilnya dinikmati pembaca esok harinya….
Share on Facebook
7 tanggapan untuk “Ribetnya Bertemu Jusuf Kalla”
1. Nufransa Wira Sakti,
— 20 Maret 2009 jam 9:12 am
Pengalaman yang menarik Mas Bec. Tidak semua orang punya kesempatan untuk menemui wapres. Liputan detil tentang materi pembicaraannya juga ditunggu nih. Batiknya jangan lupa disimpan di kantor, jadi kalau ada undangan lagi tidak perlu beli yang baru. :D
-Frans-
2. nathalia,
— 20 Maret 2009 jam 11:50 am
kalo sekarang gampang mas, tinggal buka aja blognya heee
3. Dion DB Putra,
— 20 Maret 2009 jam 12:43 pm
Haha…makanya Dom, Bech siap selalu batik. Liputannya great!
4. achmad subechi,
— 20 Maret 2009 jam 3:19 pm
Nufransa: Siappp mass… Perintah dilaksanakan. He.. he.. he.. Sukses selalu. Termasuk buat Nathalia dan Mas Dion..
5. rizaldo,
— 20 Maret 2009 jam 5:37 pm
luar biasa mas pengorbanannya. salut…
6. Bambang Darmanto,
— 21 Maret 2009 jam 6:41 pm
mas Bec dkk nggak diperiksa dulu sepatunya sama JK ? huehehehe
7. achmad subechi,
— 21 Maret 2009 jam 7:57 pm
Huaha.. ha.. ha… Dalam pertemuan itu beliau juga sempat menyinggung sepatu Cibaduyut. Untungnya saya pakai sepatu merk Indonesia yang murah meriah… he.. he.. he…
8. Dahlan, Your comment is awaiting moderation.
— 1 April 2009 jam 12:17 am
Mantap Pak Becki
No comments:
Post a Comment