Ask the Tribun Timur Editor
Artikel ini juga dimuat di tribun-timur.com dan Tribun Timur edisi cetak.
Mengapa Menangis di Kakbah
Sabtu, 22 Agustus 2009 | 14:18 WITA
MANA kala orang dengan bangga bercerita menangis di samping Kakbah, otak rasional saya selalu bertanya: mengapa harus menangis. Bukankah mestinya bergembira menyaksikan begitu banyak hal-hal fisik duniawi yang mengagumkan di Mekah?
Bukankah wanita-wanita Arab itu--yang hidungnya mancung-mancung, mata biru dan cokelat, dengan tubuh langsing yang dibalut kulit putih halus--cantik-cantik? Masjidil Haram juga begitu hebat sebagai karya arsitektur. Keramik terbaik, ukiran terbaik. Ini masjid terbesar di dunia, mampu menampung lebih 700 ribu jamaah atau separuh dari penduduk Kota Makassar. Seluruh orang Bone tumpah ke masjid ini pun, tetap saja masjid tidak penuh.
Lihat Juga: Gairah Bertemu Tuhan
Otak rasional juga bertanya, mengapa orang-orang itu, dari seluruh bangsa, dari Turki, dari Inggris, dari Jerman, dan Amerika, dari India, dari Pakistan, dari Rusia, dari China, berbondong-bondong ke masjid ini, tanpa henti, siang maupun malam, sepanjang malam. Mengapa memakai pakaian ihram yang merepotkan, yang kalau kedodoran bisa telanjang bulat. Mengapa berjalan kaki, yang kalau digabungkan bisa berkilo-kilo, di tengah suhu panas 39 derajat Celcius pada malam hari.
***
TADI malam waktu Mekah (lima jam lebih lambat dari Makassar), Wapres Jusuf Kalla dan rombongan melaksanakan tawaf (mengelilingi Kakbah tujuh kali), sai (berjalan dari Bukit Syafa ke Bukit Marwah tujuh kali), dan tahalul (menggunting rambut minimal tiga helai).
Itulah tiga rukun umrah. Tiga lainnya dilakukan lebih dulu, yakni miqat (di Jeddah, dari dalam bus di halaman Hotel Intercontinental), niat umrah, dan mengenakan pakai ihram (dua lembar kain tanpa jahitan).
Rombongan Kalla menginap di dua hotel di Mekkah, Intercontinental Hotel dan Zamzan Hotel.
Dua hotel ini berdekatan. Juga dekat dengan Masjidil Haram, masjid yang mengelilingi Kakbah. Kami masuk ke masjid melalui pintu King Abdul Aziz.
Kalla dan beberapa pejabat penting, termasuk Aksa Mahmud, VVIP, menginap di Interconental. Kami yang VIP saja menginap di Zamzam. Di sini ada artis Nurul Arifin, inetelektual Azyumardi Azra, politisi Golkar dan mantan menteri, Syamsul Maarif.
Saya kebagian kamar 338 di Zamzam. Dari ruang bawah tanah tempat parkir mobil, pencet P11 di lift menuju lobi. Artinya lobi di lantai 11. Jalan masuk menuju parkir lewat terowongan. Di atas terowongan merupakan lantai Masjidil Haram. Jadi jamaah salat di masjid suci itu "di atas" mobil yang lalu lalang di terowongan.
Dari lobi, jalan kaki melewati pusat perbelanjaan mewah, ya kira-kira sama dengan Plaza Senayan di Jakarta atau atau sedikit di atas kelas Mal Ratu Indah di Makassar. Hanya beberapa menit berjalan, kita sudah masuk kawasan Masjidil Haram. Pada saat azan di Masjidil Haram, suaranya dipancarkan melalui jaringan pengeras suara, masuk ke toko-toko di mal ini, serta menusuk hingga kamar hotel (kecuali toilet).
Saya, Fahmy Miala (pensiunan wartawan Kompas yang sudah delapan kali umrah serta beberapa kali berhaji), serta Husain Abdullah (RCTI), melanjutkan rukun umrah tawaf, sai, dan tahalul bertiga, terpisah dari rombongan Kalla.
Masuk ke kawasan Masjidil Haram, dengan pakaian ihram, terus terang saya mengharapkan mendapat pengalaman seperti jamaah-jamaah lainnya yang khuyuk sampai meneteskan air mata.
Tidak, tidak sama sekali. Jujur, ini sungguh jujur. Kami memulai tawaf usai salat Isya dari sudut Hajar Aswad, begitu memang mestinya, bersama ribuan jamaah lainnya, berdesak-desakan di malam hiruk pikuk di bawah siraman udara gurun yang panasnya 39 derajat Celsius.
Kakbah terletak di sisi kiri, berjalan, sambil membaca doa-doa. Saya tidak tahu hendak berdoa apa: melafalkan doa sendiri atau membaca tuntunan doa yang disiapkan penyelenggara umrah. Ada tertulis, tinggal pilih mau versi Arabnya atau versi Indonesianya.
Di satu sisi, sebagai jamaah umrah yang baru, rugi rasanya melepaskan kesempatan melihat Kakbah dari dekat. Asyik juga melihat jamah dari berbagai bangsa bertawaf mengelilingi Kakbah. Pikiran terpecah, perhatian terpecah, dan hati pun terpecah.
Hati dan otak berdiskusi keras. Saya tidak fokus, saya pun tidak meneteskan air mata. Perasaan saya biasa-biasa saja. Begitulah, tawaf putaran pertama berlangsung dengan perasaan hampa, kosong.
Fisik saya ada begitu dekat dengan rumah Allah, di tanah Mekah yang disucikan, di tanah yang dijaga para malaikat, tapi hati saya biasa-biasa, seperti melaksanakan salat di rumah saja rasanya.
Saya pelan-pelan mulai belajar. Tawaf putaran pertama terlewatkan begitu saja, sambil melihat dari dekat empat sisi Kakbah dan Maqom Ibrahim tempat dua tapak kaki Nabi Ibrahim diabadikan di depan Kakbah, di samping Hajar Aswad.
Putaran kedua, pelan-pelan hati mulai terbuka. Kira-kira seperdelapan perjalanan tawaf saya gunakan untuk membaca doa seperti tertera di buku panduan, dengan suara besar, dalam bahasa Indonesia. Sisanya memanjatkan doa lain, asli, dalam bahasa Indonesia.
Selain tidak terlalu mengerti, malu rasanya memanjatkan doa dalam bahasa Arab di tengah orang-orang Arab. Inilah mulanya: saya melihat orang-orang Arab itu tetap saja berdoa sambil membaca buku atau berdoa mengikuti pembimbing. Artinya, mereka sama saja, tidak juga bisa menghafal doa yang panjang-panjang.
Akhirnya, saya pun membaca doa setiap putaran sesuai isi buku dengan suara besar. Lantunan doa dengan suara besar membuat otak dan hati berkomunikasi. Lewat lantunan doa dengan suara besar, pelan-pelan otak rasional dilumpuhkan, dan pada saat yang sama, pintu hati bawa sadar seperti diketuk-ketuk.
Lama kelamaan, hati bawah sadar mengirimkan respons, memancarkan getaran-getaran aneh dalam tubuh. Pada saat itu, tubuh tinggal menjadi wadah, otak rasional dilumpuhkan, dan hati bawah sadar muncul menjadi penguasa raga.
Dari hati bawah sadar itulah terkirim pesan-pesan Ilahiah: pelan, tapi kadang muncul, lalu hilang. Itulah awalnya.
Rupanya memang benar, pengalaman adalah guru terbaik. Saya membayangkan sulit menjadi haji mambrur atau bahkan sulit melaksanakan umroh dengan khusuk, dengan menangis-menangis, bila hanya sekali saja.
Mungkin karena inilah mengapa banyak orang tidak puas dengan sekali berhaji. Bahkan tetap tidak puas dengan 5-6 kali haji atau delapan kali umrah seperti Haji Fahmi.
Tadi (kemarin) subuh, saya salat di Masjidil Haram. Karena semalam tubuh letih sehabis tawaf dan sai, kami ketiduran. Suara adzan dari Masjidil Haram yang masuk melalui pengeras suara hotel membangunkan saya.
Kami tiba di masjid ketika sebagian jamaah sudah pulang. Sehabis salat, hati terpanggil untuk melaksakan tawaf lagi.
Luar biasa, mungkin karena panggilan hati bawa sadar, barusan memulai tawaf, hati bawah sadar menggetarkan tubuh, menghasilkan getaran-getaran yang indah. Tidak terasa haru menyelumuti tubuh, membangkitkan bulu kuduk, dan mendorong mata mengeluarkan air yang bening. Subhanallah, indah sekali.
Sama sekali tidak lagi peduli dengan lautan jamaah lain yang juga bertawaf, saya berteriak keras, Allahu Akbar, subhanallah. Air mata makin kencang mengalir. Saya benar-benar menikmati tawaf ini sejak putaran pertama.
Hati bawah sadar seperti sudah connect (tersambung) dengan sinyal-sinyal Ilahiah, menghasilkan sinyal-sinyal getaran tak kelihatan di tubuh dan mewujudkan diri dalam bentuk bulir-bulir air
mata.
Makin kencang saya berteriak Allahu Akbar, makin kencang getaran itu, makin deras air mata mengalir, makin indah. Ini pengalaman spritual yang luar biasa. Sekitar satu jam mengelilingi
Kakbah tujuh putaran, tubuh terasa makin segar, kian kuat, bukannya makin letih.
Hati bawah sadar si penguasa tubuh kala itu mampu menyulap tubuh letih menjadi indah, menjadi nikmat. Tubuh mestinya letih melewati penerbangan 9,5 jam Jakarta-Jeddah, perjalanan darat satu jam Jeddah-Mekah, dan proses tawaf dan sai yang meletihkan tadi malam, plus tidur hanya sekitar empat jam.
Tapi, itulah kekuatan hati. Letih lenyap berganti gairah, passion. Saya segera ke Masjidil Haram, menunggu salat Jumat. Saya datang ke tanah Mekah yang disucikan Allah, mencium batu dari surga, Hajar Aswad, memegang Kakbah sambil menangis, tapi saya tidak tahu apakah saya semakin dekat dengan Tuhan. Yang saya rasakan: hati bawah sadar, jiwaku, rohku, semakin dekat dengan-Nya. Insya Allah.***
Laporan Haji dan Umroh
Artikel ini juga dimuat di tribun-timur.com dan Tribun Timur edisi cetak.
Mengapa Menangis di Kakbah
Sabtu, 22 Agustus 2009 | 14:18 WITA
MANA kala orang dengan bangga bercerita menangis di samping Kakbah, otak rasional saya selalu bertanya: mengapa harus menangis. Bukankah mestinya bergembira menyaksikan begitu banyak hal-hal fisik duniawi yang mengagumkan di Mekah?
Bukankah wanita-wanita Arab itu--yang hidungnya mancung-mancung, mata biru dan cokelat, dengan tubuh langsing yang dibalut kulit putih halus--cantik-cantik? Masjidil Haram juga begitu hebat sebagai karya arsitektur. Keramik terbaik, ukiran terbaik. Ini masjid terbesar di dunia, mampu menampung lebih 700 ribu jamaah atau separuh dari penduduk Kota Makassar. Seluruh orang Bone tumpah ke masjid ini pun, tetap saja masjid tidak penuh.
Lihat Juga: Gairah Bertemu Tuhan
Otak rasional juga bertanya, mengapa orang-orang itu, dari seluruh bangsa, dari Turki, dari Inggris, dari Jerman, dan Amerika, dari India, dari Pakistan, dari Rusia, dari China, berbondong-bondong ke masjid ini, tanpa henti, siang maupun malam, sepanjang malam. Mengapa memakai pakaian ihram yang merepotkan, yang kalau kedodoran bisa telanjang bulat. Mengapa berjalan kaki, yang kalau digabungkan bisa berkilo-kilo, di tengah suhu panas 39 derajat Celcius pada malam hari.
***
TADI malam waktu Mekah (lima jam lebih lambat dari Makassar), Wapres Jusuf Kalla dan rombongan melaksanakan tawaf (mengelilingi Kakbah tujuh kali), sai (berjalan dari Bukit Syafa ke Bukit Marwah tujuh kali), dan tahalul (menggunting rambut minimal tiga helai).
Itulah tiga rukun umrah. Tiga lainnya dilakukan lebih dulu, yakni miqat (di Jeddah, dari dalam bus di halaman Hotel Intercontinental), niat umrah, dan mengenakan pakai ihram (dua lembar kain tanpa jahitan).
Rombongan Kalla menginap di dua hotel di Mekkah, Intercontinental Hotel dan Zamzan Hotel.
Dua hotel ini berdekatan. Juga dekat dengan Masjidil Haram, masjid yang mengelilingi Kakbah. Kami masuk ke masjid melalui pintu King Abdul Aziz.
Kalla dan beberapa pejabat penting, termasuk Aksa Mahmud, VVIP, menginap di Interconental. Kami yang VIP saja menginap di Zamzam. Di sini ada artis Nurul Arifin, inetelektual Azyumardi Azra, politisi Golkar dan mantan menteri, Syamsul Maarif.
Saya kebagian kamar 338 di Zamzam. Dari ruang bawah tanah tempat parkir mobil, pencet P11 di lift menuju lobi. Artinya lobi di lantai 11. Jalan masuk menuju parkir lewat terowongan. Di atas terowongan merupakan lantai Masjidil Haram. Jadi jamaah salat di masjid suci itu "di atas" mobil yang lalu lalang di terowongan.
Dari lobi, jalan kaki melewati pusat perbelanjaan mewah, ya kira-kira sama dengan Plaza Senayan di Jakarta atau atau sedikit di atas kelas Mal Ratu Indah di Makassar. Hanya beberapa menit berjalan, kita sudah masuk kawasan Masjidil Haram. Pada saat azan di Masjidil Haram, suaranya dipancarkan melalui jaringan pengeras suara, masuk ke toko-toko di mal ini, serta menusuk hingga kamar hotel (kecuali toilet).
Saya, Fahmy Miala (pensiunan wartawan Kompas yang sudah delapan kali umrah serta beberapa kali berhaji), serta Husain Abdullah (RCTI), melanjutkan rukun umrah tawaf, sai, dan tahalul bertiga, terpisah dari rombongan Kalla.
Masuk ke kawasan Masjidil Haram, dengan pakaian ihram, terus terang saya mengharapkan mendapat pengalaman seperti jamaah-jamaah lainnya yang khuyuk sampai meneteskan air mata.
Tidak, tidak sama sekali. Jujur, ini sungguh jujur. Kami memulai tawaf usai salat Isya dari sudut Hajar Aswad, begitu memang mestinya, bersama ribuan jamaah lainnya, berdesak-desakan di malam hiruk pikuk di bawah siraman udara gurun yang panasnya 39 derajat Celsius.
Kakbah terletak di sisi kiri, berjalan, sambil membaca doa-doa. Saya tidak tahu hendak berdoa apa: melafalkan doa sendiri atau membaca tuntunan doa yang disiapkan penyelenggara umrah. Ada tertulis, tinggal pilih mau versi Arabnya atau versi Indonesianya.
Di satu sisi, sebagai jamaah umrah yang baru, rugi rasanya melepaskan kesempatan melihat Kakbah dari dekat. Asyik juga melihat jamah dari berbagai bangsa bertawaf mengelilingi Kakbah. Pikiran terpecah, perhatian terpecah, dan hati pun terpecah.
Hati dan otak berdiskusi keras. Saya tidak fokus, saya pun tidak meneteskan air mata. Perasaan saya biasa-biasa saja. Begitulah, tawaf putaran pertama berlangsung dengan perasaan hampa, kosong.
Fisik saya ada begitu dekat dengan rumah Allah, di tanah Mekah yang disucikan, di tanah yang dijaga para malaikat, tapi hati saya biasa-biasa, seperti melaksanakan salat di rumah saja rasanya.
Saya pelan-pelan mulai belajar. Tawaf putaran pertama terlewatkan begitu saja, sambil melihat dari dekat empat sisi Kakbah dan Maqom Ibrahim tempat dua tapak kaki Nabi Ibrahim diabadikan di depan Kakbah, di samping Hajar Aswad.
Putaran kedua, pelan-pelan hati mulai terbuka. Kira-kira seperdelapan perjalanan tawaf saya gunakan untuk membaca doa seperti tertera di buku panduan, dengan suara besar, dalam bahasa Indonesia. Sisanya memanjatkan doa lain, asli, dalam bahasa Indonesia.
Selain tidak terlalu mengerti, malu rasanya memanjatkan doa dalam bahasa Arab di tengah orang-orang Arab. Inilah mulanya: saya melihat orang-orang Arab itu tetap saja berdoa sambil membaca buku atau berdoa mengikuti pembimbing. Artinya, mereka sama saja, tidak juga bisa menghafal doa yang panjang-panjang.
Akhirnya, saya pun membaca doa setiap putaran sesuai isi buku dengan suara besar. Lantunan doa dengan suara besar membuat otak dan hati berkomunikasi. Lewat lantunan doa dengan suara besar, pelan-pelan otak rasional dilumpuhkan, dan pada saat yang sama, pintu hati bawa sadar seperti diketuk-ketuk.
Lama kelamaan, hati bawah sadar mengirimkan respons, memancarkan getaran-getaran aneh dalam tubuh. Pada saat itu, tubuh tinggal menjadi wadah, otak rasional dilumpuhkan, dan hati bawah sadar muncul menjadi penguasa raga.
Dari hati bawah sadar itulah terkirim pesan-pesan Ilahiah: pelan, tapi kadang muncul, lalu hilang. Itulah awalnya.
Rupanya memang benar, pengalaman adalah guru terbaik. Saya membayangkan sulit menjadi haji mambrur atau bahkan sulit melaksanakan umroh dengan khusuk, dengan menangis-menangis, bila hanya sekali saja.
Mungkin karena inilah mengapa banyak orang tidak puas dengan sekali berhaji. Bahkan tetap tidak puas dengan 5-6 kali haji atau delapan kali umrah seperti Haji Fahmi.
Tadi (kemarin) subuh, saya salat di Masjidil Haram. Karena semalam tubuh letih sehabis tawaf dan sai, kami ketiduran. Suara adzan dari Masjidil Haram yang masuk melalui pengeras suara hotel membangunkan saya.
Kami tiba di masjid ketika sebagian jamaah sudah pulang. Sehabis salat, hati terpanggil untuk melaksakan tawaf lagi.
Luar biasa, mungkin karena panggilan hati bawa sadar, barusan memulai tawaf, hati bawah sadar menggetarkan tubuh, menghasilkan getaran-getaran yang indah. Tidak terasa haru menyelumuti tubuh, membangkitkan bulu kuduk, dan mendorong mata mengeluarkan air yang bening. Subhanallah, indah sekali.
Sama sekali tidak lagi peduli dengan lautan jamaah lain yang juga bertawaf, saya berteriak keras, Allahu Akbar, subhanallah. Air mata makin kencang mengalir. Saya benar-benar menikmati tawaf ini sejak putaran pertama.
Hati bawah sadar seperti sudah connect (tersambung) dengan sinyal-sinyal Ilahiah, menghasilkan sinyal-sinyal getaran tak kelihatan di tubuh dan mewujudkan diri dalam bentuk bulir-bulir air
mata.
Makin kencang saya berteriak Allahu Akbar, makin kencang getaran itu, makin deras air mata mengalir, makin indah. Ini pengalaman spritual yang luar biasa. Sekitar satu jam mengelilingi
Kakbah tujuh putaran, tubuh terasa makin segar, kian kuat, bukannya makin letih.
Hati bawah sadar si penguasa tubuh kala itu mampu menyulap tubuh letih menjadi indah, menjadi nikmat. Tubuh mestinya letih melewati penerbangan 9,5 jam Jakarta-Jeddah, perjalanan darat satu jam Jeddah-Mekah, dan proses tawaf dan sai yang meletihkan tadi malam, plus tidur hanya sekitar empat jam.
Tapi, itulah kekuatan hati. Letih lenyap berganti gairah, passion. Saya segera ke Masjidil Haram, menunggu salat Jumat. Saya datang ke tanah Mekah yang disucikan Allah, mencium batu dari surga, Hajar Aswad, memegang Kakbah sambil menangis, tapi saya tidak tahu apakah saya semakin dekat dengan Tuhan. Yang saya rasakan: hati bawah sadar, jiwaku, rohku, semakin dekat dengan-Nya. Insya Allah.***
Laporan Haji dan Umroh
No comments:
Post a Comment