Tuesday, December 6, 2011
Serial Jepang yang Bukan Indonesia
Jepang yang Bukan Indonesia
Maria Ozawa Hanya 5 Ribu Yen
INI kawasan ilegal. Hati-hati, banyak Yakuza (kelompok mafia Jepang yang terkenal). Begitulah kata teman Jepang, Jumat (2/12/2011), sebelum masuk ke stasiun kereta.
Yamanote Line. Begitu tertulis tujuan kami sebelum masuk ke kawasan Shinjuku, Tokyo. Ini kawasan perkantoran di mana di gang-gangnya terdapat red light area (kawasan hiburan malam), kata pemandu wisata.
Di Makassar ini mirip Jl Nusantara. Ada bar, pub, dan tempat pijat. Bedanya, red light di Shinjuku teletak di gang, jalan sempit yang hanya cukup dua mobil berpapasan.
Jelang tengah malam itu, Shinjuku masih ramai. Para pekerja pulang kantor, para petugas bar menawarkan jasa di jalan-jalan.
Udara dingin. Suhu sekitar enam derajat. Hujan turun rintik-rintik. Begitu dinginnya, kira-kira sama dengan masuk freezer kulkas.
Sebuah bangunan tua, tidak besar. Ya, kira-kira lebarnya cuma empat meter. Mirip ruko di Indonesia. Tapi karena ini bangunan lama, langit-langitnya sangat pendek.
Begitu masuk pintu, tangga turun menyambut. Persis mobil yang parkir di basement. Tamu digiring masuk ke sana, ke basement. Di dinding, suasana hiburan malam segera terasa. Gambar-gambar penari telanjang dipajang, lengkap dengan namanya.
Ada gambar Maria Ozawa di dinding itu. Bintang film porno asal Jepang itu segera dikenali karena rambut lurusnya, bibirnya yang sensual, dan dadanya yang besar. Dan, memang, di poster dia tertulis lengkap nama Maria Ozawa.
Mantikan handphone, begitu perintah petugas begitu tamu memasuki ruang pertunjukan. No camera. Ya, tidak boleh bawa kamera kecuali atas seizin mereka.
Di dalam, pertunjukan sudah dimulai. Penari telanjang sedang beraksi, di tengah sorotan lampu dan tepuk tangan penonton.
Ruangan show tidak luas. Lebih besar panggung daripada tempat untuk penonton. Kursi cuma tiga deret. Ya, kira-kira hanya bisa menampung 30 penonton saja.
Satu penonton membayar lima ribu yen atau sekitar Rp 585 ribu. Tarif itu juga berlaku untuk show Maria Ozawa.
Di tempat pertunjukan tari telanjang di gang sempit itu, Maria Ozawa bukan siapa-siapa. Tarif show-nya sama dengan yang lain. Kita membesarkan namanya karena ditolak masuk Indonesia. Tapi di Jepang, ia sama sekali tidak dikenal, kecuali oleh sekelompok kecil penggemar video porno dari tari telanjang.****
Jepang yang Bukan Indonesia
Karyawan Pulang Kantor Jelang Tengah Malam
ANDA pulang kantor jam berapa? Di Tokyo, para pekerja di kantor swasta dan pemerintah pulang kantor pukul sembilan atau sepuluh malam.
Itu artinya mereka bekerja sekitar 12 jam sehari. Tapi sebenarnya bisa lama lebih dari itu. Karena rumah mereka rata-rata jauh dari kantor, dan angkutan utama mereka adalah kereta api, maka para karyawan Jepang sudah meninggalkan rumah pukul tujuh pagi.
Saat di kantor, mereka benar-benar bekerja. Haram menerima telepon saat jam kerja, apalagi Facebookan.
Inilah alasannya kenapa Facebook tidak nomor satu di Jepang. Di Indonesia, situs nomor satu versi Alexa adalah Facebook.
Shinjuku, salah satu pusat perkantoran di Tokyo, Jumat malam (2/12/2011). Trotoar dipenuhi para pekerja, laki maupun wanita, pada pukul 23.30.
Itu jelang tengah malam, tapi kaum profesional Tokyo itu baru saja berjalan menerobos malam yang dingin pada suhu 6-7 derajat, bergegas menuju stasiun kereta, berdesak-desakan, sebelum sampai ke rumah lepas tengah malam ketika anak dan istri sudah tidur.
Stasiun kereta terlihat sangat sibuk tengah malam itu. Pria dan wanita mengenakan berbagai model jas dan jaket musim dingin, mirip peragaan busana yang melibatkan ribuan peragawan dan peragawati.
Malam Minggu di Tokyo adalah Jumat malam. Kantor-kantor tutup pada hari Sabtu dan Minggu.
Ketika kaum profesional itu pulang kantor Jumat malam, mereka mampir di cafe, resto, dan tempat dugem. Besoknya, mereka --yang sebagian tinggal di luar Tokyo-- libur sehingga kawasan-kawasan perkantoran sepi pada hari Minggu.
Hari Senin, karyawan kerja lagi. Pulang jelang tengah malam. Bangun pagi, jam tujuh tinggalkan rumah atau apartemen, naik kereta api, jalan kaki dari stasiun kereta ke kantor. Kerja, tidak boleh menelepon, tidak boleh SMS-an, jangan main Facebook.
Begitu terus. Hidup seperti mesin. Waktu untuk keluarga terasa singkat. Yang bujang bahkan lupa mencari pacar.***
Jepang yang Bukan Indonesia
Makan Sambil Berdiri Pun Laris
WARUNG mie di pasar Tsukiji ini kejam juga. Penjualnya tidak menyiapkan kursi sama sekali. Hanya tersedia semacam penutup drum dan di sanalah, kalau mau, silakan makan. Tidak ada kursi.
Tapi dasar. Mie kuahnya enak banget. Karena itulah, pembeli siap antre beberapa saat, lalu antre lagi tempat untuk sekadar meletakan mangkok berisi mie kuah yang panas.
Kios kecil penjual mie ini terletak di bagian luar Tsukiji, pasar ikan terbesar di Tokyo. Lambangnya saja ikan tuna raksasa. Dengan melihat gambar tuna itu, kita tahu, ini pasar ikan. Di Indonesia, pasar ikan dikenali dari baunya.
Saya belum melihat pasar ikan di Indonesia diberi lambang ikan. Itulah. Mungkin karena pasar kita diberi nama pemerintah. Namanya menjadi tempat pelelangan ikan, TPI. Ah, kayaknya nama televisi saja.
Di Tsukiji, ikan dijual dalam kondisi membeku, disimpan dalam gabus. Tidak ada bau amis, lantai pun tidak becek oleh air cucian ikan.
Ikan adalah tulang punggung bangsa Jepang. Tiada makanan tanpa ikan.
Bagi yang terbiasa mengonsumsi ikan seperti warga Makassar, Anda tidak akan menemukan masalah apapun dengan makanan Jepang.***
Catatan; Serial tulisan ini juga dimuat di Tribunnews.com, Tribun Timur, dan Tribun Medan, serta koran lain di Tribunnews.com Network
--
TRIBUNnews.com
www.tribun-timur.com
www.tribun-medan.com
Dahlan Dahi
dahlandahi.blogspot.com
facebook.com/dahlan.dahi
twitter.com/dahlandahi
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment