Pak Tua ini menjual cabe, sirsak, dan pepaya. Nun jauh dari Takalar, ia ke Pasar Todopuli mencari sesuap nasi berbekal hasil pertanian.
Satu biji pepaya muda diberi harga Rp 2.000. Ibu-ibu menawar Rp 1.000 dan Pak Tua pun tersenyum tanda setuju.
Seribu rupiah? Ya, lebih murah dari biaya sekali parkir. Padahal pepaya itu butuh waktu berhari-hari sebelum bisa dipanen, melewati berkilo-kilo meter sebelum sampai ke pasar.
Gurat-guratan wajah Pak Tua menceritakan perjuangan panjang melintasi kehidupan.
Seluruh nilai dagangannya tidak sampai Rp 100 ribu. Bayangkan betapa bernilainya uang sebesar itu bagi Pak Tua yang baik hati ini.
Sementara di sana, oknum-oknum politisi meminta parfum, baju dinas, rumah dinas, dan ruang rapat bahkan toilet yang mewah. Dari uang rakyat.
Lalu, kemudian kita tahu: pada masa kampanye nanti, oknum-oknum politisi akan mendatangi Pak Tua, seraya memekikkan, "Hidup rakyat, hidup rakyat ..."
Hidup Pak Tua. Sekiranya ia menjadi politisi mungkin ia akan tahu betapa indahnya sikap rendah hati dan hidup sederhana dari keringat sendiri.
Pastilah Pak Tua ini akan malu meminta mobil baru, parfum harum, dan toilet mewah. Ia terbiasa hidup sederhana. Bukan karena ia ingin begitu tapi karena memang ia sudah terbiasa begitu.
Betapapun, Pak Tua tidak meminta uang rakyat untuk sekadar membeli baju baru.
No comments:
Post a Comment