Wednesday, January 23, 2013

Hidup Itu adalah Koma

Dahlan Dahi

TERKADANG kita menemukan teman yang sedih, sering pula berjumpa kawan yang gembira.

Terhadap yang kedua, yang gembira, selalu tidak ada masalah. Namanya juga orang gembira.

Masalah muncul dengan mereka yang bersedih hati. Gundah gulana. Mereka-mereka yang merasakan kepala seperti akan pecah. Dunia seperti kiamat. Semua yang cerah menjadi gelap.
 Pada saat itu, kita merasa lemah --dan Tuhan terasa dekat, sangat dekat. Seolah Tuhan ada di sisi kita. Seolah-olah benar bahwa Tuhan mendekat pada orang-orang lemah dan bersedih hati.

Suatu waktu, saya bertemu orang bijak. Dia bilang:

"Bung, hidup itu adalah koma, bukan titik. Kalau sedih jangan terlalu sedih, kalau gembira jangan terlampau gembira. Kesedihan sering berganti kegembiraan ...."

Penglihatan kita sangat terbatas. Jangankan untuk satu atau 10 tahun ke depan, apa yang akan terjadi beberapa menit ke depan tidak kita ketahui. Misteri.

Karena penglihatan yang terbatas itulah, banyak orang gembira --dan lalu, 10 tahun atau 15 tahun kemudian, dia menangis. Kegembiraan yang berakhir dengan tangisan.

Alifian Mallarangeng saya kenal sebagai pemuda cerdas, selalu tersenyum di balik kumisnya yang indah. Pilihan terbentang luas di depannya, menjadi dosen dan pengamat politik atau menjadi politisi.

Tahun 1998 ia baru pulang dari Amerika Serikat ketika kami --bersama pada aktivis Unhas ketika itu-- ikut aksi mahasiswa menumbangkan Soeharto.

Terasa begitu heroik, walau saya merasa hanyalah sekrup kecil di dalam mesin raksasa arus massa yang merobohkan rezim yang begitu kokoh.

Dari penasihat dosen Unhas, pengamat politik yang handal, konseptor UU Politik, lalu Andi Mallarangeng mengubah haluan hidup menjadi politisi.

Ia melangkah mulus menjadi orang paling dekat di lingkaran terdalam Presiden SBY, dan orang penting di Partai Demokrat.

Hari-hari panjang itu terasa indah, dan puncaknya adalah menjadi Menteri Pemuda dan Olahraga, suatu pencapaian politik yang hebat.

Siapa kemudian bisa menduga bahwa jabatan menteri itu --14 tahun kemudian-- ternyata adalah lubang malapetaka bagi perjalanan kariernya yang cemerlang.

Di sana ia tersangkut kasus korupsi dan apa yang tadinya terang benderang tiba-tiba menjadi gelap gulita.

Angelina Sondakh adalah contoh yang lain lagi. Pada tahun 2001, ia berjingkrak kegirangan di panggung ketika dewan juri menobatkannya sebagai Puteri Indonesia. Dalam semalam, ia menjadi terkenal di seantero Nusantara.

Setelah itu, semua indah bagi Anggie: mendapatkan suami pujaan hati dan terpilih menjadi anggota DPR.

Dan, dari anggota DPR, malapetaka itu datang. Aksesnya terhadap informasi proyek-proyek pemerintah menjebloskannya ke dalam lubang korupsi.

Ia menemukan the point of no return. Dia terjebak di sana dan sekarang mendekam di ruang pengap tahanan KPK  --berpisah dengan anaknya, berpisah pula untuk selama-lamanya dengan suami tercinta.

Jelas sudah: Apa yang tampak sebagai sesuatu yang indah, ternyata --pada ujungnya-- bisa merupakan jalan menuju kehancuran.

Maka si bijak tadi berkata:

"Bung, hidup itu adalah koma, bukan titik. Kalau sedih jangan terlalu sedih, kalau gembira jangan terlampau gembira. Kegembiraan sering berganti kepedihan yang menyakitkan."








Lihat Juga:
Belajar dari Orang Kaya: Check and Recheck

Belajar dari Orang Kaya: Lihat Sisi Terburuk, Persiapkan Skenario Terburuk





 

1 comment:

  1. Bagaimana kalau sudah terlalu lama koma, atau di-koma-kan, dan no point of return? Hehehehe. Salam. (asm)

    ReplyDelete

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...