Monday, September 2, 2013

Andi Potji, Perginya Seorang Pejuang

Saya baru saja mendarat di Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta, Senin pagi, ketika mendapat SMS dan pesan BBM dari sejumlah kawan: Andi Potji telah meninggal dunia.

Kaget tentu saja. Ketika dulu meliput untuk harian Surya, Andi Potji adalah sumber berita yang rendah hati yang selalu menyambut saya dengan kopi hitam.

Jarang ada wartawan mau meliput Andi Potji dan kegiatan PDI Megawati ketika itu.
Andi Potji heran apa motivasi saya selalu datang ke rumah tua yang juga menjadi markasnya.

"Dahlan," katanya suatu waktu.

Ia setengah berteriak setelah uang pemberiannya saya tolak.

Dia kaget karena mengira saya selalu datang meliput kegiatan PDI karena mengharapkan amplop.
Sejak itu, saya mulai mengenal Andi Potji lebih dalam.

Bukan tentang riwayat hidupnya tapi prinsip hidupnya yang sederhana.

Begitu sederhananya sehingga tidak perlu berpikir keras untuk menerjemahkannya.

Saya menulis catatan ini untuk Tribun:

Kabar duka datang pagi ini. Andi Potji, benteng Megawati di Makassar, Sulawesi Selatan, meninggal dunia karena sakit.

Andi Potji adalah petarung sejati. Awal tahun 90-an, beliau memilih berdiri di barisan Megawati ketika kaum nasionalis dan marhaenis lainnya memilih langkah pragmatis mendukung PDI bentukan Soeharto.

Andi Potji tahu pilihannya sangat berisiko. Dan risiko itu nyata: bisnisnya pelan-pelan hancur.

Dia meninggalkan dunia bisnis dan memimpin barisan Pro-Mega dari rumah tuanya di jantung Kota Makassar, Jalan Sultan Hasanuddin.

Di rumah itu Andi Potji selalu ditemani Jacobus Camarlouw Mayong Padang, seorang wartawan idealis, yang ke mana-mana naik motor Vespa tua.

Di pentas politik nasional, publik lebih mengenal Cobu, bukan mentornya, Andi Potji.
Reformasi datang menyelamatkan pilihan Andi Potji, mengantarnya ke kursi DPRD.

Namun gajinya sebagai anggota dewan terlalu kecil untuk bisa mengganti hartanya sebagai pengusaha.
Andi Potji menikmati pilihannya. Hidup, bagi Andi Potji, bukanlah semata soal uang. Hidup adalah pertarungan memperjuangkan nilai.

"Dahlan," katanya suatu waktu. "Hidup ini bermartabat kalau kita memiliki nilai. Apalah artinya punya harta berlimpah kalau semua itu kita perolehan dengan menghianati hati nurani kita".

Andi Potji mengatakan itu ketika ditanya mengapa dia mendukung Megawati.

Pada awal tahun 1990-an, Megawati seperti penderita kusta yang dimusuhi penguasa Orde Baru.
Andi Potji memilih barisan itu dan meninggalkan profesi pengusaha, pekerjaan yang memberinya kenyamanan hidup.

Sebagai nasionalis sejati, Andi Potji setia pada pilihannya. Bukan sehari dua hari tapi puluhan tahun, hingga akhir hayatnya.

Terakhir Andi Potji tinggal di sebuah rumah kecil di kawasan Perumnas Panakkukang. Rumah ini dia tempati setelah tidak lagi menjadi Wakil Ketua DPRD Sulsel.

Cerita tentang Andi Potji adalah kisah tentang politisi zaman dulu. Mereka menjadi politisi karena nilai yang harus diperjuangkan.

Selamat jalan, Daeng. Masih teringat lezatnya kopi di Jalan Hasanuddin, di rumah perjuangan, ketika tentara --para serdadu rezim-- memonitor setiap langkahmu.

Dahlan Dahi
dahlandahi.com


TRIBUNnews.com


























No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...