Thursday, February 27, 2014

Pemenang Hari Ini: Simple is Good

Catatan 
Dahlan Dahi,
Pemimpin Redaksi Tribun Timur


Menjadi Penerobos Bersama Agung Adiprasetyo, CEO Kompas Gramedia

Pemenang Hari Ini: Simple is Good
    
AGUNG Adiprasetyo memulai karier di Kompas Gramedia sebagai tenaga keuangan dan tukang cap koran untuk bukti iklan.    

Selama 32 tahun bekerja di Kompas Gramedia, Agung menyelami hampir semua unit bisnis: dari Kompas, Bola, Kontan, The Jakarta Post, koran daerah,  hotel, hingga televisi. Semuanya terkait dengan marketing, baik memasarkan koran, iklan, maupun membangun brand.

Pada tahun 2006, si tukang cap koran menjadi Chief Executive Officer atau CEO. Suatu pekerjaan yang tidak mudah memimpin perusahaan dengan lebih dari 20 ribu karyawan, terlebih di tengah bayang-bayang kharisma dan kepemimpinan Jacob Oetama, pendiri dan pemimpin perusahaan yang produk-produknya menjangkau sekitar 70 juta penduduk Indonesia.

Pada Kamis (27/2) pagi ini, Mas Agung –begitu ia biasa dipanggil– akan membagi inspirasi kepemimpinan di Gedung IPTEK, Universitas Hasanuddin, Makassar. Format acaranya kuliah umum, terbuka untuk umum.

Penampilan Agung sederhana saja, cerminan dari cara berpikirnya. Salah satu CEO terbaik tahun 2009 ini adalah penggemar berat "aliran" simplisiti, melihat masalah rumit secara sederhana. 

Melihat masalah secara sederhana bukan berarti menyederhanakan persoalan. Tidak. Melihat masalah secara sederhana membawa dampak psikologis, membangkitkan rasa percaya diri. 

Lihatlah cahaya, kata Agung. Jangan melihat kegelapan. Pada cahaya ada sinyal jalan keluar.

Melihat atau cara melihat adalah masalah cara berpikir. Apa yang Anda lihat adalah hasil dari cara berpikir Anda.

Dalam bukunya, Memetik Matahari, Agung mengutip Marc Chemoff:

"Kalau kamu tidak suka sesuatu, ubahlah! Kalau kamu tidak bisa mengubahnya, ubahlah cara berpikirmu!"        

Mengubah cara berpikir adalah salah satu cara menemukan jalan baru, jalan inovatif. Ketika menjadi CEO, Agung fokus pada perbaikan sistem pengembangan karyawan, menciptakan indikator kinerja dan sistem insentif, serta merangsang munculnya inovasi di seluruh unit usaha.

Sistem mengukur kinerja karyawan dengan angka-angka yang terukur itu terlihat sebagai langkah sederhana namun sebenarnya merupakan inovasi strategis bagi Kompas Gramedia yang identik dengan gaya kepemimpinan Jacob Oetama yang humanis. 

Karya besar seringkali lahir dari satu langkah kecil, langkah sederhana. Agung percaya, langkah kecil adalah sesungguhnya langkah besar, karena itulah titik mulanya gagasan berubah menjadi inovasi.

Sepuluh tahun lalu, koran-koran Persda (kelompok koran daerah Kompas Gramedia baru tujuh). Hanya dua dari tujuh koran itu yang untung, lainnya rugi melulu.

Agung ingin mengembangkan koran daerah tapi beberapa orang berpendapat untuk apa dikembangkan, toh, banyakan koran daerah yang rugi.

Agung berpendapat, "Bagaimana mau untung kalau korannya itu-itu saja. Coba tambah, buka di berbagai daerah." Sekarang, koran-koran Persda (atau sekarang dikenal sebagai Tribun) menjadi 26 koran di 20 kota, menjadi salah satu penyumbang laba terbesar di Kompas Gramedia.

Sudah banyak diskusi mengenai koran daerah tapi Agung mewujudkan visinya dan mengeksekusinya.

Agung menulis:  "Keberhasilan tidak jadi nyata karena kita hanya banyak omong ..." 

Agung sangat peduli pada eksekusi keputusan, persis seperti filosofi kepemimpinan Jusuf Kalla.

Ketika mengeritik kinerja pemerintahan, Jusuf Kalla pernah mengatakan:

Pemerintah terlalu banyak rapat, sedikit keputusan. Di antara sedikit keputusan itu, sedikit sekali eksekusi. Di antara sedikit eksekusi, sedikit sekali pengawasan ...

Dalam bahasa yang lain, Agung mengatakan, suatu gagasan "harus dieksekusi, dijalani, dan ditekuni ..." Jika tidak, gagasan itu hanya menjadi omdo, omong doang!

Demikianlah, Agung melihat masalah yang menyertai perusahaan sebesar Kompas Gramedia yang begitu besar dan rumit dengan cara yang sederhana saja. Bangun sistem, dorong inovasi dengan standar kinerja yang terukur, dan.... eksekusi keputusan. 

Serdehana saja, simple saja, seperti dianjurkan oleh Albert Einstein (1879-1955), seorang jenius dan peraih hadiah Nobel.

Dia bilang: " If you can't explain it simply, you don't understand it well enough". Kira-kira artinya, jika Anda tidak bisa menjelaskannya secara sederhana, Anda sebenarnya tidak memahaminya dengan baik.

Pahami persoalan secara sederhana. Rumuskan langkah mengatasinya. Eksekusi. Awasi! That's simple.

***

PARA pemimpin perusahaan besar dunia juga membangun prinsip-prinsip cara berpikir sederhana, simplisiti, untuk menjadi pemimpin pasar.
 
Google, perusahaan internet raksasa, menggulingkan dominasi Yahoo! di bisnis mesin pencari (search engine) bukan karena dia rumit, melainkan hanya karena Google sederhana.

Yahoo! membangun portal yang rumit. Para perancangnya membuat Yahoo! seperti supermarket, menyediakan semua yang Anda cari, mulai dari kotak pencarian, email, berita, hingga horoskop.

Google, yang muncul sebagai penantang, membangun website-nya dengan sederhana. Lihatlah Google.com: Hanya ada satu kotak pencarian, lainnya ruang kosong warna putih.

Google berpendapat, user (Anda) cukup mengetik apa yang Anda inginkan, entah berita entah horoskop, dan Google akan membantu Anda secepat kilat menemukannya. 

Para ahli Google menghabiskan waktunya untuk membangun kesederhanan, sedangkan Yahoo! membuang-buang waktu karena kerumitannya.

Simple is good, begitulah prinsip Google menurut Jeff Jarvis, penulis buku What Whould Google Do?

Jonathan Ive, salah satu tokoh penting ahli desain di sisi Steve Jobs di balik karya-karya gemilang Apple, juga adalah penganjur simplisiti. 

iPhone, handphone andalan Apple, nyaris tanpa merek. Hanya buah apel yang digigit. Itupun diletakan di belakang. Di depan kosong. Sangat sederhana.

Prinsip simple is good membawa kita melihat masalah lebih kecil dari kita. Jika masalah itu lebih kecil dari kita, logikanya, kita bisa mengatasinya dengan mudah.

"Why do we assume that simple is good? Because with physical products, we have to feel we can dominate them."

Demikian Ive mengatakan, seperti dikutip dalam buku Steve Jobs karya mantan CEO CNN dan Managing Editor majalah Time, Walter Isaacson.

Pada 13 Maret 2013, CEO Google Larry Page menulis di Google Blog. Ini tentang Andy Rubin, pionir sistem operasi Android, dan penggantinya Sundar Pichai, tokoh di balik sukses Google Chrome dan aplikasi Google.

Dalam CEO letter itu, Larry Page mengemukakan tentang apa yang disebut user friendly, tentang simplisiti, tentang kesederhanaan. Bahwa teknologi adalah hal rumit tapi harus gampang digunakan. 

Tidak banyak insinyur di dunia, tapi semua orang sekarang memakai teknologi dengan riang gembira.
Bahwa teknologi bukanlah soal kerumitan tapi tentang kenikmatan. 

Sundar Pichai, seperti dijelaskan Larry Page, membuat produk yang secara teknis hebat tapi gampang dipergunakan.
Simplisiti membantu Anda menikmati, sedangkan kerumitan mendorong Anda mengidap vertigo.

Kita tahu, Google adalah pemenang di internet dan Apple adalah pemenang di smartphone dan tablet kelas premium.

Di Semarang, kota kelahiran Agung, ada Bakmi Djowo Pak Doel Noemani. Warung kaki lima ini menjual bak mi, tapi juga Nasi Ruwet --nasi yang akan membuat Google, Apple, dan Mas Agung marah karena dia ruwet, tidak simple.        

Demikianlah. Simpe is good.***

Dimuat di koran Tribun Timur edisi Kamis, 27 Februari 2014

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...