Saya yakin banyak alumnus Unhas terpengaruh cara berpikir yang ditularkan Pak Ishak. Saya salah satunya dan tulisan ini merupakan testimoni.
Lebih 20 tahun lalu, sebagai mahasiswa ilmu politik FISIP Unhas, saya menghadiri salah satu seminar dengan pembicara dosen fakultas sastra, seorang berwajah serius, nyaris tanpa senyum, tapi kritis.
Para mahasiswa peserta seminar itu seperti tersihir, hening, dan mengikuti alur berpikir sang dosen dengan susah payah.
Pak Dosen itu bercerita banyak hal, tapi saya ingat satu hal, sesuatu yang mempengaruhi cara berpikir saya sampai sekarang.
Katanya: Filsafat itu tentang cara berpikir radikal. Berpikir sampai ke akar-akarnya. Jangan cuma lihat buihnya, lihatlah akarnya.
Suatu waktu, dosen berwajah serius itu, Ishak Ngeljaratan, bertamu ke kantor Tribun Timur.
Saya mengingatkan tentang materi seminar beliau tentang "cara berpikir radikal". Pak Ishak langsung bereaksi, seperti biasa, dan diskusi hangat pun berlanjut.
Rambut gondrong hanyalah "buih". Akarnya adalah ekspresi kebebasan. Para seniman biasanya berambut gondrong --simbol dari ekspresi kebebasan.
Banyak anak muda tidak paham "akar" dari rambut gondrong. Mereka lalu memelihara rambut sepanjang-panjangnya karena mengira dengan berambut gondrong dia akan segera jadi seniman hebat.
Mengapa anak-anak muda itu keliru? Karena mereka tidak menggunakan cara berpikir radikal, melihat akarnya. Mereka terpukau melihat buih.
Dengan melihat akarnya, kita paham bahwa elemen dasar seniman adalah kebebasan. Kebebasan melahirkan karya seni.
Karya seni bukanlah upacara baris berbaris, yang sudah terpola dan bisa diprediksi. Karya seni seringkali sulit ditebak, mengejutkan. Kenapa dia begitu? Karena dia lahir dari kepala yang berpikiran bebas, bukan dari kepala berambut gondrong.
***
CARA berpikir radikal ala Pak Ishak saya terapkan dalam mengatasi bermacam masalah terkait pekerjaan saya sebagai pengelola koran.
Tribun Timur tidak memiliki rubrik "Surat dari Pembaca". Suatu waktu, seorang peneliti media massa dari Eropa bertamu ke kantor dan dia mengguggat, "Mengapa tidak ada rubrik 'Surat dari Pembaca' seperti halnya surat kabar pada umumnya?"
Memang, umumnya surat kabar berisi berita dan informasi yang bersifat top down, dari publisher (penerbit) ke customer (pembaca). "Surat dari Pembaca" adalah ruang bottom up, dari pembaca ke penerbit.
Dengan demikian, menghilangkan rubrik "Surat dari Pembaca" sama saja dengan menutup ruang publik. Bisa juga, tanpa rubrik itu, surat kabar hanya "berpidato", tidak membuka ruang diskusi.
Sepintas, dengan hanya melihat "buih", pendapat itu benar adanya. Tapi kalau kita melihat akarnya, pendapat itu sungguh keliru.
Kepada tamu bule itu, saya menjelaskan, seperti namanya, "Surat dari Pembaca" muncul sejak era kolonial, ketika kantor pos nyaris menjadi satu-satunya cara yang tersedia bagi pembaca untuk mengirim pesan, informasi, atau pendapat ke kantor surat kabar.
Sekarang ini, internet mengubah semuanya, termasuk cara kita mengirim pesan. Ada email, fasilitas yang memungkinkan pembaca bisa mengirim teks, foto, dan video dengan cara yang cepat.
Ada juga fasilitas SMS yang memungkinkan pembaca bisa mengirim pesan kepada penerbit seketika, saat itu juga.
Pesan BlackBerry Messengger (BBM) lebih praktis lagi, lalu muncul WhatsApp.
Ada pula pltaform social media yang sangat power full, yakni Facebook dan Twitter.
Dengan semua itu, praktis tidak ada lagi yang mengirim surat pembaca melalui kantor pos.
Para pembaca mengirim pesan kepada penerbit melalui email, SMS, BBM, WhatsApp, Facebook, dan Twitter.
Jadi, saya bertanya kepada tamu bule itu: Kenapa harus bernama "Surat dari Pembaca"?
(Dalam hati saya berkata, "Surat dari Pembaca" itu kan hanya "buih". Akar persoalannya adalah bagaimana pembaca bisa mengirim pesan kepada penerbit).
Dan, memang, Tribun tidak memakai nama "Surat dari Pembaca". Kami menamai berita atau informasi yang dikirim pembaca berdasarkan isi pesannya. Komentar, kritikan, dan informasi terkait masalah public services kami tampung dalam rubrik "Tribun Public Services".
Adapun berita yang dikirim pembaca kami masukan dalam rubrik "Citizen Reporter".
Jadi, jangan terpersona pada buih. Cari akarnya!
Terima kasih Pak Ishak.
No comments:
Post a Comment