Tuesday, July 1, 2008

Perang Irak: Habibi ya Saddam


Habibi ya Saddam

RAUT muka Omar terlihat segar. Di saku jasnya yang lusuh, terselip selembar amplop warna putih. “Ini surat dari keluarga saya di Babel,” kata orang tua itu, tersenyum. Ia tidak mau menjelaskan kabar apa gerangan yang disampaikan keluarganya di kampung. Ia hanya bilang, “Kabar baik.”

Babel, tempat Omar lahir, adalah nama sebuah kota di Irak. Nama ini diambil sebagai nama koran yang diterbitkan Uday Saddam, putra Saddam Hussein yang dikenal flamboyan.

Beberapa tahun ini, Omar mencari sesuap nasi di Amman, Jordania. Seperti layaknya orang-orang Irak di Amman, Omar bekerja sebagai buruh bangunan. Pekerjaan di sektor informal seperti itulah yang bisa dijangkau perantau Irak di Amman, kota kosmopolitan yang mahal. Lagi pula, Kerajaan Jordania tidak terlalu bersahabat dengan warga Irak. Negara tetangga Irak ini, yang dikenal sebagai sekutu Amerika Serikat, membatasi membanjirnya orang-orang Irak. Kerajaan juga melarang aktivitas politik.

Saban Jumat, Omar akan terlihat di kawasan Teater Romawi, sebuah situs wisata sejarah. Tempat ini menjadi semacam titik pertemuan orang-orang Irak di Amman. Hari Jumat adalah libur nasional. Pada hari itulah, sejak pagi, warga Irak berbondong-bondong ke Teater Roma.

Menonton film? Tidak. Mereka datang untuk mendengar sepotong kabar dari kampungnya di Irak. Hubungan telepon ke Irak yang sulit, juga mahal, memaksa orang-orang Irak menggunakan sarana komunikasi tradisional, surat. Surat-surat tersebut, yang ditulis di atas selembar kertas putih, tidak dikirim lewat pos. Mereka menitipkannya kepada sopir angkutan umum yang setiap hari melayani rute Amman-Baghdad. Perjalanan ini ditempuh selama 12 jam.

Ke Baghdad, selain mengangkut penumpang, mobil angkutan umum membawa aneka barang kiriman orang-orang Irak di Amman: kompor, kasur, surat, sepeda, atau uang. Sebaliknya, dari Baghdad membawa barang kiriman keluarga mereka di Irak ke Amman. Begitu seterusnya, orang-orang Irak hidup seperti di jaman batu. Tidak mengenal kantor pos, bank, apalagi internet.

***

BIAYA hidup di Amman sangat mahal untuk ukuran orang Irak. Nilai mata uang Irak, dinar, yang pernah begitu perkasa sebelum Perang Teluk tahun 1991, kini loyo tak bertenaga. Orang-orang Palestina yang menjual dinar Irak di sekitar teater Romawi itu melego 250 dinar Irak seharga satu dinar Jordania.

Satu dinar Jordania (sekitar Rp 13.000) hanya cukup untuk membeli empat lima potong roti. Di Irak, uang sebanyak itu cukup untuk hidup sederhana selama dua hari. Bila orang Irak membawa satu dinar Jordania, uang itu akan menjadi lima lembar pecahan 50 dinar Irak.

Amman sebenarnya bukan kota yang bersahabat untuk pencari kerja. Upah sangat murah, sementara biaya hidup sangat mahal. Mansur, orang Sudan yang bekerja di sebuah perusahaan, hanya mendapatkan upah 200 dinar Jordania (sekitar Rp 2,6 juta). Dengan gaji seperti itu, Mansur tinggal di sebuah kamar kos yang sempit tak jauh dari perusahaannya. Bila ia menyewa apartemen, seluruh gajinya hanya cukup untuk 10 hari saja.

“Ini bukan kota yang ramah buat pencari kerja. Saya ingin segera ke London mencari kerja di sana. Gajinya jauh lebih bagus,” kata Mansur, alumni sastra Inggris Universitas Baghdad, Irak, Mansur agaknya masih enggan kembali negaranya setelah negara itu dikoyak-koyak perang sipil antara umat Muslim melawan Kristen.

Amman, yang mengimpor air minum dari Syria dan mendatangkan mie instan dari Filipina dan Singapura, hanya cocok untuk wisatawan. Sejak tragedi 11 September, dimana orang-orang Arab dipersulit masuk Amerika dan Eropa, orang-orang kaya dari Teluk Persia berbondong-bondong ke Amman pada musim panas.

Pada musim panas, cuaca di negara-negara Teluk seperti Kuwait dan Arab Saudi benar-benar sangat panas. Suhu udara bisa mencapai 50 derajat celcius. Tapi di Amman, udara tetap dingin. Karena itulah, hampir semua rumah, hotel, atau apartemen di Amman tidak memakai pendingin ruangan (AC).

***

BEBAN hidup orang-orang Irak yang berat di Amman seolah lepas setelah bertemu warga sebangsa mereka di Teater Romawi. Mereka tampak tertawa-tawa ceria, berbagi cerita, dan menanyakan kabar masing-masing.

Begitu bertemu, orang-orang Irak itu bersalaman, dan mengucapkan, “Kefak? (apa kabar?)”. Tidak cukup dengan bersalaman saja. Mereka juga saling menempel pipi kanan, dua kali, sampai tiga kali. Ada pula yang bersalaman dan saling tempel pipi kiri dan kanan sampai tiga kali.

Tidak tampak seorang pun perempuan di sana. Agaknya, hanya kaum laki-laki saja yang merantau ke negeri seberang. Sementara kaum wanita tetap menunggu suami mereka di rumah. Ini berbeda dengan orang-orang Indonesia, yang mengirim kaum wanitanya bekerja di Timur Tengah, sementara kaum lelaki menjaga anak-anak mereka di tanah air.

Pada hari Minggu sampai Kamis, orang-orang Irak itu masuk “kantor”. Hari libur dua hari, Jumat dan Sabtu. Di negara-negara Arab umumnya, Jumat dan Sabtu memang merupakan hari libur nasional. Hari Minggu mulai kerja layaknya hari Senin di Indonesia.

Bila mendapatkan kiriman surat, orang-orang Irak itu segera membuka amplopnya dan membacanya. Terkadang tampak wajah sedih, yang segera berubah menjadi wajah ceria setelah bersenda gurau dengan kawan-kawan sebangsanya. Selesai membaca surat, mereka meraih kertas di saku jas, lalu menulis. Surat itu harus dikirim hari itu juga ke kampung halaman mereka.

Seusai membaca surat, Omar menyelipkan surat tersebut di saku jasnya yang lusuh. Dia tetap tak beringsut, menunggu saudara-saudara Irak lainnya yang berdatangan dan membagi cerita.

Dari raut mukanya tampak jelas Omar memikul beban hidup yang berat. Telapak tangannya yang kasar menunjukkan jenis pekerjaannya sehari-hari. Tapi, ia tetap tersenyum ketika ditanya tentang Saddam Hussein. Ia menunjukkan rasa cintanya kepada pemimpin Irak itu, dengan mengatakan, “Habibi ya Saddam.”

***

APAKAH Omar tulus mencintai Saddam? Mungkin ya, mungkin tidak. Sebelum bertemu orang-orang Irak ini, Mansur dan Khalik, orang Sudan, telah mengingatkan, “Mereka mencurigai orang asing. Kalau toh mau bertemu Anda, mereka tidak akan mau berbicara dengan Anda. Kalau toh berbicara, mereka tidak akan mengatakan yang sebenarnya.”

Memang terasa beda menemui orang Jordania atau Palestina. Mereka sangat terbuka. Apalagi kalau tahu lawan bicaranya orang Indonesia yang mereka kenal sebagai negara Muslim terbesar di dunia.

Orang-orang Irak di Teater Romawi itu juga tahu tentang Indonesia. Mereka bahkan tahu nama Megawati Sokarnoputri, Presiden Indonesia. Tapi, mereka selalu berusaha menghindar setiap kali akan diajak berbicara.

“Mereka sangat tertutup. Hati-hati, banyak polisi di sini,” ujar Ali Husen, seorang Palestina yang menjual mata uang dinar Irak bergambar Saddam Hussein. Polisi Jordania, seperti tentara di jaman Soeharto, mengawasi setiap gerak-gerik warganya.

Sumber-sumber diplomatik mengatakan, beberapa tokoh oposisi Irak bermukim di Amman. Namun mereka tidak berani melakukan aktivitas secara terbuka, takut diusir ke luar dari Jordania.

Di antara tokoh oposisi yang hidup di Amman adalah seorang tentara yang memilih keluar dari kesatuannya dan mengibarkan panji perlawanan terhadap Saddam. Di negeri pelarian, desertir tentara itu bekerja sebagai tukang pijat.

Dapat dimaklumi bila orang-orang Irak menjadi paranoid terhadap orang asing. Mereka selalu khawatir, intel-intel Saddam tahu apa yang mereka lakukan, bahkan nun jauh dari Baghdad sana.

Bila ketahuan melakukan tindakan atau pernyataan anti Saddam, bukan cuma mereka yang terancam, tapi juga keluarga mereka di Irak. Habibi ya Saddam. (Dahlan, Laporan dari Amman, Jordania)


* Laporan ini dimuat di harian Surya, Surabaya, dan sejumlah koran daerah Kompas Gramedia yang dikelola Persda. Saya berangkat ke Timur Tengah menjelang Perang Irak atas biaya Persda




--
Tribun Timur, Makassar
www.tribun-timur.com

Ask the Tribun Timur Editor
dahlandahi.blogspot.com

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...