Dua hari bersama Karl
KARL Gorczynski tampak gundah. Pagi yang cerah di kota Amman sama sekali tak terpancar di wajahnya. Gurat-guratan ketuaan tampak jelas memancar dari mukanya. Rambutnya yang bergelombang, dalam warna kecokelatan, dibiarkan liar tanpa disisir. Pagi itu kumisnya nampak tercukur rapi, tapi ia membiarkan jenggotnya tumbuh lebat seperti tokoh idolanya: Fidel Castro. Tinggi badannya sekitar 180 cm. Bila berjalan, ia seperti merunduk, bagai batang pohon pisang yang memikul beban berat.
Karyawan Hotel Al Saraya, tempat Karl menghabiskan lima malam setiba dari Illionis, Amerika Serikat (AS), terlihat sibuk. Menerima telepon, menyediakan sarapan pagi, dan menyajikan kahfa (kopi) dalam cangkir-cangkir kecil yang habis sekali teguk.
Karl berdiri di pojok, menyandarkan tubuhnya yang tipis di tembok bercat kecoklatan. Sebuah tas rangsel berisi beberapa potong pakaian teronggok di depan kakinya. Sebentar lagi, mobil yang akan mengangkut lelaki bule berusia 50 tahun itu ke Baghdad akan tiba. Di ibu kota Irak itu, yang terancam serangan militer AS, Karl akan menyambung nyawa. Ia meninggalkan Illinois, menghabiskan tabungannya 815 dolar untuk membeli tiket, untuk satu misi: melindungi wanita dan anak-anak Irak. Mencegah perang, kalau bisa.
Nun jauh di Illinois sana, A’yi istrinya tinggal bersama Qian, anak tiri Karl. A’yi, seorang professor dari China, menikah dengan si bujang Karl beberapa tahun lalu di Yunan, sebuah provinsi di RRC. Qian, hasil perkawinan A’yi dengan pria China, ikut diboyong ke Amerika setelah Karl dan A’yi memutuskan menetap di Illinois.
“Kabar buruk,” kata Karl. Nada suaranya lemah, seperti berbisik. “Sebagian besar anggota human shields telah kembali ke Amman.” Ramai orang lalulalang mempersiapkan keberangkatan ke Baghdad, tapi saya memperhatikan Karl dengan seksama.
“Ada apa?”
“Perang semakin dekat. Mereka takut.”
Kemudian dijelaskan, 70 atau bahkan 80 persen anggota human shields meninggalkan Irak. Yang tersisa tinggal 60 orang.
“Tadi pagi,” ia melanjutkan, masih dengan suara yang lemah, “seorang aktivis dari London menghilang. Dia takut.”
Membayangkan Irak memang menyeramkan. Amerika memiliki peralatan perang paling canggih di dunia. Pesawat tempur, peralatan komunikasi dan elektronik, manajemen perang, uang, tentara yang terlatih. Begitu Bush menekan tombol perang, tak sejengkal pun wilayah Irak yang aman.
Sehari sebelumnya, Karl menerima kabar buruk dari panitia human shields. Amerika mungkin akan mencari warga Amerika di Baghdad, menangkap mereka, dan mengirim ke bui dengan tuduhan penghianat. Atau lebih buruk lagi, dituduh bersimpati kepada negara yang dicap memiliki kaitan dengan organisasi teroris internasional, Al Qaeda.
Di bawah undang-undang baru AS, tuduhan semacam itu memberi otoritas kepada aparat hukum untuk menangkap seseorang tanpa hak bertemu keluarga, istri, siapapun. Ini gila, katanya, tapi begitulah wajah Amerika sekarang. Menakutkan!
***
DIEGO Nakasone ikut nimbrung. Umurnya 28 tahun. Dia lahir di Boines Aires, Argentina. Ayah dan ibunya tinggal di ibu kota negeri gudangnya pemain bola dunia. Ayah, ibu, dan seorang kakaknya mengungsi dari Jepang sebelum Perang Dunia II. Di negeri Matahari Terbit saat itu, kehidupan sangat keras, sulit mencari makanan.
“Tidak apa-apa. Kita harus berangkat,” ujarnya mantap dalam bahasa Inggris logat Argentina. Tampak perasaan galau berkecamuk. Namun, hatinya kembali mantap ketika ingat sebuah prinsip yang mengantarkannya bergabung dengan human shields. “Ini kesempatan untuk bekerja bukan untuk diri sendiri, uang, atau keluarga,” katanya suatu waktu.
Satu persatu, para aktivis itu mengangkat kopor dan tas. Mereka menuruni tangga, nyaris tanpa suara. Dua mobil GMC telah menunggu di tepi jalan. Nina, wanita asal Amerika, mendekati Dea. Mereka berpelukan. Begitu erat, sehingga enggan dipisahkan.
Dea, wanita asal Spanyol, tidak bisa ikut rombongan. Ia, bersama enam temannya dari Spanyol, gagal mendapatkan visa dari Baghdad. Entah mengapa, Irak tiba-tiba menutup pintu bagi warga Spanyol, negara yang mendukung perang bersama AS dan Inggris. Tersiar kabar, Baghdad marah setelah aktivis human shields dari Spanyol mengeluarkan pernyataan pers yang menyudutkan rejim Saddam Hussein.
Karl berusaha tersenyum. Ia menggenggam tangan saya dengan erat. “Saya harap kita bertemu lagi di Amman ….,” katanya. “Atau Baghdad,” kata saya. Dia tersenyum. Karl memilih duduk di kursi mobil paling belakang. Di sampingnya duduk Nakasone. Dia berusaha tersenyum, tapi saya tahu, ia ketakutan.
Warga Amman menyaksikan “orang-orang gila” itu berkemas. Perasaan mereka bercampur haru dan heran. Haru, karena bahkan warga Arab pun tak ada yang pergi ke Baghdad membantu saudara mereka. Heran karena mereka itu, si kulit putih dan si mata sipit, bukan orang Islam. Ada apa mereka gila begitu?
Misi kemanusiaan, itulah lem perakat para aktivis dari berbagai bangsa itu. Dengan memakai kaca mata kemanusiaan, mereka melihat, serangan AS ke Irak akan membunuh rakyat tanpa senjata tanpa dosa, wanita dan anak-anak. Tidak ada yang bisa menyetop ambisi Bush, tokoh yang digambarkan bermental koboi. Mereka tak punya senjata. Mereka hanya punya keberanian, uang untuk membeli tiket, menyewa penginapan murah, dan komitmen.
“Saya membayar pajak,” kata Karl. “Pajak itu dipakai untuk mengirim tentara ke Teluk dan mungkin akan membunuh saya.”
Karl sadar, tekanan human shields sulit mempengaruhi Bush. Jutaan orang yang marah menggelar demonstrasi anti perang di seluruh dunia. Ratusan negara berbaris di belakang kepemimpinan Perancis menentang perang. Tapi bukan Bush namanya kalau mau mundur barang selangkah.
Mobil GMC bergerak. Warga Amman dan para aktivis human shields yang menunggu giliran pemberangkatan berikutnya melambaikan tangan. Ada yang tampak hanya berdiri mematung. Tak mengerti harus berbuat apa.
Mobil itu pergi meninggalkan kebisuan di tengah kebisingan tepi Terminal Raghadan. Para aktivis terlihat membisu. Mereka berjalan, sambil menunduk, menuju hotel. Saya bertemu Takeshi, mantan wartawan Jepang yang tinggal di Jerman.
“Satu dua hari lagi saya akan menyusul mereka,” katanya. Ada kekhawatiran, tentu saja. Tapi kemudian saya sadar, panggilan naluri kemanusiaan terkadang mengalahkan rasa takut.
***
SEHARI sebelum Karl berangkat, kami minum teh di sebuah kedai dekat hotel. Lokasinya persis di ujung Terminal Raghadan. Orang-orang, yang memakai jilbab dan jaket tebal, terlihat lalulalang. Langkah mereka tergesa-gesa, seperti berkejaran dengan detak waktu.
Karl menarik kursi plastik kemudian duduk. “Orang kulit putih seperti saya mencari sinar matahari,” ujarnya memulai percakapan. “Anda pasti menghindari matahari.” Dia duduk di tempat yang disirami terik matahari di siang bolong.
Pria-pria Arab memperhatikan kami. Seorang bule dan seorang kulit cokelat. Bercakap dalam bahasa Inggris. Pasti bukan orang Arab, pikir mereka. Toh mereka tidak menganggu. Rakyat Amman, yang mengandalkan devisa negara dari turis, terbiasa melihat orang asing.
Pelayan, seorang pria Arab berbadan gendut, datang membawa dua sloci teh. Dipermainkannya piring kecil pelapis sloci teh sebelum ia menyilakan minum. Rasanya hangat, di tengah udara dingin kota Amman yang habis dibungkus salju tebal.
Karl bercerita tentang China. Dia tinggal di Yunan selama 14 bulan. Di sanalah ia bertemu A’yi, yang belakangan menjadi istrinya. A’yi seorang guru, “a university professor,” kata Karl. Ia mengajar dari satu tempat ke tempat lainnya, menjelaskan pentingnya suku-suku di China yang beraneka ragam untuk bergabung dan menghormati otoritas Beijing yang komunis. Lewat orang-orang seperti A’yi, antara lain, bangsa besar itu direkatkan.
Karl bekerja sebagai guru bahasa Inggris di Yunan University. Suatu waktu, seorang mahasiswa, yang pintar berbahasa Inggris, mengobrol panjang lebar dengannya. Kemudian ia tahu, mahasiswa itu diinterogasi di kantor polisi karena “berhubungan dengan orang asing.”
Datang sebagai orang Amerika, Karl merasa terpenjara di China. Kemanapun ia pergi, orang-orang memperhatikannya. Bila ia berhenti, satu, dua, tiga, empat orang berkumpul, memandangnya dengan mulut menganga. Lama-lama, kumpulan orang bertambah, bertambah, hingga Karl menyadari ia telah dikurung kerumunan orang-orang yang memperhatikannya dari ujung rambut sampai ujung kaki. Pengalaman seperti itu terjadi setiap hari.
“Saya pernah berjalan dengan seorang wanita yang memakai tongkat. Semua orang tetap memeloti saya. Mereka menganggap saya lebih aneh daripada wanita itu,” cerita Karl sambil terbahak-bahak. Orang-orang memperhatikan kami. Karl tak peduli, ia melanjutkan ceritanya.
Di negeri yang tak menghormati hukum, kata Karl, dimana-mana ada polisi. Di jalan, di bis kota. Setiap mobil, kata dia, dikawal seorang polisi. Negara letih menyediakan polisi. Begitu polisi pergi, hukum juga pergi. Hukum rimba berlaku.
Perlakuan yang berbeda ia dapatkan di Polandia, juga negeri komunis. Di bar, katanya, gadis-gadis, dengan hidung tajam seperti segitiga siku-siku, senang berdansa dengan pemegang paspor Amerika. Mereka berharap dinikahi dan di bawah keluar dari Polandia, negara yang dirasakan sebagai penjara raksasa.
“Tapi jangan kaget,” ujarnya. “Dua atau tiga tahun di Amerika, Anda akan ditinggal pergi begitu saja.”
“Kenapa?” saya bertanya.
“Karena mereka telah mendapat green card,” jelasnya sambil tertawa. Dengan kartu itu, si Poland akan bebas tinggal di Amerika sambil menghirup udara segar demokrasi.
Ini beda dengan wanita China, kata dia. Wanita China tak akan berani menceraikan suaminya. Sebab, sebelum menikah, calon suami harus menyerahkan berlembar-lembar dolar AS kepada orang tua si gadis. Uang itu harus dikembalikan kalau inisitif perceraian datang dari istri.
“Tapi ada caranya. Istri China akan memukul suami yang tidak disukainya setiap hari agar suaminya menceraikan dia,” tuturnya.
Karl tidak mengarang. Begitulah pengalaman dia hidup dengan A’yi. Kaki kirinya pernah digetok palu (a big hammer, katanya) hingga ia harus beberapa lama menginap di rumah sakit.
“Mungkin dia akan senang kalau saya mati di Irak,” kata Karl sambil tertawa kecut.
***
DI Amerika, Karl berasal dari kalangan biasa. Pekerjaannya tukang bangunan. Orang yang tidak tamat universitas seperti dia sulit menemukan pekerjaan necis. Seperti kebanyakan orang Amerika, ia memiliki rumah dan mobil. Sertifikat rumahnya atas nama orang lain untuk menghindari klaim A’yi, istrinya.
Orang Amerika, kata dia, hidup nyaman. Punya rumah, mobil, tabungan, dan asuransi. Rasa aman dan nyaman adalah kebutuhan nomor satu. Serangan 11 September membuat mereka terguncang. Mereka merasa, kenyamanan hidup mereka sedang dalam ancaman besar.
Perasaan itu membuahkan paranoid. Bayang-bayang dianggap setan. Janggut dianggap bom. Jilbab dikira peluru. Muka Arab dikira teroris. Dimana-mana di seluruh dunia, terutama di negara Muslim, Kedutaan AS seperti penjara raksasa. Pagar tinggi, dijaga panser. Di Amman, markas kedubes AS yang luasnya melebihi lapangan sepakbola (konon mengalahkan luas istana Raja Abdullah) dijaga panser dan tentara. Dilarang memotret.
Dalam propaganda untuk meraih dukungan rakyat AS, Bush mengaitkan Saddam dengan Al Qaeda. Juga menyebut Irak sebagai ancaman negara tetangganya, dan tak lupa mencap pemimpin Irak itu sebagai ancaman bangsa Amerika. Karena itulah, sebagian besar rakyat Amerika mendukung perang.
Karl tidak mau termakan propaganda. Ia tidak menikmati koran dan televisi Amerika yang disebutnya “semua pro Bush”. Ia membuka internet dan menemukan situs human shields. Human shields, ya, human shields. Gerakan itulah yang menariknya Dia keluar dari kungkungan bangsanya yang paranoid.
Angin bertiup kencang. Dinginnya sisa-sisa salju menembus pori-pori. Seorang anak berusia sekitar enam tahun duduk di depan kami. Ia dari Palestina, yang seperti kebanyakan generasi baru Palestina lainnya, lahir di luar negeri. Israel mengusir rakyat Palestina dari tanah airnya. Dan, sebelum berusia di atas 40 tahun, mereka tak boleh kembali ke Palestina. PBB telah mengeluarkan resolusi yang memaksa zionis Israel membuka pintu bagi sekitar 5 juta pengungsi Palestina. Israel menolak dan PBB tak mengejar-ngejar Sharon seperti mereka melakukannya pada Saddam Hussein.
Karl lalu bercerita tentang Norwegia. Negeri di Eropa ini bersih dan tertib. Bus kota tidak pernah terlambat merapat di halte. Sehingga, ketika suatu waktu bus datang terlambat, rakyat Norwegia menyalahkan jam tangan. Rakyat hidup di apartemen. Tidak ada pemukiman kumuh (seperti Jakarta).
Suatu waktu, pemerintah Norwegia, yang sudah capek hidup nyaman, membuka pintu bagi pengungsi Sri Langka. Sekitar 2.000 orang diberi visa, disediakan perumahan gratis, dokter gratis, guru bahasa gratis, dan sarana pendidikan yang gratis.
Kehadiran pengungsi, dengan warna kulit yang berbeda, dan bau badan yang berbeda, membuat kenyamanan warga Norwegia terganggu. “Di bus kota, mereka mencium aroma Sri Langka dengan perasaan jijik,” tutur Karl.
Angka kriminal meningkat. Karena rupanya, warga Sri Langka rame-rame memalsukan visa. Begitu rapinya pemalsuan itu sehingga imigrasi Norwegia tak bisa menciumnya. Walhasil, angka pengungsi melonjak sepuluh kali lipat. Rakyat Norwegia tambah muak. Orang-orang kaya, yang membayar pajak tinggi mengumpat, “Mengapa uang hasil pajak kami digunakan untuk menghidupi orang-orang itu.”
Hingga, suatu waktu, peristiwa dramatis terjadi. Tidak seheboh tragedi 11 September, tentu saja. Ketika itu, cerita Karl, seorang polisi Norwegia menembak mati seorang Sri Langka yang mengancamnya dengan pisau.
Pemerintah Norwegia marah, apalagi kepala polisi. Pak polisi yang malang itu dipecat tidak hormat. “Tapi rakyat Norwegia bangga karena ada polisi heroik. Mereka mengelu-elukkan polisi tersebut,” tutur Karl.
Karl sudah menghabiskan dua gelas teh. Berjalan kaki, kami kembali ke hotel. Kemudian saya berpikir, dari cerita dia tentang polisi Norwegia, Karl sebenarnya ingin mengatakan, dalam wajah Bush, rakyat Amerika menemukan sosok “polisi heroik” seperti itu. Seorang yang bajingan, yang koboi. (Dahlan, Laporan dari Amman, Jordania)
* Laporan ini dimuat di harian Surya, Surabaya, dan sejumlah koran daerah Kompas Gramedia yang dikelola Persda. Saya berangkat ke Timur Tengah menjelang Perang Irak atas biaya Persda
No comments:
Post a Comment