Tuesday, July 1, 2008

Perang Irak: Jenderal Amerika pemimpin Irak



Jenderal Amerika pemimpin Irak

 

ENAK ya, kata Takami Hanzawa, wartawan senior Kyodo News, Jepang. Ia makan teka sambil berdiri. Lehernya dikalungi tustel. Tubuhnya di bungkus rompi anti peluru. Tangan kirinya tanpa henti mengipasi lalat yang terus mengerubungi santapannya.

Takami spesialis wartawan perang. Ia pernah meliput perang Afganistan, pembantaian di Kosowo, dan kini perang Irak. Ia beruntung menyaksikan berbagai tragedy kemanusiaan dari dekat. Tragedi ciptaan orang-orang gila yang berkuasa.

Sebagian wartawan yang meliput perang Irak pernah ke Indonesia. Ada yang datang meliput peristiwa jatuhnya Soeharto pada Mei 1998. Takami, yang menyambut PERSDA dengan salam "apa kabar", termasuk diantaranya. "Saya empat bulan meliput di Jakarta," tuturnya dalam bahasa Indonesia logat Jepang.

Christopher Johnson, wartawan International Herald Tribune, beberapa kali ke Jakarta dan Timor Timur. Ia berpos di Bangkok.

Umumnya wartawan memiliki pandangan pesimis tentang masa depan Irak. Saddam Hussein pergi, bersama tentara setianya, entah kemana. Sementara milisi yang jumlahnya diperkirakan jutaan masih berkeliaran di jalan-jalan di Irak, di sela-sela penjagaan ketat tentara AS.

Setelah tertekan selama 24 tahun, kedatangan AS dimanfaatkan kelompok shiah, penduduk mayoritas di Irak, untuk mengaktualisasikan aspirasi politiknya. Baik kelompok Saddam maupun shiah anti Amerika.

Takami memaparkan pandangan menarik. Dia melihat fenomena Palestinanisasi bangsa Irak. Tentara asing berjaga di jalan-jalan, sementara rakyat Irak sebagai pemilik sah negara Irak diperlakukan sebagai tamu di rumah mereka sendiri. Irak telah menjadi tanah pendudukan kedua di Timur Tengah setelah Palestina. Tidak ada lagi contoh negara seperti itu di kolom manapun di dunia ini kecuali di Timur Tengah.

Tentu saja amat sulit menerima kenyataan itu. Bayangkanlah, sekelompok preman bersenjata memasuki rumah Anda, mengatur apa yang boleh dan apa yang tidak boleh. Anda mungkin akan menerima, tapi tidak dengan perasaan tulus. Penjajahan tidak pernah kekal.

AS menyadari rakyat Irak tidak dengan suka cita menerima kehadiran mereka. Hal itu tampak pada selembar selebaran yang dikeluarkan dari markas mereka, nama resminya Civil Military Operations Centre, di Palestine Hotel.

"Kami menyadari sebagai tamu…" tulis selebaran berbahasa Inggris dan bahasa Arab tersebut. Isi selebaran sebenarnya tentang pengumuman jam malam. Rakyat Irak dilarang keluar rumah setelah shalat Magrib hingga terdengar adzan subuh.

Pada malam hari, milisi masih sering melancarkan serangan sporadis kepada tentara AS. AS menyebut serangan itu sebagai "teroris" dan anasir yang berasosiasi dengan rejim lama, rejim Saddam Hussein. Sementara, serangan militer illegal AS yang membunuh ribuan rakyat Irak tidak disebut sebagai "state terrorism" tapi sebagai "Iraqi liberation".

 

***

 

15 April 2003. Dua orang wartawan The Newpaper, Singapura, pulang ke Amman, Jordania. Mereka, seorang reporter dan fotografer, kesal setengah mati karena telepon satelitnya tidak berfungsi sama sekali. Mereka menghabiskan waktu lima enam jam hari itu untuk mencoba mencari sinyal, tapi tanpa hasil.

Tengah malam, listrik di Sheraton Hotel padam total. Air berhenti mengalir. Lift tak berfungsi. Hotel bintang lima ini berubah jadi neraka bagi ratusan wartawan peliput perang Irak.

Pagi-pagi, tidak ada air untuk mandi. Kamar mandi bau oleh air kencing dan hajat besar. Closet ngadat. Bau busuk menyebar kemana-mana. Benar-benar menjijikkan.

Ke lantai dasar, harus melewati tangga yang gelap gulita. Beruntunglah mereka yang membawa senter kecil atau perokok yang membawa gadaha (korek api).

Tapi terkadang ada saja sialnya. Seorang wartawan bule, dengan nafas yang terengah-engah menuruni anak tangga, sambil dibimbing nyala lampu korek api. Di lantai tiga, ia terjatuh menimbulkan bunyi besar bak ledakan bom. Orang-orang ingin tertawa terbahak-bahak, tapi mana tega. Si bule itu segera berdiri dan pergi tanpa sepatah kata pun. Ia kesakitan.

Tengah malam, saat lampu padam, kota Baghdad gelap gulita. Satu dua titik terlihat terang, karena jasa penerangan generator. Bulan yang bersinar lembut membantu menyinari kota Baghdad yang gelap.

Gelap bukan berarti pertempuran harus istrirahat. Dua tiga bunyi letusan besar terdengar mengiringi rentetan bunyi senjata api. Seorang atau beberapa milisi terus saja memberikan perlawanan hit and run. Tentara AS yang diperkuat ratusan tank dan berbagai persenjataan modern terlalu kuat untuk ditaklukan. Perlawanan terus saja ada karena sebagian rakyat Irak masih saja tidak bisa menerima tanah air mereka diduduki musuh.

Suasana di sekitar Palestina Hotel dan Sheraton Hotel tidak biasanya. Tentara AS yang menjadikan hotel itu sebagai markas sementara meningkatkan kewaspadaan.

Ada rumor, Saddam Hussein memberikan ultimatum 3x24  jam dari tanggal 13 April kepada tentara sekutu untuk meninggalkan Palestine Hotel. Sulit mengkonfirmasikan isu yang beredar dari mulut ke mulut, tapi bagaimanapun kewaspadaan harus ditingkatkan.

Puluhan tank mengelilingi Palestine Hotel. Moncong meriam diarahkan ke seluruh arah mata angin. Sementara, tentara membangun benteng pertahanan dari karung-karung pasir.

Para wartawan, yang biasanya leluasa, harus melewati pemeriksaan ketat sebelum memasuki kawasan hotel. Tas digeledah, seluruh tubuh "digerayangi". Tentara wanita memeriksa wanita-wanita berjilbab. Mereka cukup sopan.

Pemeriksaan ketat itu dikaitkan pula dengan rencana kedatangan Jay Garner, Gubernur Jenderal AS yang akan memimpin pemerintahan transisi di Baghdad. Dia adalah pemimpin di tanah pendudukan Irak. (Dahlan, Laporan dari Amman, Jordania) 

 

 -- Tribun Timur, Makassarwww.tribun-timur.com

Ask the Tribun Timur Editor
dahlandahi.blogspot.com

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...