Mimpi Zakaria, tangisan Tamara
SUDAH lebih sebulan, Zakaria Abd Amir tidak masuk sekolah seperti anak-anak lainnya di negeri yang aman. Lincah, energik, dan nyerocos terus tanpa henti, Zakaria mengungsi ke kantor KBRI di Baghdad sejak perang dimulai 20 Maret lalu.
Bersama adiknya, Tamarah yang baru berusia lima tahun, Zakaria dan kedua orang tuanya tinggal di KBRI setelah beberapa rumah di dekat kediamannya hancur diterjang bom. Ia masih termasuk anggota keluarga Walid, staf lokal KBRI yang ditugasi Dubes Dachlan Abdul Hamid untuk menjaga kantor berbendera merah putih tersebut.
"Saddam dulu bagus," tutur anak kecil itu. "Amerika sekarang sudah datang dan Saddam kabur," ia menambahkan. Tamarah yang berdiri disampingnya tersenyum.
"Amerika membunuh orang Irak. Mereka punya bom," tutur Zakaria yang gemar berbicara soal politik. "Amerika memiliki banyak sekali tayara (pesawat terbang). Di jalan-jalan, banyak sekali mayat."
Tinggal di KBRI relatif bagus. Malam hari ada penerangan generator, sementara rumah-rumah penduduk gelap gulita tanpa listrik. Air bersih tersedia dalam jumlah yang cukup.
Tapi Zakaria tetap tidak betah. Dia ingin segera pulang ke rumahnya, menjalani kehidupan normal. Dan, kalau bisa, segera ke Nams Al Ummah, sekolah dasar tempatnya menimba ilmu.
Siswa kelas empat itu barangkali akan segera pulang karena situasi kota sudah relatif aman. Namun impiannya untuk segera masuk sekolah agaknya harus ditunda dulu. "Sekolah saya kena bom," tuturnya dengan nada sedih.
Serangan Amerika memang membawa malapetaka besar bagi Baghdad. Bangunan-bangunan pemerintah hancur lebur. Sekolah-sekolah, termasuk Baghdad University, sebagian besar luput dari bom. Tapi setelah AS menduduki Baghdad, rakyat menjarah bangku dan kursi di bangunan-bangunan pemerintah, tak terkecuali di kampus-kampus.
Setelah perang, Baghdad membutuhkan ratusan ribu kursi dan meja untuk memenuhi puluhan kantor pemerintah, universitas, sekolah, bahkan taman kanak-kanak. Kertas-kertas berserakan di mana-mana. Praktis, bangunan-bangunan publik harus memulai lagi dari nol. Bagi perkantoran yang hancur, bangunan baru harus segera dibangun. Sementara, bagi bangunan yang luput dari bom, pemerintahan baru harus segera menyediakan kursi, bangku, kertas, dan seluruh kebutuhan kantor.
Pekerjaan seperti itu tidak kalah beratnya dengan membangun kepercayaan rakyat Irak kepada penguasa baru, si bule Amerika.
***
NURIAH meraung-raung. Ibu berambut ikal 45 tahun itu menangis, menjerit, menepuk-nepuk dadanya, seperti orang kesurupan. "Amerika, Amerika….," teriaknya, menangis, terkadang bahkan terdengar seperti menyanyi.
Wanita-wanita di sekelilingnya, yang berpakaian hitam-hitam, tak kuasa menahan tangis. Mereka menangis bersama-sama, mendengangkan nyanyian pilu menyayat hati di teras tempat permandian mayat persis di samping Masjid Abdul Kadir Jaelani, Baghdad.
Di dalam ruangan, mayat Mustafa Abdul Razak terbujur kaku. Pria 25 tahun itu mati ditembak tentara Amerika pada hari Selasa (15/4) pagi ketika ia sedang mengendarai taksinya. Mayatnya, bersama mayat seorang Irak lainnya, dibiarkan begitu saja tergeletak di tepi jalan selama beberapa jam.
Sekelompok orang merampok sebuah bank tidak jauh dari kantor KBRI Baghdad. Razak kebetulan melintas. Peluru itu menembus tubuhnya yang ringgih dan mencabut nyawanya.
Nuriah, ibunya yang kurus, tidak mengerti apa yang terjadi. Belasan tahun ia membesarkan putranya dengan penuh kesabaran sebagai seorang ibu, menikahkannya, kemudian hanya mati sia-sia di tangan tentara Amerika, bangsa yang dimusuhinya puluhan tahun.
"Kami ingin, Amerika segera pergi dari sini," tutur Kasim, 60, ayahnya. Mata orang tua ini terlihat sembab. Ia tidak sanggup lagi bahkan untuk menangis. "Amerika tidak tulus mencintai rakyat Irak. Mereka hanya menginginkan minyak."
Nuriah menangis, Tamara menangis. Tamara, wanita berusia 16 tahun, cantik dengan kulit yang putih mulus, hidung mancung, dan bibir yang tipis, adalah istri Mustafa. Pasangan ini menikah sembilan bulan lalu. Wanita malang berpakaian hitam-hitam itu sedang mengandung anak pertama. Usia kandungnya enam bulan.
Tiga bulan lagi, anak tak berdosa itu akan lahir. Ia akan lahir, tanpa ayah. Ia akan lain dalam pendidikan dendam. Ibunya akan bercerita, ayahnya dibunuh tentara Amerika. Suatu proses terciptanya dendam turun temurun.
Tahun 1920, tentara Inggris masuk dan menjajah Irak. Lima tahun bertahan sebagai penjajah sebelum Inggris pergi dan Irak menyatakan kemerdekannya. Orang-orang tua Irak belum lupa bagaimana kejamnya tentara Inggris. Kini, dengan bersembunyi di balik punggung tentara Amerika, Inggris datang lagi. Sebagai penjajah.
Inggris angkat kaki dari Irak dengan menyimpan bom waktu. Kuwait, yang tadinya wilayah Irak, dipisah. Pada tahun 1990, Saddam Hussein ingin meluruskan sejarah. Ia gagal, suatu kegagalan yang harus dipikul akibatnya oleh seluruh rakyat Irak. Sampai hari ini. Dan, Mustafa mati. Nuriah meraung-raung menangisi kepergiannya.
Kasim, ayahnya, kemudian berkata: "Inilah hidup. Amerika membunuh dimana-mana. Di Afganistan, dan kini di Irak…" (Dahlan, Laporan dari Bagdad, Irak)
* Laporan ini dimuat di harian Surya, Surabaya, dan sejumlah koran daerah Kompas Gramedia yang dikelola Persda. Saya berangkat ke Timur Tengah menjelang Perang Irak atas biaya Persda
-- Tribun Timur, Makassar
Ask the Tribun Timur Editor
dahlandahi.blogspot.com
No comments:
Post a Comment