GEORGE Walker Bush barangkali tidak pernah tahu dimana Ruweished. Ini kota kecil. Bush hanya tahu Baghdad, tempat Saddam, musuh utamanya, menyembunyikan diri sembari mengendalikan perlawanan sengit
Ruweished adalah sampahnya ambisi Bush. Di sebuah gurun pasir yang terik membakar di siang hari dan dingin menusuk tulang kala malam datang, sekitar 20 km dari kota ujung barat Jordania itu, ratusan orang terpaksa menjalani kehidupan yang pahit di tenda-tenda nan mungil. Sebagian besar dari pengungsi perang Irak itu tidak mengenal Bush secara pribadi, kecuali tahu satu hal: karena ulah Bush, mereka terpaksa hidup sebagai pengungsi.
Thana Zera Ali bersama suaminya, Muhammad Ali, sempat bertahan sembilan hari di Baghdad, ketika kota Seribu Satu Malam itu siang malam dihantam bom. Hingga suatu waktu, mereka tidak kuat lagi. “Kami mengkhawatirkan keselamatan anak kami,” tutur Thana, ibu tiga anak. Bersama suaminya, ia berasal dari Palestina, negeri yang tak pernah damai sejak Inggris mensponsori berdirinya negara Israel di atas tanah Palestina tahun 1948.
Nenek moyang Thana terusir dari tanah air mereka. Israel, sekutu terdekat AS di Timur Tengah, menang perang. Negeri zionis itu lalu memanggil semua pengungsi Yahudi di seluruh dunia untuk mencaplok tanah Palestina.
Di pengungsian, Thana dan Ali bertemu dan menikah. Israel tidak pernah mau menerima pengungsi Palestina seperti Thana dan Ali kembali ke Palestina. Padahal, resolusi PBB mengharuskan negara Israel itu menerima pengungsi Palestina seperti Thana. Israel berkeras, dan Amerika diam saja. Padahal, terhadap Irak, Amerika ngotot luar biasa agar Saddam mematuhi resolusi PBB.
Seperti wanita Palestina lainnya, Thana lumayan cakep. Tubuhnya langsing, kulit putih, dengan hidung yang mancung. Rambutnya dibalut jilbab. Ia nampak cerdas. Dengan lancar ia menjawab semua pertanyaan wartawan asing lewat penerjemah, Rana Sidani, aktivis Palang Merah Internasional. Rana seorang wanita Libanon, tampak kebarat-baratan dengan celana jins warna biru dan switer ketat membalut tubuhnya yang padat berisi.
Sementara Ali berkulit gelap. Selama wawancara di depan tenda pengungsi mereka, lelaki pendiam ini lebih banyak tutup mulut. Hanya sesekali ia menyela pembicaraan istrinya. Tiga anak mereka tampak shock, terguncang, menjalani roda kehidupan yang berliku di zaman perang.
Berpindah-pindah kendaraan dari Baghdad, sambil membawa ketiga anaknya melewati ibu kota Irak yang panen bom, Thana dan anak-anaknya sempat menginap di pemukiman badui di sebuah gurun menjelang perbatasan Irak. Mereka hendak bertahan di sana, bersama suku badui yang hidup nomaden.
Bagi keluarga sederhana ini, anak-anak adalah segalanya. Tak peduli nyawa mereka, yang penting anak-anak, pelanjut hari depan. Akhirnya Thana dan suaminya memutuskan meninggalkan kamp badui.
Di kamp pengungsi, keluarga itu bergabung dengan 267 pengungsi lainnya. Sebagian besar pengungsi berasal dari Somalia, negeri yang dilanda perang saudara. Entah sampai kapan, Thana bertahan di kamp tersebut.
“Kami sedang menunggu solusi,” tuturnya seperti berbisik. Matanya terlihat memerah, menahan haru. Perang di Irak diperkirakan akan berlangsung lama. Selama itulah, Thana dan keluarganya hidup dalam ketidapastian.
“Kami kira, setelah Irak dilanda perang, keadaan di sana lebih berbahaya. Ternyata keadaan di sini jauh lebih berbahaya. Pulang ke tanah air kami tidak bisa, sementara di sini, saya amat mengkhawatirkan masa depan anak-anak saya,” kata Thana.
Di kamp pengungsi, anak-anak tetaplah anak-anak. Mereka bermain-main, berlarian. Tapi mereka tidak bisa menonton film teletubies Arab. Tidak ada pesawat televisi.
“Bagaimanapun, kami lebih beruntung,” ujarnya dengan suara yang terasa berat. “Ada janda satu anak di sini, anaknya sakit asma. Untung palang merah menyediakan dokter gratis.”
***
SAULA Josef berasal dari Jordania, tetangga Irak di barat. Wanita 33 tahun tidak seberuntung Thana. Ketika perang meletus, suaminya, seorang Palestina, pindah tugas ke Yaman.
Dia mengungsi bersama tiga anaknya. Sebenarnya, Saula masih punya banyak famili di Amman, ibu kota Jordania. Hanya saja, sebagai wanita yang bersuamikan orang Palestina, ia tidak bisa membawa anaknya masuk Amman. Sehingga, bila ia mau tinggal di rumah keluarganya, ia harus meninggalkan tiga anaknya, termasuk yang masih berumur lima tahun, di kamp pengungsi.
“Saya tidak mungkin meninggalkan anak-anak saya. Makanya saya tetap tinggal di sini,” ujarnya, di depan tenda 2x2 meter tempatnya menginap. Mereka tidur di atas kasur tipis yang diletakkan di atas pasir gurun.
Tadinya, Saula merasa beruntung mengungsi ke Jordania. Bagaimanapun, negara kerajaan ini adalah tanah airnya. Dia ingin menengok makam ayahnya yang meninggal dua bulan lalu.
“Saya ingin. Tapi, saya tidak mungkin meninggalkan anak-anak saya di sini,” katanya lagi. Keinginan untuk melihat kuburan ayahnya terpaksa ia pendam.
Dari Karama Border, perbatasan Jordania-Irak, Kerajaan Jordania mendirikan lebih dari lima check point. Semua kendaraan yang masuk dari arah Baghdad diperksa. Sulit bagi mereka yang tak memiliki dokumen keimigrasi lengkap menembus Amman.
Saula berharap segera mendapatkan visa untuk mengunjungi suaminya di Yaman. Negeri Islam ini memberikan harapan, karena beda dari kebanyakan negara Arab, negeri asal Abu Bakar Ba’asyir ini mendukung Irak.
“Mudah-mudahan saya bisa segera mendapatkan visa. Anak-anak kangen sama bapaknya,” ia menambahkan.
Lebih dari 60 persen dari sekitar 5 juta penduduk Jordania berasal dari Palestina seperti Saula. Namun, negara kerajaan ini, seperti Mesir, menjalin hubungan mesra dengan Israel. Jordania adalah penerima bantuan terbesar AS di kawasan Timur Tengah setelah Cairo.
Kendati Rania, istri Raja Abdullah II, berdarah Palestina, namun sebagian besar warga Palestina di Jordania merasa diperlakukan sebagai warga kelas dua. Jabatan puncak pemerintah, militer, dan polisi tidak pernah digenggam. Karena itu, warga Palestina lebih banyak menjadi pengusaha, dokter, atau pengacara. Yang tidak berpendidikan bekerja sebagai sopir taksi atau pedagang kaki lima di kawasan Balad City.
Hidup di tanah Arab, yang penuh konflik, mengorbankan orang-orang seperti Saula. “Saya bahkan tidak bisa melukiskan perasaan saya,” ucapnya tertawa lirih ketika ditanya wartawan Portugal. Penderitaan, memang, terkadang sulit dilukiskan dengan kata-kata. Apalagi kalau derita itu muncul akibat ulah Amerika, negara yang selalu mengkhutbahkan demokrasi, sebuah cara mengelola pemerintahan secara damai, ke seluruh dunia.
***
ABDIRIZAK Omar adalah potret lain korban perang. Tiga tahun silam, pria 30 tahun ini meninggalkan negerinya, Somalia, menuju Baghdad. Anak tertua dari delapan bersaudara ini harus berpisah dengan adik-adiknya karena di negerinya tidak ada perguruan tinggi.
Di Baghdad, ia diterima menjadi mahasiswa kedokteran umum Baghdad University, tempat mantan Presiden Gus Dur dulu menimba ilmu. Seperti umumnya mahasiswa asing di ibu kota Irak itu, Omar menikmati beasiswa dari pemerintahan Saddam.
Perang merampas masa depan Omar. Ia, bersama 105 warga Somalia lainnya, sebagian besar mahasiswa, terpaksa mengungsi dan kini ditampung di kamp Ruweished. Omar dan kawan-kawan sebangsanya, bagaimanapun, ingin kembali ke tanah air mereka. Kata pepatah, hujan emas di negeri orang, masing lebih bagus hujan batu di negeri sendiri.
Di Somalia, tidak ada hujan batu, apalagi hujan emas. Yang ada “hanya” hujan peluru. Negeri Afrika itu, sampai sekarang, dicabik-cabik perang saudara.
“Kami tidak mau pulang ke Somalia. Di sana lebih berbahaya lagi karena sedang berkecamuk perang saudara,” ucap Omar. Rekannya, Julied, 25, menambahkan, “Di negeri kami tidak ada perguruan tinggi. Jadi untuk apa pulang?”
Omar, yang cukup mengenal Indonesia, memahami benar apa artinya perang. Ayahnya, Omar Abdi, meninggal akibat perang saudara di Mongadishu, Somalia Selatan, tahun 1991.
Omar dan Juliet bersama rekan-rekannya menunggu usainya perang di Irak, entah kapan. “Saya berharap bisa diterima bekerja pada lembaga kemanusiaan di sini. Saya ingin mengabdikan ilmu yang saya miliki,” tuturnya. Palang Merah Internasional mempekerjakan lebih 200 relawan asing.
Ditanya pendapatnya soal perang Irak, Omar berusaha mengelak. Dia enggan berbicara politik. Tapi kemudian ia berkata, mencoba netral: “Di manapun, perang selalu mengorbankan orang sipil. Kenapa perang ini tidak dihentikan?”
Omar berbicara di padang pasir. Suaranya tak akan didengar Bush nun jauh di Washington sana. Namun, bagaimanapun, kisah tentang Thana, Saula, dan Omar sekali lagi menunjukkan perang bukanlah miliknya orang-orang kecil. Dia milik orang besar yang berebut kekuasaan, pengaruh, dan uang. (Dahlan, Laporan dari Amman, Jordania)
* Laporan ini dimuat di harian Surya, Surabaya, dan sejumlah koran daerah Kompas Gramedia yang dikelola Persda. Saya berangkat ke Timur Tengah menjelang Perang Irak atas biaya Persda. Sejak 2004, sepulang dari Irak, saya ditugaskan Persda di surat Tribun Timur, Makassar
Tribun Timur, Makassar
Ask the Tribun Timur Editor
dahlandahi.blogspot.com
No comments:
Post a Comment