Tuesday, July 1, 2008

Shenzhen, Surganya Lelaki Nerakanya Wanita

Wisatawan foto bersama di Window of the World, Shenzhen.

Laporan
Wartawan Tribun Timur,
Dahlan,
dari Hongkong

Surganya Lelaki Nerakanya Wanita

SHENZHEN adalah kota surga untuk lelaki berduit. Peraturan kependudukan mendorong Anda menikah berkali-kali. 

Wanita berlimpah jumlahnya. Tujuh perempuan berbanding satu pria. Setiap kali seorang lelaki menikah, enam wanita kehilangan peluang mendapatkan pasangan.

Banyak wanita yang rela jadi istri kedua. Istri simpanan pun bolehlah.

Kota indah ini dihuni sekitar tujuh juta orang. Dia tumbuh dari daerah nelayan dan petani. Dari kampung empang menjadi kota metropolitan kelas dunia.

Dalam tempo hanya 28 tahun, kota di Cina yang berbatasan langsung dengan Hongkong ini berkembang sangat pesat menjadi kota industri dan pariwisata dunia.

***

Tahun 1978, Deng Xiaoping membuka pintu negara raksasa, Cina, bagi dunia luar. Komunisme cukup menjadi cara mengatur politik, sedangkan kapitalisme menjadi cara mengatur ekonomi.

Modal asing yang tadinya dianggap virus yang akan mematikan komunisme tiba-tiba disembah. 

Para investor asing diberlakukan seperti berhala. Pengusaha mendapatkan keringanan yang jarang ditemukan di planet ini: penghapusan pajak, pemberian tanah gratis, hingga proteksi hukum bila perlu. 

Ada cerita, bila pengusaha menabrak orang Cina, jangan hukum dia sebab dia membuka lapangan kerja, menghidupi ribuan orang, membangun kota, bahkan memberikan kebanggaan tidak saja bagi Shenzhen tapi bagi Cina.

Deng mula-mula membuka Cina dari luar terbatas di lima kota, salah satunya Shenzhen, melalui penerapan kawasan ekonomi khusus.

***

TIGA puluh tahun lalu, orang-orang Cina berlomba-lomba mencari kerja di Hongkong yang makmur di bawah kendali Kerajaan Inggris.

Hongkong tumbuh menjadi kota dagang, industri, jasa, dan pariwisata kelas dunia. Pelabuhan kota yang terdiri dari banyak pulau ini salah satu yang terbaik di dunia. 

Karena itulah Hongkong tidak hanya memberi lapangan kerja tapi juga gaji yang tinggi.
Maka, berbondong-bondonglah warga Cina yang miskin menyambung hidup ke Hongkong. Ada yang berjalan kaki beratus-ratus kilometer ke Shenzhen karena kampung nelayan ini hanya dipisahkan oleh Sungai Senzhen dari Hongkong. Sungai itu gampang diseberangi, jaraknya cuma sekitar 10 meter.

Pemerintah komunis sangat malu dan tersinggung karena warganya yang komunis dan miskin harus mengadu nasib sebagai kuli di negeri kapitalis.

Pelintas batas haram itu dianggap ancaman bagi mitos komunisme. Bahwa ternyata lebih penting sebiji nasi daripada segudang ideologi, seabrek pidato berapi-api. Satu butir nasi lebih baik dari bahkan dari sejuta politisi. 

Karena itu Cina mengerahkan ribuan prajurit untuk menjaga garis perbatasan, menjaga wibawa ideologi komunis. Tidak sedikit warga yang mati melintasi perbatasan itu pada malam hari, sebagian karena ditembak petugas penjaga perbatasan Cina.

Seorang warga Shenzhen, sebut saja A Lu, mengaku, dia dulu kabur ke Hongkong menjadi pekerja illegal. Hongkong yang kekurangan tenaga kerja diam-diam menampung pekerja illegal untuk sektor pekerja rendahan.

Sehari dia mendapatkan upah 5.000 dolar Hongkong (sekitar Rp 6,2 juta) sebulan. Dengan gaji begitu besar, keyakinan A Lu tentang komunisme goncang. Di Shenzhen ketika itu, kalaulah bisa, uang sebanyak itu dia peroleh setelah banting tulang selama setahun.

Kini situasi berubah. Warga tak berpendidikan seperti A Lu tidak bisa lagi leluasa mendapatkan pekerjaan di Hongkong.

Sementara, warga lokal Hongkong yang tidak beruntung seperti A Lu mulai kesulitan mencari kerja. Padahal biaya hidup sangat mahal, salah satu yang termahal di dunia.

Pada saat yang sama, industri tumbuh pesat di Shenzhen, kota yang mamasok sembako hingga air bersih ke Hongkong.

Maka berbondong-bondonglah warga Hongkong mencari kerja di Shenzhen, kota yang secara politik dikelola terpusat ala komunis namun ekonominya pasar bebas ala kapitalisme.

Kapitalisme dan demokrasi barat di Hongkong telah dikalahkan oleh kapitalisme-komunisme di Shenzhen, terutama di bidang pertumbuhan ekonomi dan penyediaan lapangan kerja.

***

PEKERJA tidak hanya datang dari Hongkong. Warga kota maupun desa di kota-kota lainnya di Cina yang masih miskin, yang selama ini hanya mengerti komunisme dan ekonomi yang dimonopoli negara, ramai-ramai mencari kerja di Shenzhen. 

Di sini, pemerintah bertugas memutar roda ekonomi, dan supaya cepat, harus melewati jalan kapitalisme. Pelaku ekonomi menjadi dua, pemerintah dan swasta. Mereka bahu membahu membangun industri, membuka sektor jasa, pariwisata --dan karena itu, membuka lapangan kerja, sesuatu yang sulit ditemukan di jalan komunis.

Rakyat Cina yang ramai-ramai ke Shenzhen menemukan gairah baru, gairah bekerja di pabrik, sektor jasa, pariwisata. Bekerja di swasta. Gajinya besar dengan sistem dan cara-cara baru, cara kapitalisme, cara yang memutlakan persaingan terbuka, yang tidak ditemukan atau coba dihindari dalam lembaran sejarah dan budaya Cina yang adiluhung. 

Industri banyak membutuhkan wanita. Itulah yang menjelaskan mengapa wanita negeri berpenduduk 1,3 miliar ini banyak yang bekerja di Shenzhen.

Komposisi penduduk berkembang sangat timpang seiring dengan besar kebutuhan pasar akan tenaga kerja wanita. Saat ini, 28 tahun setelah melewati jalan ekonomi kapitalisme, tujuh dari delapan penduduk Shenzhen adalah wanita.

Kondisi itu diperburuk oleh kebiasaan perusahaan Shenzhen yang sering mem-PHK karyawan wanita yang berusia di atas 40 tahun dengan alasan tidak produktif lagi.

Masa menjelang 40 tahun bagi wanita Shenzhen adalah saat-saat yang sulit. Mereka getir membayangkannya sebagaimana hantu datangnya masa menopause.

***

PENGUSAHA Hongkong, yang kebanyakan memiliki bisnis di Shenzhen, tahu betul betapa banyak wanita di daerah tetangganya, Shenzhen. Mereka seringkali menjadikan wanita Shenzhen sebagai istri kedua atau wanita simpanan.

Shenzhen dan Hongkong hanya ditempuh sekitar satu jam jalan darat dengan melewati dua pos imigrasi di perbatasan Cina dan pos perbatasan Hongkong, kota Cina yang memiliki otonomi khusus.
Karena Shenzhen adalah kota wisata, setiap weekend, ribuan warga Hongkong berkunjung ke Shenzhen. Waktu itulah yang dimanfaatkan lelaki Hongkong mengunjungi istri kedua atau wanita simpanan.

"Wanita yang dikawini itu tetap tinggal di Shenzhen, biasanya bersama anak hasil perkawinan mereka. Anak-anak itu sekolah di Hongkong. Setiap hari pulang-pergi Shenzhen-Hongkong," ujar seorang pemandu wisata.

***
PEMERINTAH Cina, negeri raksasa berpenduduk 1,3 miliar (atau lebih tiga kali lipat penduduk bangsa Arab yang terdiri atas 22 negara), membatasi jumlah kelahiran.

Setiap keluarga hanya boleh satu anak. Bila lebih, dendanya minta ampun.

Banyak lelaki yang ingin tambahan anak memilih kawin lagi untuk mendapatkan anak daripada harus didenda bila mendapatkan anak dari istri pertama.

Para wisatawan merasakan betul bagaimana para wanita nakal mengoda terang-terangan di pintu-pintu masuk hotel berbintang.

"Young girl, young girl ...," begitu mereka menggoda setiap turis yang lewat di dekat Felicity Hotel di Heping Road.

Mereka juga menawarkan tukang pijat. "Very cheap,Sir," mereka menggoda. Murah sekali, kata mereka.
Begitulah. Shenzhen tidak hanya kota. Ia laboratorium hidup tentang bagaimana para pemimpin mengelola masyarakatnya. ***

 Haji dan Umroh (112)  
Perang Irak (15)  

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...