Tuesday, July 1, 2008

Kapten John dari Makassar dan Hongkong Jewelry


Pak John di Hongkong Jewelry, Hongkong.



melancong ke cina

Kapten John dari Makassar dan Hongkong Jewelry



Laporan

Wartawan Tribun Timur

Dari

Hongkong


HAI apa kabar, John menyapa turis Indonesia di Hongkong, Senin (19/5). “Assalamualaikum,” ia memberi salam.

Wajahnya terlihat muda dalam usia di atas 60. Ia lincah menyambut tamu-tamunya, menjelaskan soal perhiasan emas, giok, dan mutiara –apa yang menjadi keahliannya. Ia hidup dengan penuh gairah. Sikap optimisme tercermin dari gaya bicaranya yang bersemangat dan wajahnya yang segar bugar.

“Panggil saja Kapten John,” ia menyahut tatkala ditanya nama lengkapnya di sebuah show room perhiasan yang ramai oleh turis. Ada wisatawan dari Indonesia, India, Pakistan, Cina, bahkan bule.

“Saya dikenal teman-teman di Makassar, di Losari. Sudah tiga teman saya jadi menteri, salah satunya Ibu Witoelar (Erna Witoelar). Anda kenal Hasan Walinono, kan? Dia teman kecil saya” tuturnya lagi.

“Rudy Lontoh (pengacara ternama di Jakarta) adik kelas saya. Pak Andi Mattalatta… beliau orang hebat. Kami sering main di Pantai Losari,” ujar John.

Rumah keluarganya di pertigaan Losari-Lamadukelleng, dekat Rumah Sakit Stella Maris. John menghabiskan masa kecilnya di Losari, menikmati pantai dan mandi air laut.

John muda menjadi pelaut. Ia mengelilingi Nusantara dan sebagian besar kota pelabuhan di dunia. “Pangkat” terakhirnya kapten kapal atau nakhoda. Makanya ia senang dipanggil Kapten John. Ada romantisme di sana. Romantisme seorang pelaut dari Makassar.

Tahun 1960-an, ia meninggalkan Makassar menuju Hongkong. Di salah satu kota bisnis utama di dunia ini, John kini bekerja di Hong Kong Jewelry Co Ltd. Ini perusahaan pengolahan dan penjualan perhiasan yang direkomendasi Pemerintah Administratif Hongkong sebagai daerah tujuan wisatawan.

“Pak John…, ya. Beliau orang Indonesia. Masih WNI,” komentar koleganya di Hongkong Jewelry yang lebih yunior, Maggie Lioe.

Wanita muda ini juga masih WNI, tinggal di Jakarta. Satu dari dua anak Kapten John bekerja di Jakarta, di salah satu perusahaan rokok terbesar di Tanah Air.

Sebagai WNI, John dan Maggie harus memperpanjang visa kerja dua tahun sekali. Mereka bisa membeli apartemen (tidak ada rumah di Hongkong), asalkan tunai. Tapi untuk yang tunai, harganya sangat mahal. Hongkong dikenal sebagai salah satu kota termahal di dunia. Harga bensin seliter, misalnya, 20 dolar Hongkong (sekitar Rp 25 ribu).

***

KAPTEN John menyambut tamunya di pintu, membimbing mereka ke ruang Sapphire (safir atau batu nilam). Ruangnya sekitar 4x4 meter, cukup sempit untuk menerima tamu sekitar 25 orang. Di papan terpampang gambar yang memvisualkan proses pembuatan perhiasan sejak dari pemilihan bahan hingga quality control.

“Sebagai eksportir perhiasan, kami sangat memperhatikan kualitas. Semuanya dikendalikan tim pengendali kualitas,” ucapnya.

Kantor dan show room perhiasan tempat John bekerja terletak di lantai satu sebuah bangunan jangkung di kawasan Aberdeen.

Kawasan ini, dulunya, sebelum pabrik-pabrik pindah ke Shenzhen karena tidak kuat memikul beban sewa dan biaya operasional yang terus meroket, dikenal sebagai kawasan industri. Di sana, misalnya, ada pabrik lampu Petromax merek Butterfly. Ini lampu yang pernah begitu popular di Indonesia tahun 1980-an.

Nama kawasan itu, Aberdeen, diambil dari nama gubernur jenderal Inggris yang berkuasa di Hongkong sebelum kota itu diserahkan ke RRC tahun 1997. Sebagian nama-nama jalan dan kawasan di Hongkong memang diambil dari nama gubernur jenderal.

“Kami memproduksi perhiasan kelas dunia,” begitu John memulai presentasinya tentang Hongkong Jewelry. “Produk kami diekspor ke Amerika Serikat, Eropa…”

Untuk menjamin mutu produk, perusahaan itu mengambil bahan baku terbaik dari berbagai belahan dunia. Batu giok, misalnya, dari Myanmar. Batu giok dari negeri Aun San Suu Ki ini keras, warnanya hijau tua. Sedangkan batu giok dari Cina dan Taiwan agak lembek, warnanya hijau muda. “Hanya bagus untuk patung,” katanya.

Bagi orang Cina, giok dipercaya membawa keberuntungan, kekayaan, dan kesehatan. Karena itu, perhiasan dari giok memiliki pasar yang besar.

John menjelaskan perbedaan mutiara asli dari yang palsu. Yang asli berat. Bunyinya pun “lebih berat” bila saling gesek.

Dari sumbernya, ada tiga jenis mutiara. Di antaranya, mutiara air tawar dan mutiara natural. Warnanya ada yang putih, ada yang hitam.

“Mutiara putih kami ambil dari Australia. Itu yang terbaik. Sedangkan mutiara hitam didatangkan dari Tahiti (Afrika),” jelas John.

Seusai presentasi, John mengajak tamunya melihat secara singkat proses pembuatan aneka perhiasan mulai dari cincin hingga kalung.

Dari sana, tibalah saatnya berbelanja. Turis dibimbing melihat aneka perhiasan yang dipajang di lemari. Indah dan bagus tentu saja. Harganya pun bagus. Satu cincin emas 18 karat bertahta berlian , misalnya, dihargai 3.998 dolar Hongkong atau sekitar Rp 4,9 juta.

Di pintu keluar Hongkong Jewelry, terpampang tulisan besar “Pintu Keluar”. Ada juga tulisan “Exit” dan kata lain yang sama maknanya dalam lima bahasa lainnya.

Waktu kunjungan hampir habis ketika Kapten John muncul. “Anda dari mana saja,” ia bertanya pada wisatawan Indonesia.

Begitu ia mendengar, “dari Makassar”, Kapten John seolah tak percaya, dan berteriak, “Hai… Makassar, aga kareba. Baji-baji?” Ia berbicara dalam bahasa Makassar yang lancar.(*)

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...